Hari Sabtu malam, 2 Februari 2019. Angin malam tidak terlalu dingin dan malam juga tidak terlalu sepi. Aku duduk di depan sebuah minimarket hanya untuk sekadar melepaskan kebosanan berada di dalam rumah. Malam itu jalan di depanku cukup ramai dan membuatku merasa tidak sendirian. Biasanya tidak seramai ini, tapi karena ini adalah malam minggu, banyak orang-orang yang sengaja keluar untuk menikmati malam tanpa adanya beban karena besok adalah hari libur. Sejenak sendiri adalah hal yang mulai kusuka, entah sejak kapan. Rasanya aku bisa menikmati hal-hal yang mungkin akan aku lewati bila bersama orang lain, seperti suara angin, desus kendaraan, dinginnya malam, melihat orang lain bercanda, dan bahkan, dengan sendiri aku bisa mencintai segala rasa sakit yang mungkin sedang aku rasakan.
Pada malam itu seharusnya aku tidak sendiri. Aku sudah berjanji akan pergi ke rumah Rinda, pacarku yang sudah aku pacari selama 3 tahun. Malam ini rencananya kami ingin membicarakan langkah selanjutnya tentang hubungan kami. Yap, pernikahan. Semua keluarga dan teman kini terus bertanya tentang kapan kami akan menikah, tak peduli dimanapun kami bertemu. Aku sih tidak terlalu serius menanggapinya, tapi kau tahu, wanita selalu sensitif tentang apa yang ada di sekitarnya. Karena masalah ini, kami sering kali bertengkar berhari-hari dan tidak saling bertegur sapa. Rinda tidak pernah menuntutku secara verbal untuk segera membuatnya sah menjadi istriku. Tapi, setiap kali ada orang yang bertanya tentang masalah ini, dia pasti akan langsung mendiamiku sepanjang hari. Ini sudah berlangsung hampir 3 bulan dan aku benar-benar tidak tahan lagi dengan keadaan ini. Malam ini, aku memberanikan diri untuk membicarakan perihal ini dengannya. Tentu saja, aku tidak bilang kalau aku kesana untuk membicarakan hal ini.
Sudah jam delapan. Aku bilang padanya kalau aku akan datang jam delapan. Tapi entah kenapa, rasanya kakiku sangat enggan untuk melangkah saat ini. "Ayolah, apa kau sudah gila? Kau adalah kaki seorang lelaki yang akan menjadi pemimpin sebuah keluarga. Jangan takut hanya karena hal sepele semacam ini. Dasar kau pengecut!" ucapku mencerca diri sendiri.
Saat sudah di depan rumahnya, lagi-lagi hatiku kacau dan tak mau masuk. Aku meyakinkan diriku sendiri dan memohon keberanian pada Tuhan. Tapi, hatiku selalu berusaha membisikkan kalau ada yang salah mengenai hal ini. Sudahlah, aku yakin semua akan tetap baik-baik saja. Toh, kami sudah 3 tahun berpacaran dan sekalipun tidak pernah lidahku dan lidah Rinda mengucapkan kata putus. Aku yakin ini hanya tanjakan kecil yang harus kami lewati untuk menjadi lebih dewasa.
"Assalamu'alaykum," ucapku saat mengetuk pintu rumah Rinda.
Suara kaki terdengar mendekat ke pintu. Tanpa melihat siapa orangnya pun aku langsung tahu kalau langkah kaki anggun itu adalah langkah kaki Rinda.
"Wa'alaykumussalam. Masuk, Ak. Kok telat?"
"Tadi ada urusan bentar sama Ibuk, dek. Maaf ya," ucapku berbohong dan memelas.
"Ak mau kopi atau teh?"
"Hmm, kopi."
"Oke. Bentar ya, Rinda buatkan dulu," ucap Rinda dan langsung berlalu ke dapur untuk membuat kopi untukku.
Saat Rinda berada di dapur, tiba-tiba aku kembali menjadi sangsi tentang hal yang akan aku lakukan. Apakah ini benar? Toh kami belum terlalu tua untuk cepat-cepat menikah. Dan yah, harus aku akui kalau penghasilanku yang sekarang belumlah terlalu cukup untuk menafkahi sebuah keluarga. Oleh karena itu, sebelum susu rusak sebelanga, maka setitik nila ini harus aku bersihkan.
"Ak ingin kita bicara tentang apa?" tanyanya dengan raut curiga dan ingin tahu.
Aku yang sedang menyeruput kopi manis yang baru saja dibuatnya tentu saja terkejut. Aku tidak menyangka kalau Rinda akan sepenasaran ini. Tapi, kalau aku pikir-pikir memang aku tidak pernah bilang kalau ingin mendiskusikan sesuatu. Biasanya aku akan langsung bicara masalah apapun yang mengganggu pikiranku.