The Girl and The Lady

3.4K 314 5
                                    

II.

 

Saat pagi menyapanya, tak ada pikiran istimewa. Hari ini akan sama saja. Hinata tahu itu seakan itulah aturan utama dalam hidupnya. Usianya sekarang dua belas tahun, tapi Catatan Kebahagiaannya masih saja kosong.

Lihat saja ayahnya yang tak akan peduli jika dia menghilang berminggu-minggu. Sahabat, hanya ada kertas kosong di bagian itu, tak ada nama. Hinata sudah biasa merasa tak berarti. Dan terkadang, lebih mudah jadi orang seperti itu; tidak berarti.

Jadi dia bangun dari ranjangnya, berjalan menghampiri cermin di kamarnya, tersenyum, lalu, "Selamat ulang tahun, Hinata," kata Hinata pada pantulan dirinya di cermin. Setelah itu air mata mengalir dengan mudahnya. Pagi selalu diawali dengan helaan napas panjang yang menyedihkan.

Mahkota mewah sebagai pewaris Hyuuga menjadi sumber kesedihannya yang terbesar. Benda yang tak terlihat itu terasa berat di kepalanya. Hinata ingin melepas segalanya dan menjadi gadis biasa. Tak jarang dia merasa asing pada dirinya sendiri.

Setelah siap, Hinata memastikan mengenakan tambahan syal karena pagi ini salju masih turun. Dia melangkah keluar dari kamar, bertemu dengan koridor sepi di rumahnya yang semakin terasa dingin. Hinata melewatkan sarapan dan bergegas keluar.

Untuk kali ini Kiba tak bisa bergabung untuk berlatih dengannya. Akamaru tak tahan cuaca dingin. Hidungnya selalu berair. Apalah artinya seekor anjing jika tak bisa menggunakan hidungnya secara maksimal? Shino juga sama. Mana ada serangga yang tahan dengan udara dingin?

Hinata berlari ke tempat latihan yang juga sepi. Kebanyakan genin seusianya pasti masih aman di balik selimut atau sedang menikmati waktu bersama keluarga mereka, bermanja-manja di pelukan Ayah, atau duduk berbincang-bincang dengan Ibu.

Cuaca seperti ini tak nyaman bahkan bagi para shinobi untuk keluar dan beraktivitas. Hanya Hinata yang tak ingin melewatkan waktu begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Dia perlu meningkatkan kemampuannya dan terus berusaha agar menjadi lebih baik dari kemarin dan menjadi kunoichi yang nantinya akan diakui Naruto.

Batang pohon yang dia gunakan sebagai target, menerima pukulan-pukulan Hinata. Gadis kecil itu menendang dengan sekuat tenaga. Dia terus berlatih dan mengeluarkan banyak keringat. Hinata mengabaikan tenggorokannya yang terasa kering dan paru-parunya yang seakan terbakar.

Terlalu sebentar. Seharusnya Hinata baru merasa lelah setelah beberapa jam latihan. Dia bisa merasakan potensi chakra-nya mulai menurun. Hinata mengganti gerakannya dengan yang lebih ringan, berharap usahanya bisa sekadar mengumpulkan lagi tenaga yang terkuras.

Sendirian seperti ini, di tengah cuaca dingin yang sunyi seperti ini, terasa bagai kematian.

"Kau belum sarapan, kan?"

Hinata berbalik saat mendengar suara seorang wanita. Pandangannya agak buram saat dia merasakan aliran darah mengalir cepat di kepalanya. Gawat. Dia tahu pasti apa artinya ini; tekanan darahnya rendah. Jika terus dipaksakan, dia bisa pingsan.

Wanita itu mengenakan kimono berwarna biru gelap dengan motif bunga plum putih. Obi-nya juga berwarna biru, tapi lebih cerah dengan aksen kuning yang membuatnya terlihat lebih ramah.

"K-kau... s-siapa?"

Wanita itu juga menyanggul rambutnya. Payung kertas melindunginya dari salju yang masih turun. Dia tidak berdandan seperti kebanyakan wanita ber-kimono yang biasa Hinata temui. Hanya ada warna merah muda tipis di bibirnya.

"Hinata." Suaranya yang lembut membuat Hinata terpaku di tempatnya.

Siapa wanita ini? Wanita yang juga memiliki sepasang mata Hyuuga seperti dirinya.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang