BAGIAN II

84 7 5
                                    

Rintik hujan menimpa atap berkali-kali. Membuat khawatir tentang rencanaku pergi esok hari. Sedari sore aku berbincang dengan Arya lewat whatsapp. Merembug beberapa hal untuk pendakian yang aman, memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk beserta solusinya. Akan ada badai dan hujan, misalnya. Untung aku memang sudah terkadung siap mendatangi Merbabu, perlengkapan safety sudah lengkap, hanya kurang belanja logistik, seperti coki-coki dan madurasa, kesenanganku.

Mentari masih merayap mengintip langit, tapi aku sudah dulu melitit. Sarapan yang dibuatkan Mamak, panggilan untuk istri Pak Dhe sudah kulahap sejak lima menit yang lalu. Sebelum tepat pukul enam, aku memastikan lagi barang-barang bawaan; sarung tangan, jaket, masker, jas hujan sudah siap di lid ruang keril bagian atas kerilku, paling mudah dijangkau.

Suara motor Arya samar-samar mulai terdengar jelas di depan rumah, disusul motor Ana dan Dewi, dua teman Arya yang akan menjadi kawan pendakian kali ini. Kami akan berangkat berenam, karena dua teman lainnya akan langsung bertemu di basecamp pendakian gunung Merbabu via Wekas. Sehingga memaksa motor Dewi harus dititipkan agar bisa saling berboncengan. Pukul 06.15 WIB kami berangkat, perjalanan menuju basecamp nampaknya akan memakan waktu sekitar dua jam.

Perjalanan dimulai, dua motor saling beriringan, motor Ana berada di depan yang mengandalkan maps sedangkan motor Arya di belakang mengikuti. Kami sesekali saling salip karna memang Arya sudah cukup hafal jalanan Jogja-Magelang. Belum sampai memasuki gapura Magelang, ban Arya mendadak kempes, bocor.  Padahal Ana dan Dewi sudah jauh di depan tak terlihat pandang. Kami memutuskan untuk berjalan tetap ke arah Magelang, berharap menemui tambal ban di depan sana. Jalanan ramai, tapi kami berdua tak menemukan bengkel atau semacamnya. Aku sesekali berhenti berjalan, Arya memandangku kasihan, merasa tak enak aku menahan peluhku dan kembali berjalan.
"Pelan-pelan Qi, aku duluan, nanti kususul." Arya berlari mendahuluiku dengan tas keril di punggungnya. Langkahku memelan. Pemanasan sebelum pendakian, batinku.
Hampir setengah jam aku beristirahat, melihat lalu lalang kendaraan membuat kepalaku berkunang-kunang.

Setengah jam berlalu, aku tertunduk lesu.
"Lama ya? Maaf, aku kembali membuatmu menunggu." suara Arya sedikit berat dengan nafas yang masih berkejaran.
"Ah ya tak apa. Sudah dapat?" aku melihatnya berdiri di hadapanku.
"Sudah, ini motor bang Jajak, pemilik bengkel. Sudah hampir selesai."
"Syukurlah, ayok!"
"Minum dulu." Arya menyodorkan sebotol air mineral merk aqua dan 2 lembar sari roti. Aku mengambilnya dan segera minum tiga tegukan. Roti kumasukkan ke dalam tas slempangku. Rencana akan kumakan nanti di basecamp. Aku beranjak dari duduk, Arya membantu membawakan kerilku dan kami menuju ke bengkel menaiki motor honda 125.
"Tidak ada yang mencoba menculikmu kan selama menungguiku tadi?" ejeknya.
"Memang kenapa?"
"Kalo ada, aku kehilangan alasan dong."
"Alasan?"
"Ah nanti pasti kamu paham."
Aku hanya tersenyum, sedikit. Sebal mendengar jawaban Arya yang sama sekali tidak menjelaskan sebuah alasan. Arya nampak tersenyum lebar di kaca spion, meski hanya dapat melihat separuh wajahnya, namun entah mengapa bibirku ikut tertarik merekah menyelaminya.

Kami tiba di pelataran bengkel yang penuh dengan jejeran laki-laki sedang memodifikasi motor honda jenis CB. Beberapa di antara mereka melihat kami datang lalu menyapa dengan anggukan, kami pun tersenyum menanggapi.
"Mau nanjak ke mana Bang?" tanya seorang montir dengan oli di tangannya.
"Merbabu Bang."
"Musim pancaroba begini, hati-hati Bang, terlebih ada ceweknya, susah kalau terkena hipotermia." Lanjut montir tersebut menasihati. Aku hanya mengangguk-angguk karena paham, memang pendaki wanita itu identik menyusahkan.
"Insya Allah yang saya ajak ini mental baja, tahan dingin, tahan angin." jelas Arya sedikit mengejek.
"Kau pikir aku apa?" pekikku dengan cubitan di pinggangnya.
Hampir seluruh laki-laki yang duduk di dekat Arya ikut terkekeh, seakan mereka sekongkol menetertawakanku. Setelah ban beres di pompa dan dipasang seperti sedia kala, kami bersiap melanjutkan perjalanan. Entah apa yang dibicarakan Arya dan para lelaki itu selama lima belas menit yang lalu, aku tak memerhati. Sibuk dengan ponsel, menscroll beranda instagram dan membalas chat Dewi yang mencemaskan kami.
"Bang jalan dulu ya, terima kasih tempat teduhnya." tukas Arya pamit.
"Iyaa Bang, hati-hati, awas yang belakang dijaga nanti hilang." canda Abang montir memecah tawaku. Arya meringis sebentar lalu menekan klakson dua kali, kami melesat menyusuri jalan raya lagi. Sepanjang jalan Arya fokus berkendara, aku terkantuk-kantuk sampai hampir jatuh ke kanan jalan. Arya menahanku.
"Pegangan! Atau mau kuikat?"
Belum sempat aku menjawab, Arya memarkir di kiri jalan. Ia mengambil selendang tenun etnik yang kami beli bersama-sama di Malioboro sebagai tali, tanpa protes aku memposisikan tubuhku dengan bodypack ukuran kecil di punggung Arya.
"Nyaman tidak?" Arya menggoyangkan tasnya dan memastikan kembali. Aku hanya mengangguk, ia pun mengerti.
"Arya, aku tidur ya." izinku. Giliran Arya yang tidak menjawab, kurasa laju motor semakin cepat karena jalanan sedikit lengang. Ia hanya menepuk pundaknya beberapa kali. Aku juga hirau, kepalaku sudah terlampau berat, entah sejak kapan aku bersandar di pundak Arya, lupa. Sesekali aku terbangun karena bunyian kendaraan. Selebihnya aku hanya di awang-awang, yang kuingat wangian tubuh Arya, alami.
Kakiku terasa dipukul-pukul keras, kudengar lirih suara Arya, Ana, dan Dewi. Mataku menyipit, menahan terik.
"Sudah sampa Qi. Pulas sekaliiiiii." Ejek Ana.

LUANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang