A Home for Heart

5K 354 16
                                    

III.

 

Sang Kazekage membaca laporan terakhir misi dari dua orang Jounin kepercayaannya. Gaara terlihat puas dengan kerja orang-orang bawahannya. Dia tahu usianya memang tak bisa dibandingkan dengan mereka yang sudah lebih berpengalaman. Pada kenyataannya, terkadang Gaara rindu kehidupannya yang lalu.

Bukan berarti dia ingin kembali pada masa lalu. Bagi Gaara masa lalu telah lama dia lipat dan hanyutkan bersama aliran deras waktu. Masa lalunya telah lama tenggelam di lautan waktu. Bahkan jika dia mencoba meraihnya, dia tidak akan mampu menyentuhnya lagi.

Namun, ada saja keinginannya untuk menjelajahi lebih banyak hal. Dunia shinobi yang luas ini belum sepenuhnya dia raih. Dia hanya menjejakkan kakinya di beberapa negara tetangga. Dan jika dia menyempatkan diri tinggal di desa sekutu, maka waktu yang dia miliki hanya dihabiskannya dengan urusan kenegaraan.

Menjadi Kazekage di usia muda bukanlah sebuah kesalahan karena dengan posisi ini Gaara hidup di dunia sempurna ini sekarang. Di sebuah dunia yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Di mana warga Suna menerimanya, dua kakaknya menduduki posisi tinggi pemerintahan, memiliki seorang istri dan membangun keluarga bersamanya.

Gaara tak pernah punya imajinasi seperti ini. Dalam pikirannya hanya ada kemenangan, darah, dan kematian.

Sampai akhirnya Naruto memperkenalkannya pada hal lain. Persahabatan, katanya. Atau dalam definisi Gaara, sebuah kerumitan emosi antar manusia. Dia yang merasa tertantang, melangkah maju. Menjadi seorang teman bagi shinobi berambut pirang itu. Perlahan, sisi manusia dalam dirinya beradaptasi.

Dan di sinilah dia sekarang. Duduk di kursi yang dulu pernah diisi ayahnya; pemimpin Suna.

Gaara menggulung laporan setelah selesai membacanya. Dua orang Jounin dipersilahkan pergi. Malam sudah merambat larut. Pikirannya beralih sejenak pada putranya yang kini berusia tujuh tahun. Sehat dan bahagia. Diterima dan menerima. Mendapat dan memberi kasih sayang.

Malam itu bulan di musim dingin sedang penuh. Warna cerah keemasan yang lemah melebur bersama warna hangat pasir di gurun Suna. Langit gelap yang luas hanya dihiasi satu bintang yang berpendar bahagia.

Gaara bertahan sejenak di kursinya, memandang hampa mejanya. Kemudian, ketika dia bangun, hatinya diliputi perasaan yang sangat pas... yang menuntunnya pulang.

-:-

Di kamar, Gaara menunduk memandang Hinata yang tertidur di ranjang. Dia mengenakan gaun tidur berwarna hitam mengilap, tubuhnya meringkuk dan terlihat kesepian. Dua hari yang lalu Hinata terserang demam. Gaara sulit untuk percaya.

Di Suna, hampir tak ada orang yang terkena flu. Mereka selalu berkeringat, mereka selalu sehat dengan sinar matahari yang rasanya siap membakar jenis virus apa pun sebelum berhasil menyerang sistem imun penduduk Suna.

Hinata adalah seorang penduduk Konoha. Berapa lama pun dia tinggal di sini, Hinata tetaplah seorang Konoha.

Kemudian Gaara mengerti alasannya sakit adalah perasaan rindu terhadap Konoha.

Tanpa membuat suara, dia mendekati ranjang, duduk di sisi ranjang, berupaya begitu kuat untuk menahan keinginannya memeluk tubuh Hinata dan menatap ke dalam matanya. Dia ingin Hinata bisa melihat kerinduannya.

Cahaya bulan menembus jendela besar kamar mereka. Gaara tak melakukan apa pun selain duduk di sana agak lama, bertahan di posisinya dan hanya memandang Hinata, warna rambutnya, punggung yang menyanyikan irama napasnya, kulitnya, dan setiap detail dari seorang Hinata.

Sang Kazekage masih mengenakan jubah kebesaran berwarna biru. Topi kage-nya telah dia tanggalkan sejak tadi. Gaara tak merasakan kantuk seperti biasa. Dia hanya merasa lelah.

HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang