Backsong : Cokelat - Luka Lama (The Macarons Projects Cover)
✩★✩★✩★✩★✩★
Ini sudah kesekian kalinya Myra menyibak tirai kamarnya, mengintip dari balik gorden tipis motif bunga-bunga kecil. Mengintip ke arah rumah yang berada di seberang jalan. Gelap dan sepi.
Jalanan terlihat sepi sore itu, karena memang bukanlah jalan utama perkomplekan yang mobil dan sejenisnya berlalu-lalang. Hanya beberapa saja, itupun kepunyaan pribadi dari pemilik unit.
Sudah seminggu dirinya kembali ke Indonesia, setelah menyelesaikan post graduate-nya di Belanda. Dan selama seminggu itu pula, Myra hanya mendapati rumah Sakti sepi seperti tak berpenghuni. Bahkan saat malam pun, lampu dalam rumah seberang tersebut tetap padam.
"Myra ... kamu ngapain ngintip-ngintip?" tanya Amira memergoki putrinya tengah mengintip dari balik tirainya.
Amira tahu persis bagaimana persis perasaan Myra. Saat awal-awal putrinya melanjutkan kuliah ke Belanda, tanpa sengaja ia menemukan buku diary Myra.
Awalnya hanya iseng ingin tahu, namun di akhir halaman Amira malah menemukan kenyataan jika gadisnya itu mencintai teman masa kecilnya. Sakti Wiryawan.
Kini ia tahu mengapa putrinya mengambil study ke luar kota, bahkan keluar negeri. Sebagai sesama wanita, Amira tahu betapa sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan. Apalagi hingga lelaki yang dicintai justru bahagia dengan wanita lain, bukan dengan dirinya.
Selama tiga tahun pula, Amira tak sedikitpun menyinggung soal Sakti, karena Amira tahu luka hati Myra belumlah sembur benar.
"Temenin mama ke mall, yuk? Kita nonton terus belanja." Myra melepaskan cengkramannya pada tirai tersebut, dan melongo melihat permintaan mamanya.
Tumben?
Nonton? Sejak kapan mamanya suka nonton. Bahkan dulu saat Myra remaja pernah sekali ia mengajak Amira pergi nonton, tapi hasilnya ia ditolak mentah-mentah dan menyuruh Myra pergi dengan Sakti.
Sedikit memaksa, akhirnya Myra menyetujui keinginan Amira setelah bersiap-siap tak kurang sari setengah jam.
Jantung Myra tiba-tiba berdentam, ketika ia mendengar derit pagar besi yang dibuka pelan. Seperti sudah menjadi kebiasaan, Myra menengok dan mendapati seorang wanita mudah keluar dari dalam rumah Sakti.
Itu bukan Airin, dan setahu Myra Sakti tak pernah mempunyai saudara perempuan. Meski saudara jauh sekalipun Myra mengetahui siapa-siapa saja mereka.
"Mereka pemilik baru rumah itu." Seakan tahu apa yang ada dipikiran Myra, Amira memberi jawabannya tanpa menoleh sedikitpun ke arah wanita muda itu.
"Pemilik baru? Maksud mama?"
Tanpa menjawab, Amira memilih memasuka kunci mobil pada stop kontak dan menstater Honda Jazz merah milik Myra.
"Setahun yang lalu keluarga Sakti pindah."
Myra jelas terperangah, ia tak menyangka mendapatkan kabar yang sungguh diluar dugaannya.
"Pi-pindah, Ma?"
Amira hanya mengendikkan bahu, lalu mulai memutar mobilnya dan melajukan kendaraan beroda empat itu membela jalanan ibu kota. Membiarkan Myra berkutat dengan pikirannya sendiri.
Ah, betapa bodohnya ia. Berpikir bahwa Sakti akan menetap di rumah itu setelah menikah. Sekarang pria itu adalah tulang punggung keluarga kecilnya.
Mungkin saja lelaki itu menempati rumah mungil yang ia beli dengan hasil menabung, buah dari kerja kerasnya. Mungkin saja ia telah menjadi seorang ayah dari putri yang cantik seperti ibunya, atau putranya yang tampan seperti Sakti berumur dua tahun.
Memikirkan bagaimana Sakti bebahagia dengan pernikahannya, tak urung membuat dada Myra berdenyut nyeri. Ia masih tak rela
Selama rentang tiga tahun di sana, Myra meminimalisir semua yang berhubungan dengan Sakti. Seakan mamanya tahu apa yang tengah di rasakan oleh putri semata wayangnya, wanita paruh baya itu tak sekalipun menyinggung nama Sakti ketika mereka berkomunikasi melalui telepon, dalam rentang waktu sebulan sekali.
Ingatkan Myra jika telepon antar negara sungguh menguras dompet, lebih tepatnya menguras pulsanya.
Kepulangannya memang ia sembunyikan dari siapapun, termasuk sang mama sendiri bahkan tak tahu jika Myra merencanakan kepulangannya setelah semua urusan di Belanda selesai.
Kembali ke rumah ini, ia harus benar-benar memantapkan hati agar tak langsung berlari ke rumah seberang sana. Seperti kebiasaannya terdahulu, bahkan Amira menggerutu karena Myra selalu menempatkan rumah Sakti diposisi pertama.
Sekuat hati Myra untuk menahan diri agar tak menanyakan hal itu pada ibunya.
Ia ingin benar-benar terlepas dari bayang-bayang Sakti yang sekarang menjadi suami wanita lain.
Terkadang Myra masih mengingat kenangan manisnya bersama Sakti, membuat gadis itu menangis diam-diam tanpa bisa dikendalikan.
Sejauh apapun ia berlari, tapi hatinya masih saja terpaut pada lelaki itu. Lalu apa gunanya ia menjauh walau sampai ke seberang benua, jika hasilnya tetap sama.
Myra kehilangan mood menontonnya, begitu asumsi kehidupan Sakti yang bahagia meracuni pikirannya.
Ia sudah kehilangan Sakti, lalu ditambah dengan kepindahan keluarga Wiryawan semakin membuat Myra semakin merasakan kehilangan.
"Kamu mau nugget apa sosis?" Pertanyaan Amira membuyarkan lamunan Myra, membuat gadis itu geragapan.
"Terserah mama," jawab Myra pendek, kemudian kembali mendorong trolinya sambil melihat-lihat produk sayuran yang ada di rak dekat situ.
Atensi Myra teralihkan kala trolinya menabrak troli lainnya. Akan tetapi yang ia rasakan adalah darahnya tersedot dari wajahnya, membuat wajah pias itu semakin kehilangan rona merahnya.
Ya Tuhan!
Ingin rasanya Myra berlari dan menyingkir tempat ini saat itu juga. Apalagi melihat rona merah muda menghiasi pipinya pemilik yang Myra tabrak, semakin menguatkan asumsinya menjadi-jadi.
Mereka bahagia.
Bolehkan ia berteriak? Mengatakan dengan lantang jika ia tak rela melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah di depannya ini.
Boleh kah ia egois, jika menginginkan dia yang berada di balik troli itu tak bahagia sama seperti dirinya.
Namun nyatanya, Myra tak semalaikat itu. Ia berharap bahwa dia tak pernah bahagia dengan kehidupannya.
Agaknya Tuhan memang tahu apa yang Myra inginkan, tapi Tuhan tahu apa yang Myra butuhkan. Tapi sayangnya, apa gadis itu butuhkan sekaligus juga ia inginkan. Myra cuma ingin Sakti.
"Mama ... ayo ... katanya kita mau beli es krim." Suara anak kecil mengalihkan tatapan datar Myra dari wajah ibunya.
Myra semakin terbelalak tak percaya. Gadis itu memanggil wanita bergaun peach dengan sebutan mama.
Hey ... gadis cilik itu umurnya sekitar lima tahunan atau lebih. Tapi ... bagaimana bisa?
"Hai, Myra. Lama tak bertemu. Bagaimana kabarmu?" Wanita itu mendekat dan memegang punggung tangan Myra yang masih mencengkram pegangan trolinya.
"Airin," lirih Myra melirik perut buncit wanita itu.
Harus seperti apa lagi kehancuran yang diterima Myra, karena nyatanya mereka benar-benar bahagia.
Tuhan! Untuk kali ini saja, ia benci takdirnya yang hanya sebagai sahabat masa kecil.
✩★✩★✩★✩★✩
Ok done.
Tungguin selanjutnya. Gak tau kapan, tapi kalo bang ilham cepet pulang ya bakalan cepet apdet. Sayangnya bang ilham suka kabur-kaburan.
Jadi .... ya say to sorry aje.
Betewe, ini enaknya happy end apa sad end nih?
Gw demennya sad end sih. Buahahahahahahaha....
Siyu next apder cincah. Mmmuach.... 😘😘😘😘
Surabaya, 17/02/2019
-dean akhmad-
KAMU SEDANG MEMBACA
PUPUS (Novela)
RomanceSalah satu upaya Myra menyelamatkan hatinya adalah kabur ke Belanda, tepat di mana Sakti akan mengucapkan Ijab Qobul. Tapi bukan berarti ia bisa mengaburkan perasaannya hanya sebatas adik, seperti yang selalu Sakti ucapan. Sampai di mana ia kembal...