Avery Robinson, calon penerus gelar Marquess of Ripon.
Di usia yang menginjak 28 tahun, tidak juga Avery berpikiran untuk membina rumah tangga. Mentang-mentang sang ayah masih sehat wal afiat, semangat masa mudanya pun diumbar seolah tanpa ada tuntutan menikah muda.
Laki-laki itu suka sekali menjelajah, dari kota satu ke kota lainnya, dari desa kumuh sampai desa terpencil yang masih asri luar biasa. Beberapa bulan belakangan pun ia menghabiskan waktu di Eropa, dan baru pulang ke Yorkshire sekitar seminggu lalu.
Namun, sewaktu pulang, dia langsung disidang keluarganya. Neneknya, bibi dan pamannya, dan tentu saja, ayah dan ibunya, mendesaknya untuk segera menikah. Katanya, sang ayah mulai mudah lelah, faktor usia. Sehingga ahli waris harus bersiap-siap dengan kemungkinan terburuk.
Mudah lelah dari mananya? Avery mencibir. Menurutnya, sang ayah masih baik-baik saja. Berdiri berjam-jam melayani tamu di pesta pun tidak terlihat ada gurat lelah. Pasti itu hanya akal-akalan keluarganya untuk membuatnya menikah.
Ibunya menambahi dengan kalimat; aku ingin menimang cucu. Padahal sudah punya cucu. Adiknya, yang dua tahun lalu telah diperistri seorang bangsawan, kini punya putra yang hampir berusia satu tahun. Lagi pula, dia menikah bukan untuk memiliki anak, tapi mencari seseorang yang akan melengkapi hidupnya. Punya atau tidak seorang anak, tidaklah menjadi prioritas. Diberi ya syukur, tidak diberi juga bukan masalah. Terlebih, Avery memang tidak terbiasa dekat dengan anak kecil.
"Avery."
Baru saja Avery akan berjalan ke taman untuk menyegarkan pikiran, sang ibu mendatanginya.
Grace Robinson, Marchioness of Ripon, tersenyum lembut pada sang putra. Tangannya yang dilingkupi sarung tangan putih jaring-jaring, menggandeng Avery kalem. "Ayo, ibu perkenalkan dengan beberapa lady lainnya," ucap Grace bersemangat.
"Jika ibu ingat, hampir seluruh lady di ruangan ini sudah ibu perkenalkan."
Grace hanya tersenyum kecil. "Kau hanya berkenalan dengan gadis-gadis populer. Sapalah juga para bunga yang duduk manis di sudut sana."
Avery tak ingin menjawab, kakinya melangkah beriringan dengan sang ibu, ke arah para wallflower yang jarang dilirik pria.
Perkenalan itu tidak lama, karena Avery pun tidak begitu menaruh minat. Kepada lady-lady cantik di lantai dansa saja ia sedikit abai, apalagi pada para wallflower. Sangat di bawah standar, menurutnya.
Akan tetapi, perhatian Avery cukup banyak teralihkan ketika sang ibu mengenalkannya pada seorang lady yang menjadi perbincangan teman-temannya. Miss Denison, lady kekanakan yang sering digosipkan. Gosip yang buruk.
"Hanae Denison, Milord."
"Avery Robinson."
Ketika Avery mengecup sarung tangan putih milik Miss Denison, semerbak wangi asing terhirup. Seperti jeruk, atau lemon? Mungkin Miss Denison terlalu banyak meminum limun. Di antara aroma itu juga seperti ada wangi bedak, bedak bayi. Apakah Miss Denison masih suka memakai bedak bayi di usianya yang sudah dewasa ini?
Avery jadi penasaran, tapi ia lekas mengenyahkan pikiran tersebut. Untuk apa penasaran dengan hal yang tidak penting.
.
.
.
Pesta di rumah Marquess of Ripon meriah luar biasa. Avery turut memeriahkannya dengan berdansa hampir di semua slot; dengan lady ini, dengan lady itu. Lagi pula, gadis-gadis Yorkshire tidak kalah cantik dengan yang ada di London, terlebih mereka terlihat polos. Masih malu-malu dan canggung, seharusnya mudah untuk didekati, dan memang seperti itu yang terjadi.
Seharusnya juga, Avery akan lebih mudah mencari calon pengantin. Tinggal pilih yang paling cantik, paling manis, dan punya nilai baik di mata masyarakat. Sayangnya, tak juga dia menjatuhkan pilihan, memang tidak mudah.
Dari semua gadis yang didekati, tidak ada yang menggugah hati. Banyak yang cantik, tapi hanya itu, belum ada nilai lebih di mata Avery. Pembicaraan yang dilakukan pun begitu-begitu saja, standar, membosankan. Avery jadi berpikir, mungkin sebaiknya ia jalan-jalan lagi ke Eropa, mencari pujaan hati yang benar-benar cocok dengannya. Setidaknya Avery tidak perlu menjadi idiot ketika berbicara dengan calonnya.
Merasa penat, Avery pun melangkah menuju balkon yang sepi. Dihirupnya panjang udara malam untuk mengisi paru-paru yang mampet karena polusi napas dan parfum. Sampai iris bottle green-nya terpaku pada seseorang di taman.
Itu Miss Denison, dan seorang pria. Seharusnya ini akan menjadi gosip yang menarik. Namun, ketika diperhatikan lebih jeli, ternyata si pria adalah Samuel Denison, kakak sang lady. Hanya saja, ada apa Miss Denison dan sang kakak berada di taman yang gelap?
Avery penasaran, sehingga matanya masih kerasan memperhatikan.
Dari visi Avery, Miss Denison dan Samuel sedang membicarakan sesuatu. Sesekali sang kakak tampak marah, tapi Hanae malah tertawa. Jika sudah begitu, Samuel tidak ragu menjewer telinga adiknya. Hanae lalu akan menendang, Samuel menjitak, Hanae meninju perut kakaknya, Samuel memiting tangan adiknya.
Wah, brutal sekali dua bersaudara itu. Apa perlu dilerai? Tapi, seru. Sayang kalau tontonan selucu itu harus berhenti. Avery pun tertawa sendiri.
Di sana, Miss Denison pun tertawa, sang kakak masih marah-marah.
Avery tersenyum sampai bibirnya melengkung tinggi sekali ke atas. Ketika sadar, baru Avery bertanya-tanya. Mengapa tingkahku jadi ikut konyol?
Geleng-geleng kepala, Avery pergi dari balkon, ingin menuju ruang kartu untuk menikmati brendi.
.
.
.
Sayangnya, dalam perjalanan ke ruang kartu, Avery melihat Miss Denison yang masuk entah dari mana. Di koridor yang remang, mereka berpapasan.
"Milord." Miss Denison menekuk kaki sedikit, Avery mengangguk singkat.
"Anda sendirian, Miss Denison?" tanya Avery.
Miss Denison tersenyum lebar. "Dowager Marchioness Conyngham sedang istirahat di kamar tamu, sedangkan Mr. Denison sedang berjalan-jalan di taman."
Avery mengangguk lagi, mata awas mengamati Miss Denison. Dalam kepala sempat berpikir bahwa saat berbicara cukup panjang, ternyata suara Miss Denison enak didengar. Memang mirip anak kecil, tapi merdu. Seperti suara bocah yang bernyanyi di gereja.
"Sebaiknya Anda menyusul Dowager Marchioness Conyngham. Berjalan-jalan sendiri tanpa pendamping tidak baik untuk seorang lady," tutur Avery pada akhirnya.
"Terima kasih atas perhatian Anda, Milord."
Usai memberi senyum semanis madu, Miss Denison melangkahkan kaki terlebih dulu. Avery pun melanjutkan tujuannya. Mereka berpisah ke arah yang berlawanan.
Akan tetapi, saat itu Avery tiba-tiba ingin menoleh ke belakang. Ia berhenti, membalik arah, hanya untuk memperhatikan Miss Denison yang berjalan riang dengan dua tangan di belakang. Melompat, melompat, lompatan yang berirama.
Avery penasaran, kira-kira musik seperti apa yang mengalun di kepala Miss Denison sampai gadis itu bisa begitu gembira.
"Dasar kekanankan."
.
TBC
Gimana? Ini bagus apa nggak? Udah kayak hisrom2 gitu nggak? #disepak
Itu, gelarnya neneknya emang beda. Kakeknya Hanae bukan seorang baron, tp Marquis. Dan ayahnya Hanae bukan anak pertama, gelarnya didapat dari paman. ._.
18 Februari 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Marmalade
RomanceMiss Hanae Denison dan Lord Avery Robinson. Rasa marmalade paling manis adalah ketika memakannya bersamamu. @pepperrujak 2019 Historical Romance, Victorian Era.