Pagi-pagi sekali, Hanae sudah berkutat dengan setumpuk kertas dan pena. Masih dengan pakaian tidur yang berwarna putih berenda-renda, dan juga selimut tebal di bahu, ia terlihat sibuk dengan dunianya sendiri. Ujung pena diketuk-ketukkan ke kepala, kedua kaki naik ke kursi, duduk jongkok di sana.
Seandainya mantan governesnya tahu kelakuannya sekarang, Hanae pasti akan dipecut sekaligus diceramahi. Namun, masa bodoh. Hanae sudah 19 tahun, tidak perlu lagi guru tata krama. Dia lebih dari tahu kapan harus bersikap layak atau sembrono. Sesuatu di depannya ini, lebih berarti.
Hanae membaca kembali tulisannya. Sebaris kalimat terasa mengganjal, lalu tanpa ragu ia menyoretnya, menambal dengan kalimat baru yang lebih pas dan pantas. Anak rambutnya berjatuhan, disingkirkannya cepat ke belakang telinga. Ketika asik-asiknya menulis, pintu ruang belajar itu terbuka.
Samuel Denison berdiri di ambang pintu, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Mata abu-abu yang sama persis seperti adiknya itu, menyorot dengan tatapan campur aduk, antara kagum dan tidak habis pikir. "Kau di sini semalaman? Sejak kita pulang dari pesta Marquess of Ripon?"
Hanae mengangguk singkat, sedangkan tangannya masih sibuk menyoret-nyoret kertas di atas meja.
Usai mendebas pelan, Samuel menghampiri sang adik. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Hanae. Dipandangi adiknya hingga wajahnya sendiri dipenuhi kernyitan. "Lihat itu, di bawah matamu, mulai ada kantungnya."
Namun, Hanae lagi-lagi hanya mengangguk-angguk.
"Tidak lapar?"
"Lapar."
"Sebaiknya sekarang kau sarapan, dan bersiap-siap ke pesta kebun yang diadakan Lady Susan Fox siang nanti."
Sekali lagi, Hanae mengangguk saja.
"Kau mendengarkanku, 'kan?"
Tak. Suara pena Hanae yang diletakkan ke atas meja mengejutkan Samuel. Namun, putra pertama Baron Londesborough itu tahu bahwa ketika Hanae sudah tersenyum selebar jendela, berarti adiknya telah menyelesaikan sesuatu yang luar biasa.
Hanae berdiri di atas kursi, meregangkan tangan dan tubuhnya yang pegal-pegal. "Aku sudah selesai. Ayo, gendong aku ke ruang makan."
Samuel memutar bola mata. Meskipun begitu dia tetap menuruti permintaan kekanakan Hanae. Ketika ia memosisikan diri membelakangi Hanae, adiknya itu segera menempel di punggungnya, bergelayut seperti anak kera. Samuel menggendong dengan senang hati meskipun mulutnya sesekali mengumpat.
"Kau sudah sebesar ini tapi tidak bisa menjaga diri sendiri. Bagaimana nanti jika harus merawat suami," cibir Samuel.
Hanae terkikik kecil. "Iya, tenang saja. Aku ini lebih keibuan dibanding kelihatannya, loh."
"Wah, itu mungkin cuma perasaanmu."
"Aih, aku menilai secara objektif."
"Menilai secara objektif." Samuel membeo, hampir memutar bola mata. "Mana ada seseorang yang menilai dirinya sendiri dengan objektif," tambahnya sangsi, nadanya sedikit meninggi.
Hanae tertawa. "Ada. Aku ini bukti nyata. Kakak harusnya percaya."
Samuel mencebikkan bibir. Meskipun agak jengkel karena kalimatnya dijawab terus, tetapi wajahnya tak absen menghadirkan sejumput senyum lembut.
.
.
.
Ketika sampai di ruang makan, Baron Londesborough dan Dowager Marchioness Conyngham sudah duduk manis menikmati bacon.
Gilbert – ayah Hanae, hanya dapat menggelengkan kepala melihat kelakuan putrinya. "Apalagi yang kau kerjakan sampai pagi begini?" tanyanya basa-basi. Sebab, sudah hafal betul bagaimana putri satu-satunya itu ketika sedang kerasukan.
"Aku berhasil menyelesaikan novel pendek, Papa. Genrenya romantisme, para wanita pasti suka dengan yang begitu. Beri aku selamat?"
"Selamat."
Hanae tertawa kecil ketika duduk di samping ayahnya. Samuel duduk di samping Gilbert pula, tetapi di sisi lainnya.
"Papa tau siapa yang kujadikan tokoh utama?"
"Siapa?"
"Samuel Denison dan Avery Robinson."
Baru saja Samuel menyesap wine-nya, langsung ia semburkan begitu saja. Gilbert tersedak ludahnya sendiri, sedangkan Cecily yang sejak tadi diam juga tidak sengaja menggigit lidahnya ketika mengunyah daging.
Hanae hampir terpingkal, tetapi cepat ia hentikan ketika mendapati seluruh pasang mata menatapnya penuh ancaman, terlebih Samuel yang seolah ingin menghujamnya dengan pisau di tangan.
"Tenang saja, saudara-saudara. Aku tahu apa yang kalian pikirkan, tapi ini memang tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku hanya mengambil sifat-sifat dasar Samuel dan Lord Avery sebagai contoh karakter laki-laki dan perempuannya. Kenapa kalian seolah ingin mengurungku di gereja?"
Serempak, helaan lega terdengar.
"Kau hampir membuat nenekmu ini terbang ke surga," ujar Cecily tersendat-sendat. Lidahnya terasa sakit luar biasa. Ia pun meminum wine untuk menghapus rasa darah yang asin dan tidak menyegarkan.
Gilbert yang sudah menghabiskan isi di pinggan, menyesap sedikit wine-nya. "Siapa yang jadi karakter perempuannya?" tanyanya. Masih juga tidak ingin lepas dari perkara Samuel dan Avery ini.
Samuel jelas-jelas sudah meradang. Seandainya yang bertanya itu bukan ayahnya sendiri, mungkin sudah diberinya tinjuan cinta.
"Yang jadi karakter perempuan? Tentu saja Samuel. Aku tidak bisa membayangkan Lord Avery menjadi wanita," jawab Hanae dengan suara lantang dan kebanggaan tiada terkira.
Gilbert mengangguk, lalu tertawa bersama putrinya. Tidak peduli pada wajah sang putra yang sudah merah menyala, campuran marah dan malu yang diaduk menjadi satu.
"Hanae, kelakuanmu ini tidak lucu," hardik Samuel.
"Aku tidak melawak, Kakak."
"Akan kubalas kelakuanmu ini."
"Wah, aku menunggunya dengan sabar!"
Gilbert tersenyum samar, seraya meneguk wine dia memandangi dua buah hatinya yang selalu berbuat onar. Tidak masalah jika kelakukan putra dan putrinya dianggap kurang pantas, baginya, kebahagiaan dan kedamaian keduanya adalah prioritas. Dia sudah tidak memiliki istri, dan tidak juga berencana mencari pengganti. Terakhir kali dia mencobanya, hasilnya sangat tidak bagus. Gilbert merasa, waktu bersama anak-anaknya terlalu berarti untuk diselipi pihak lainnya.
Namun, jika nanti keduanya menikah, entah pikiran Gilbert akan tetap sama atau tidak. Semoga saja dia tidak lantas menjadi ayah yang kesepian di usia tua.
.
TBC
Judulnya tidak seseram itu kok #dilelepin
19 Februari 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Marmalade
RomanceMiss Hanae Denison dan Lord Avery Robinson. Rasa marmalade paling manis adalah ketika memakannya bersamamu. @pepperrujak 2019 Historical Romance, Victorian Era.