Surat Dari Penulis

289 22 18
                                    

Halo,
Untuk kamu di sana.
Fatamorgana yang saya suka, ilusi yang saya paksa nyata.

Apa kabar?

Sudah lama sekali rasanya, kita tidak pernah lagi berbicara. Sekarang semuanya jadi terasa canggung 'kan?

Ah, pertama-tama, biarkan saya beri alasan mengapa kata 'aku' mulai digantikan oleh kata 'saya'. Sederhana saja, karena kata 'aku' terlalu akrab untuk kita yang terlanjur asing sekarang.

Saya belajar banyak tentang rasa sabar.

Tentang penantian tanpa sebuah kepastian.

Tentang kebersamaan yang berakhir dengan ketiadaan.

Semua tersapu oleh waktu perlahan.

Saya berusaha keras untuk tidak lagi memaksakan kehendak hati.

Kalau memang sudah seperti ini.

Katanya, ada cerita yang tertulis apa adanya, ada takdir yang tidak bisa diubah dengan mudah.

Saya mencoba percaya, mungkin ini memang sudah jalannya.

Dulu, berbicara denganmu selalu menjadi hal yang saya suka. Membicarakan apa saja, random, tapi terasa menenangkan. Terasa benar sekali.

Saya jadi rindu saat-saat itu.

Sekarang untuk berbicara denganmu saja terasa sangat sulit. Lidah saya kelu, ada banyak sekali yang ingin saya katakan, tapi tertahan.

Tidak ada waktu yang tersisa lagi untuk saya.

Keberuntungan saya sudah habis.

Kesempatan saya sudah tak ada lagi.

Tapi ada hal yang perlu kamu tahu, kalau...

Kamu lebih dari cukup dari yang saya pinta.

Dulu, saya selalu ingin mencoba untuk menggenggam tanganmu lama, bukan hanya dalam waktu seperkian detik saja. Tapi saya takut. Sampai saat ini pun saya masih takut. Bagaimana jika tangan saya tidak membuatmu nyaman?

Saya terlalu sering mendapat penolakan.

Awalnya saya pikir, tidak akan jadi masalah jika kamu menolak kehadiran saya dulu. Saya akan mencoba terbiasa jika kamu memperlakukan sama.

Tapi kamu berbeda. Kamu memberi saya kesempatan. Hingga akhirnya saya jadi terus menumpuk harapan.

Saya membohongi diri saya sendiri.

Saya egois ingin mempertahankanmu selama yang saya bisa. Meskipun hanya dianggap adik, tidak apa-apa. Asal kamu masih di sini bersama saya.

Saya begitu naif, ya?

Saya jahat sekali.

Maaf, jika kamu harus dicintai oleh perempuan sok puitis seperti saya.

Kamu harus jadi objek dalam tulisan saya, 'abadi' di dalamnya, tertumpuk dalam kenangan yang pernah kita buat bersama.

Kamu pasti merasa jengah karena saya terus berkata, "kamu tidak payah."

Tapi saya tidak membual. Saya tidak bohong.

Saya mengatakan yang sebenarnya, kamu tidak payah.

Ayo, percaya dirilah. Kamu lebih dari yang kamu duga.

Tentang semuanya, saya minta maaf.

Maaf saya tidak cukup punya keberanian untuk berjuang lagi.

Saya hanya bisa menunggu.

Bukankah takdir perempuan memang menunggu?

Saya sudah terlalu banyak memaksakan keadaan.

Saya tidak menyerah, saya tidak pergi.

Kita bisa memulainya lagi dari awal, sebagai adik-kakak yang sering kita ucapkan. Kali ini tanpa campur tangan perasaan saya.

Saya akan berusaha sekali lagi.

Tapi, apakah memang ada kesempatan untuk saya sekali lagi?

Maaf kalau tulisan ini jadi sangat panjang.

Maaf terus membuatmu berada dalam situasi yang merepotkan.

Maaf...

Maaf sudah mencintaimu dengan begitu dalam.

Sampai jumpa, di lain hari.

Saya akan menunggu hingga saat itu tiba:)

Dari saya,
Yang masih berharap pada harapan semu yang rapuh.

Diksi (tak) Bermakna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang