BAGIAN III

50 7 4
                                    

Apa yang lebih nyaman daripada beratap langit beralas bumi? Bersandar di pundakku, barangkali; yang dapat meredam tangismu, melegakan pilumu, kelak. Sepertinya malam ini semesta sedang mendominasikanku untuk melambatkan waktu. Mesabotase seluruh jengkal-jengkal Merbabu agar lekat merekam kenangan yang akan kuingat berulang-ulang. Harap menjadi cemas, resah berhulu kesah, segalanya menjadi rasa takut yang berlarut-larut.

Ah kalut juga manusiawi, setiap manusia menjadi melankolis ketika dihadapkan masalah hati. Tak terkecuali aku, terlahir menjadi laki-laki yang kerap dianggap berani. Padahal tidak jauh berbeda dengan wanita, perbedaannya hanya pada diperlihatkan atau dibungkam saja. Laki-laki lebih senang menyembunyikan sifat-sifat yang feminin, tapi perempuan sebaliknya. Atau mungkin lambat laun dunia telah melahirkan manusia-manusia berkepribadian ganda, sehingga tak seorang pun mampu menduga-duga. Tak pandang gender, wanita bisa tumbuh begitu perkasa, tapi tabiat tetaplah melekat.

Cepat-cepat kubuang monolog dalam kepalaku. Lalu menemukan mata Qila yang kosong, aku tak tahu betapa ia menahan sesak dalam hatinya. Namun mendengar ia sedang tidak baik-baik saja membuatku ikut terluka. Entah sejak kapan aku menjadi seperasa ini, mudah jatuh cinta dan patah hati. Hidupku beberapa bulan yang lalu tak pernah payah, setelah mengenal Aqila pekaku cukup terasah. Memang.

Sejak aku dan Qila gemar bersua di kolom chat, kami merasa satu frekuensi. Ah tidak tidak, barangkali aku saja yang sebenarnya sudah dulu kagum dengan apa-apa yang ia posting di media sosial, sebab Aqila memang tidak pernah mengutarakan pengakuan. Awal memasuki hidup seorang gadis yang belakangan kuketahui keturunan Jawa-Sunda itu tak lain hanya lewat sebuah akun instagram yang gemar me-repost foto pendaki wanita. Awalnya aku hanya iseng, namun lama-lama kok kesemsem, begitu kata orang Jawa. Aku menjadi sering melihat profilnya, mengecek snapgram dan bahkan beberapa kali membaca kolom komentar. Jelas tujuan utamaku bukanlah sekadar menjadi stalker diam-diam, lalu bermimpi berkenalan sebagai sesama penggiat alam. Waktu terus berjalan, aku tertantang untuk berani mengajaknya melakukan pendakian.

Dalam sebuah gambar terpampang pemandangan jelas Sumbing dari Sindoro; terlihat Aqila mengepal kedua tangannya. Menahan dingin dan berpose sedikit terpaksa dengan senyum di matanya. Nampak di foto itu, Qila tak mau terlewat mengabadikan dirinya dengan garis melintang kemerahan di cakrawala. Sunrise, begitu orang awam menyebutnya. Ada decak kagum dalam hatiku, padahal aku juga pernah melihat dengan mata telanjang dari puncak gunung, tapi ada Qila terasa berbeda.

Jelasnya Qila tidak seperti pendaki wanita kebanyakan, yang suka memposting cantik rupa dengan baground gunung seadanya. Ia lebih senang memajang gambar landscape dengan latar hampir seluruhnya adalah gunung dan hutan. Kalau pun ada Qila di dalamnya hanya terlihat sepintas saja, tidak ketara. Ditambah lagi tulisan Qila di ruang caption membuatku menerka-nerka wanita seperti apa dia. Tak pelak jika tulisannya selalu pas, ternyata dia kutu buku garis keras.

Pertemuan kali pertama di stasiun Tugu Yogyakarta menambahi penasaranku. Aku semakin ingin tahu seluruh hidup gadis bermata bulat dengan lipatan yang sedikit, hampir sipit. Aku suka cara ia tersenyum, matanya ikut melengkung. Ah rasanya aku terlalu kagum, hingga sampai di tengah-tengah sabana Merbabu pun, rasa ingin tahuku tak menurun.
"Ar." Suara Qila merambah keheningan.
"Ditinggalkan atau meninggalkan itu sama, kita sama-sama kehilangan." Lanjutnya dengan jemari yang melepaskan diri.
"Tapi kamu berhak memilih dengan siapa kau akan menghabiskan waktumu Qi."
"Harus dengan terluka dulu? haruskah aku seperti itu?" Qila menoleh ke arahku, matanya berbinar. Ingin sekali aku memeluk mata itu lebih dalam; akan kurangkum apa saja yang membuat air matanya jatuh karena siksa.

Seperti halnya seminggu yang lalu, mendengar Qila menangis dengan suara parau lewat voice call, rasanya menyakitkan. Meskipun aku belum pernah menemuinya kala itu, aku turut naik pitam. Qila menjatuhkan hatinya pada lelaki yang senang membentangkan harapan, pada perempuan-perempuan. Sudah terlanjur sayang, alasan Qila tak mau melepaskan. Terlebih orang tua masing-masing sudah tahu satu sama lain. Takut membuat kecewa, katanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LUANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang