3. Lord yang Congkak dan Skandalnya

224 43 2
                                    

Di siang yang tidak begitu hangat meskipun sudah musim semi, halaman rumah Lady Susan Fox dipenuhi kereta-kereta kuda berlambang bangsawan. Dari sana, turun beragam rupa para lady dengan gaun piknik terbaik. Bonet dipenuhi bunga dan pita, beberapa bahkan memakai topi besar dengan hiasan bulu burung merak. Meskipun tidak begitu panas, ada juga yang memakai parasol dari sutera.

Tidak lupa, para ibu yang memiliki putra lajang turut menyeret anak-anak mereka. Entah yang berstatus ahli waris, atau hanya putra terakhir.

Melihat sekilas pun siapa saja sudah paham bahwa hari itu, di rumah Lady Susan Fox yang megah dengan halaman hijau berbunga-bunga, akan ada perang berdarah. Bukannya mereka akan saling menghunus pedang atau menembakkan peluru, itu hanya ungkapan, ungkapan yang artinya memang tidak jauh berbeda dari arti sebenarnya.

Perang yang terjadi akan lebih dingin, lebih ke arah sesuatu yang prestisius di kalangan para ton. Seperti, aksi pamer gaun dan perhiasan, perebutan gentleman lajang dengan prospek terbaik, dan harta yang ada di sini, atau harta yang ada di situ.

Di medan perang tersebut, Hanae datang dengan senyum ceria seperti biasa. Di sampingnya, ada Samuel dan wajahnya yang selalu tampak marah-marah. Kontras sekali memang dua bersaudara ini. Kekontrasan mereka bahkan tidak hanya sampai di sana, karena penampilan pun luar biasa berbeda. Samuel yang selalu modis, dan Hanae yang sangat sederhana.

"Hanae, jangan sampai kau pingsan karena tidak tidur semalaman." Sebelum menemui sang tuan rumah, Samuel sudah memperingati.

Setelah menyenggol kakaknya pelan, Hanae hanya tersenyum lebar seraya mengangguk.

.

.

.

Tidak hanya menawan pada pesta malam hari, Lord Avery Robinson, yang juga bergelar Viscount Goderich, memang tidak pernah lelah memukau mata wanita. Penampilan selalu bergaya, lirikan mata tiada dua, yang paling penting dia adalah penerus tahta ayahnya.

"Lihatlah itu, Avery Robinson dan rambut hitamnya yang tersisir rapi, matanya yang seperti elang pemburu itu sangat memukau hati. Rahangnya tegas aristokrat. Aku ingin dipeluk oleh tubuh kokohnya itu, dan menghirup aroma keringatnya."

Begitulah bisik-bisik yang lumrah terdengar jika Avery tiba.

Sebenarnya, hari ini Avery tidak begitu minat datang ke acara piknik Lady Susan Fox. Namun, ibunya benar-benar pemaksa, dan keluarganya yang lain juga mendukung penuh usulan sang ibu. Kata-kata yang terlontar lebih menjengkelkan lagi, karena hanya berhubungan dengan pernikahan, ambil lady yang paling menarik perhatian, yang mana saja oke, asal Avery cepat menikah.

Mungkin, mungkin saja, keluarganya meragukan orientasi seksualnya sampai-sampai ngotot menyuruhnya menikah. Mereka tidak tahu saja jika Avery jagonya menggoda wanita. Namun memang, demi menjaga reputasi keluarganya dan supaya terlihat terpuji, dia tidak pernah terang-terangan membawa wanita ke dalam kamar. Tidak juga suka wanita di pelacuran. Sehingga, seolah, dia adalah lelaki yang benar-benar bersih. Hanya valet-nya yang paling tahu kelakuan Avery di luaran. Bejatnya hampir tidak ketulungan.

Namun, sekali lagi, namun, mencari wanita sebagai istri sangat berbeda dengan yang hanya bisa diajak ke atas ranjang. Dengan mempertimbangkan berbagai alasan, Avery ingin sekali punya istri yang tidak merepotkan. Sayangnya, wanita, di mana-mana selalu merepotkan.

Ah, pusing sekali persoalan istri-istri ini.

Avery pamit untuk mengambil minuman, alasan klasik untuk meloloskan diri dari para lady yang berkerumun di sekelilingnya. Padahal, ketika semua lengah, dia menyelinap di antara pepohonan, mencari tempat yang lebih sepi dan tenang. Berlari menjauh dari acara piknik yang menyeramkan.

Orange MarmaladeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang