BAGIAN 1

119 10 6
                                    


Seorang gadis duduk di bangku panjang tempat menunggu dan lalu lalang penumpang. Sesaat ia mengernyitkan dahi melihat jam casio warna hitam yang melingkar di tangannya. Hari sudah tidak pagi lagi; 10.47 WIB. Kaki yang terbalut sepatu kets mengetuk-ketuk lantai dan tangannya sibuk menggeser-geser layar gawai. Ia mengenakan setelan celana jeans berwarna navy, tunik hitam, jilbab hitam dan jaket jeans bercorak sama dengan celananya. Earphone yang sedari di kereta terpasang di telinga dan kunyahan permen karet di mulutnya. Berulangkali ia menengok ke belakang, ke arah kereta berangkat pun pulang. Nampaknya ia menunggu seseorang.

Gadis dengan wajah bulat, badan sedikit berisi yang membawa tas gunung itu kembali celingak-celinguk. Beranjak dari tempatnya berdiam, lalu menghampiri laki-laki yang berdiri di seberang.
"Maaf ya, sudah dari tadi menunggu?" kata laki-laki itu sedikit terbata.
"Ah tidak apa, aku suka suasana stasiun." Kilah sang gadis.
"Jadi kita mau ke mana dulu?" tanya laki-laki berperawakan tinggi dengan rambut sedikit dibiarkan gondrong itu seraya mengulurkan tangan, kemudian disambut oleh sang gadis.
"Aqila."
"Arya."
Mereka terkekeh. Untuk kali pertama mereka bertemu, bersalaman, berkenalan, setelah satu bulan lamanya hanya bersua lewat kolom chat di media sosial.
"Kamu tinggi juga ya Ar." tukas Aqila mengomentari.
"Kau pikir aku kerdil, seperti kau." ejek Arya.
"Enak saja. Oh ya di sini tempat makan yang ciamik dan murah di mana?"
"Di rumahku. Mau?" Arya tersenyum hampir tertawa.
"Berangkatttttt!" jawab Aqila dengan tawa melebar.

Arya dan Aqila berjalan beriringan menuju tempat parkir, lalu berkemas mengenakan keamanan berkendara; jaket, masker, dan helm tentunya. Mereka meninggalkan Stasiun Tugu Yogyakarta menuju ke arah Malioboro menggunakan sepeda motor jenis honda beat keluaran 2016. Memang benar kata orang bahwa dua manusia yang dekat dan hangat di media sosial belum tentu akan sama di dunia nyata. Lihat saja Arya dan Aqila yang canggungnya ketara. Mereka hanya mengobrol sesekali, itu pun Arya menanyai hal-hal yang sifatnya basa-basi. Tidak seperti di kolom chat, mereka menjelma menjadi sepasang teman lama yang banyak hal untuk dijadikan bahan berbincang. Beberapa menit Aqila menikmati jalanan Jogja yang ramai, sebelum sampai di kawasan Malioboro motor berbelok di salah satu warung pinggir jalan. Arya memesan dua nasi gudeg dan es teh manis, sedang Aqila menaruh tas punggunya di lesehan tempatnya akan menyantap makanan khas kota pelajar itu.
"Jadi kita akan ke Magelang kapan?" kata Arya membuka obrolan.
"Enaknya kapan? Besok?" Aqila sibuk melepas sepatu ketsnya.
"Kamu ndak capek? Kalau sabtu bagaimana?" usul Arya
"Boleh, tapi kau harus menjemput dan mintakan izin ke Pak Dhe-ku, langsung." tukas Aqila sedikit melotot.
Arya hanya mengangguk. Lima belas menit kemudian makanan datang, dan hening kembali berperan. Mereka hanya saling adu pandang satu sama lain. Terkadang Arya menatap Aqila begitu dalam sambil menyuapi mulutnya sendiri, lekat-lekat sampai Aqila salah tingkah.
"Berhenti menatapku atau kau akan jatuh ke dalamnya." Ujar Aqila memeringati.
"Aku sudah jatuh dan memilih tidak bangun lalu berpaling."
"Apa sih." Aqila tertawa ringan, geli. Kembali, Aqila yang mencoba masuk dalam mata tajam itu, meniti wajah Arya yang sangar dengan alis tebal dan hidung yang mancungnya sesuai takaran, pas. Ketika tak sengaja mata mereka bertemu, Aqila mengayunkan tangannya menutupi wajah Arya. Lalu tersipu dan tertawa lagi, manis sekali. Setelah selesai, piring gelas dirapikan jadi satu, kebiasaan Aqila agar penjual tidak kewalahan membereskan piring bekas pelanggan. Arya merasa kagum hanya dengan melihat satu kebiasaan gadis berkulit sawo matang itu.

Mereka melanjutkan perjalanan. Aqila yang akan belanja oleh-oleh di Malioboro untuk Pak Dhenya, membeli syal kain tenun etnik yang akan dibawanya ke Magelang, menebus rindu pada Merbabu. Setelah beres dan puas berkeliling Malioboro, motor honda beat berwarna hitam itu melesat ke kediaman Pak Dhe Aqila, Pak Tono namanya. Mereka disambut hangat oleh Pak Tono beserta istri. Aqila ditarik-tarik ponakannya menuju kamar, sedang Arya di ruang tamu dengan Pak Tono berbincang-bincang. Di tengah obrolan ngalor ngidul Arya memberanikan diri untuk meminta izin pendakian yang akan dilaksanakan satu hari lagi. Setelah Arya menyampaikan maksud, Pak Tono menanyai seputar informasi alamat rumah dan nama orangtua Arya. Memastikan bahwa Aqila akan aman selama bersamanya.

Arya pamit pulang dengan izin yang sudah dikantonginya. Ia menyunggingkan senyum menunggu Aqila keluar untuk mengantarnya sampai depan pagar.
"Sabtu aku jemput jam enam pagi, tepat." Arya sedikit berbisik.
"Pagiiiiii sekaliiiiiii!!" Aqila menekik kaget dan segera menutup mulutnya.
"Sssssttt sudah aku pamit. Jaga diri, jangan kangen."
Pipi Aqila mendadak memerah melihat Arya yang kian menjauh darinya dan hilang di pertigaan ujung gang.

LUANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang