2

30 3 0
                                    

Pintu depan istana besar berlantai tiga itu tepat tengah terbuka ketika satpam membukakan pagar depan agar Audi milik Abe bisa merayap masuk. Umi sang ART yang berparas cantik untuk ukuran warga Jawa Tengah pedalaman tengah sibuk mengepel lantai beranda. Abe terpaksa melepas sepatu dan kaus kakinya untuk menghormati kerja keras Umi, dan perempuan muda itu mengangguk hormat ke arahnya. Sangat tidak aneh jika tatapan matanya heran seperti Pamuji sang petugas sekuriti di posko depan.

"Ibu mana?" tanya Abe.

"Di dalam, Mas. Mau pergi ke Mangga Dua," Umi menyahut sopan.

Abe mengangguk. Ia melanjutkan langkah bergegasnya ke dalam, dan Cynthia Karenina Waroka tepat muncul dari ambang ruang tengah. Perempuan manis berdarah Manado yang masih nampak kencang dan seksi pada awal usia 50-an itu sedikit mengangkat alisnya.

"Astaga! Kok sudah pulang? Ini baru..." ia menoleh ke jam dinding. "...Jam satu."

"Ada tugas mendadak, Ma. Aku harus ke Jogja."

"Jogja? Reuni SMA-mu itu, bukan?"

"Reuni juga, tapi ini soal lain. Harusnya kan aku baru berangkat Sabtu, tapi Om Sigit nyuruh aku berangkat hari ini juga. Sekarang juga."

Sambil melepas jas dan dasi, Abe menapak naik ke kamarnya di lantai atas. Sang mama mengikuti, masih dengan raut wajah penasaran.

"Dikasih kerjaan apa kamu sama Sigit? Ini baru hari pertamamu jadi managing director, kan?"

Abe menaruh tas di meja, lalu ia sibuk melakukan browsing dan searching di lemari pakaian.

"Bukan Om Sigit, tapi Papa."

"Papamu? Kenapa lagi orang satu itu?"

"Papa nyuruh aku nyelesaiin satu urusan bisnis Kwarsa yang belum beres di Jogja, soal pembelian lahan di Kaliurang untuk lokasi hotel bintang lima—join sama grup perhotelan Ashton. Dan aku cuman dikasih waktu tiga minggu. Kalau gagal, nggak cuman aku yang dicopot. Om Sigit juga."

Cynthia menaruh kedua tangannya di pinggang dengan tampang merah padam.

"Edan! Kerjaannya maksa-maksa orang lain masih belum sembuh juga, ya?"

"Kayaknya justru makin ampuh. Om Sigit cerita, seluruh anak perusahaan Imperia bisa maju karena orang-orangnya dipaksa terus oleh Papa. Bener atau salah itu kan relatif. Nyatanya metoda itu menjadi driving force perusahaan selama ini. Orang ternyata keluar semua potensi kemampuan terbaiknya kalau dalam kondisi kepepet dan ketakutan setengah mati bakalan mati!"

"Iya, tapi ini kan kesempatan karier pertamamu. Baru juga kamu dapat gelar master, sudah digencet-gencet kayak gini. Apa Mama bilang juga? Harusnya dia ngasih posisi rendahan dulu buat belajar! Masa masih bau minyak telon udah langsung dikasih posisi managing director? Manajer atau asisten manajer apa gitu. Kalau Mama perlu bicara sama papamu soal ini, bilang aja! Ntar biar Mama telepon dan marah-marahi dia. Peduli amat istrinya mau mencak-mencak kayak dulu itu!"

"Udah! Nggak usah lah, Ma! Kalau Mama bicara sama Papa, ntar aku pasti diledekin sebagai anak mama. Beraninya ngadu-ngadu urusan kantor. Lagian aku juga nggak mau Mama ribut lagi sama Tante Esther. Dulu itu pas saling sinis di gala dinner Helman malah aku sampai diinterogasi Bu Menteri..."

"Masalahnya dia keterlaluan, sih. Gak bener itu, sampai dua kali malah! Udah tahu anak baru, langsung dinaikkan ke posisi tinggi cuman karena namamu pakai Royce. Lalu baru hari pertama kerja udah langsung dikasih kerjaan yang intinya juga memaksa. Maksudnya apa dia itu? Apa memang sengaja mau menjebak dan membanting kamu?"

"Enggak lah. Ada Om Sigit dan para staf yang bantu. Barusan udah rapat kilat, merembuk semua rencana. Dan kayaknya semua sudah beres, tinggal aku ngikutin dan mantau eksekusinya aja satu-satu. Mama nggak usah khawatir...!"

Cynthia terdiam dengan wajah melunak. Ia mengamati saksama putranya menasukkan hanya dua helai kemeja dan dua helai T-shirt ke dalam backpack.

"Jadi seriusan mau berangkat sekarang juga?"

"Iya. Udah beli tiket, penerbangan jam 4 nanti. Habis ini langsung ke bandara."

"Adikmu jadi pulang besok loh. Harusnya masih sempat ketemu sebelum kamu berangkat ke Jogja."

Annabelle yang kuliah arsitektur di Monash memang akan balik hari Jumat sore. Salah seorang kawan SMA-nya menikah Sabtu malam. Dan Minggu sore ia sudah akan bertolak kembali ke Australia berhubung jadwal kuliah tengah padat. Jika Abe jadi berangkat sekarang, ia harus menunggu sekian bulan lagi dari sekarang sebelum bisa kembali bertemu muka dengan adik semata wayangnya itu.

"Yah, mau gimana lagi? Kerjaan memanggil. Kalau ntar aku butuh ketemu, biar aku yang ke sana aja. Udah lama nggak ke Aussie."

"Ya udah. Ntar Mama kasih tahu dia biar nggak kecewa. Ini mau manggil taksi apa diantar Pak Toro?"

"Aku bawa mobil sendiri aja, ntar kutitipin di bandara sampai aku pulang."

"Dan kapan kamu akan pulang? Senin pagi kayak rencana semula apa berubah lagi gara-gara urusan pekerjaan?"

"Kayaknya memang akan stay lebih lama. Paling dua-tiga hari. Jadi mungkin baru Rabu atau Kamis aku balik. Kenapa? Mama nggak ada rencana ke luar lagi, kan?"

"Ada, sih. Tapi bisa diundur, nunggu kamu balik dulu. Jumat misalnya."

"Oh, oke deh. Lagian Mama pergi aja juga nggak papa. Rumah toh nggak bakalan ke mana-mana," Abe mencangklong tas punggung ke pundak. "Aku berangkat dulu kalau gitu."

Cynthia memandangi putra jangkungnya dari atas sampai bawah.

"Langsung? Seperti ini?"

Memang agak aneh menyandingkan tas punggung dengan setelan baju Abe saat itu, yang masih berupa pakaian direktur hanya saja tanpa jas dan dasi. Abe mengenakan celana panjang dan kemeja putih bergaris biru dengan lengan digulung hingga siku.

"Iya. Ntar aja ganti baju di bandara. Atau nggak ganti juga nggak papa. Takut telat. Jalan ke bandara bisa makan waktu dua jam lebih. Ini aja udah hampir jam setengah dua."

"Udah makan belum?"

"Udah tadi di kantor bareng Om Sigit. Habis makan langsung pulang. Aku berangkat ya? Don't worry about me! I'll be fine."

Cynthia mengangguk dan baru akan beringsut maju memeluk Abe ketika ponsel pemuda itu berdengung keras. Sigit menelepon. Abe buru-buru menerimanya.

"Halo, Om?"

"Posisi di mana? Sudah otewe bandara?"

"Belum. Baru akan. Ini masih di rumah sama Mama, habis ini langsung berangkat. Ada apa?"

"Batalin!"

Mata Abe melebar. "Hah? Batal?"

"Yoi. Nggak usah ke bandara!"

Raut wajah Cynthia berubah begitu melihat ekspresi wajah Abe.

"Loh, kenapa?"

"Ada di TV. Nyalain aja! Ke TV berita tapi, jangan TV sinetron. Kompas, Metro, tvOne, atau Berita Satu. Buruan!"

Mata Abe melakukan pencarian. Remote control TV ada di kasur, tak jauh dari bantal. Ia masih ingat semalam nonton The Great Gatsby di HBO sampai tertidur dan TV mati sendiri karena tak memindai adanya aktivitas mata yang menatap ke arah layar selama lebih dari 15 menit. Layar kaca ajaib yang berada di dinding tepat di seberang kaki pembaringan menyala. Ia langsung arahkan ke kanal Metro TV.

"Ada apa?" Cynthia bertanya pelan, ikut melihat ke layar televisi.

"Om Sigit bilang ada sesuatu di TV. Aku harus batal berangkat ke bandara."

"Loh, kenapa?"

Kanal yang dicari ketemu. Dan tulisan "BREAKING NEWS" yang terlihat di layar beserta tulisan judul headline membuat Abe dan mamanya terdiam dengan dahi berkerut. Tak sempat lagi mereka dengarkan celoteh Fifi Aleyda Yahya yang tengah menuturkan kronologi peristiwa.

"Astaga...!"    

Lucida SideraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang