3 ; r e s a

73 3 0
                                    

Tania
Gue sama El emang gak pernah sapa-sapaan lagi semenjak putus.

Pernah sih, gue mikir. Oh iya ya, kenapa gak gue aja yang sapa duluan. Seenggaknya kalau bukan balikan, sahabatan lagi juga bisa.

Tapi, gue masih dalam prinsip gue. Gak ada yang namanya cewek ngejar cowok duluan. Semuanya, harus cowok yang mulai.
Gue gak tau bagi kalian ini salah apa enggak, yang penting gue konsisten dengan prinsip yang gue punya.

Dan gue rasa, El udah tau persis hal itu.

Pernah gue denger dari Tata, El selalu pengen nyapa gue tapi pas ngeliat muka gue yang katanya judes minta ampun, dia ciut.

“Ya gimana lagi, muka gua reflek aja kayak gitu. Apalagi lo tau kan, mata gue minus dan gue harus 'terlihat' sinis supaya jarak pandang gue jelas.” selalu gue jawab begitu.

Serius. Kadang kalau gue lagi ketawa bareng temen gue yang lain terus gak sengaja tatapan sama dia, ketawa gue langsung berhenti dan gue buang muka. Pernah gak sih lo kayak begitu?

Gue sih gak niat ya buat gak membalas tatapannya dengan ‘sewajarnya’. Gimana ya. Pas gue lihat muka dia, gue keinget gimana jahatnya dia ke gue. Gimana dia ngilang gak ada kabar, sampai gue harus langgar prinsip gue demi dia. Mungkin itu reaksi defensif gue untuk bersikap biasa aja kali? mungkin.

Karena sejujurnya, gue gak se-biasa aja itu saat El lewat depan gue, natap mata gue, maupun duduk depan gue. Hati gue yang sedalam-dalamnya, berada dalam fase luar biasa. Rasanya pertahanan gue, yang selama ini gue buat kuat-kuat, capek-capek, pengen roboh aja gitu.

brak
Karena terlalu asik melamun, gak sengaja gue nabrak seorang cowok.

“Aduh maaf!”
“Maaf.”

Gue reflek minta maaf dan ternyata bersamaan dengan dia yang mengatakan hal itu juga.

Eh, eh. Bentar deh. Kok, kayak pernah liat? Apa gue yang halu? udahlah bodo amat, salah orang kali gue.

Setelah adegan tabrakan tadi, gue lanjut jalan lagi. Iya, gue emang lagi jalan kaki menuju ke kafe setelah tadi naik ojek online sampai ke persimpangan dekat kafe tersebut.

Tangan gue mendorong pintu kafe bernama Chemicoffe ini. Mata gue langsung tertuju pada meja nomor 7 dan memastikan bahwa tempat favorit gue itu gak ada yang mengisi.

Gue suka duduk disini. Tempatnya bersampingan dengan trotoar jalan raya dan hanya dibatasi oleh dinding kaca. Membuat gue dengan mudah melihat keramaian di luar sana; orang-orang yang jalan kaki setelah pulang kerja maupun kendaraan yang dengan lajunya melintasi jalan tersebut.

Semuanya membuat gue merasa gak sendirian. Sendiri dalam hal capek dan bosan menjalani hidup yang gini-gini aja.

Seenggaknya, gue bisa melihat mereka, orang-orang pekerja keras yang bahkan sudah jam 9 seperti ini baru pulang. Hidup mereka dominan dengan kerja. Mereka capek pastinya, belum lagi harus menunggu angkutan umum atau bermacet ria saat di jalan pulang. Kadang gue kasian, cuma yaa, gue aja belum bisa jadi orang yang membanggakan. Terus gimana caranya gue bantu mereka?

Menyadari bahwa gue belum memesan apapun, gue beranjak untuk memesan kopi ke barista di sana dan kembali lagi setelah itu.

Saat gue kembali, ternyata sisi bangku lainnya dari tempat favorit gue diduduki orang lain.

“Maaf, ini tempat gue tadi.” Kata gue dengan muka datar.

“Gue yang nempatin sekarang.” Kata orang itu sambil menoleh ke arah gue.

Mata gue membeliak menyadari bahwa cowok yang sekarang berada di depan gue ini sama dengan cowok yang nabrak gue tadi. Dengan cepat gue mengubah air muka gue menjadi datar lagi.

“Ya tapi kan gue yang nempatin duluan, gak bisa gitu dong.”

“Ya udah itu bangku masih ada satu, kenapa lo gak duduk di situ aja?” kata dia seraya menunjuk bangku di depannya.

“Apaan sih! Bisa gak lo cari—” ucapan gue terhenti ketika tatapan orang sekitar —dimana situasi kafe dalam keadaan penuh— yang seakan mencibir gue.

Gue memilih pasrah dan duduk dihadapannya, gue lihat samar orang di depan gue ini, tersenyum miring mendapati gue kalah darinya.

Ya, okay, lo harus diem aja tania, ngabis-ngabisin tenaga aja lo ngadepin orang aneh kayak dia.



“Kopi susu? lo kesini cuma buat minum kopi susu?” tanyanya sesaat setelah kopi pesanan gue datang.

Gue mengernyit, “Loh emang kenapa sama kopi susu?”

“Ya enggak apa sih, tapi kan di sini banyak menu best seller yang lainnya kayak Caramel Macchiato.” jawabnya sambil mengangkat alis.

“Kopi susu enak kok. Dari sini gue bisa ngeliat, semua yang berbeda tuh gak harus dipisahin, gak harus sama buat jadi satu. buktinya buat lidah gue ini rasanya fine-fine aja,”

“Semua yang kontradiksi gak harus dipaksa sama untuk jadi serasi.” lanjut gue yang gak tau kenapa bikin hati gue jadi panas.

“Gue nanya doang, kenapa lo jadi curhat?”

“Ih lo tuh kenapa ngeselin banget sih?!” kesal gue yang lantas menginjak kakinya di bawah meja.

Dengan ekspresinya yang seakan tertimpa  berton-ton besi, “Elah! udah ah damai aja.”

Gue lantas memalingkan wajah ke arah jendela karena lelah menanggapi orang di depan gue ini.

“Ck! Lo gak mau nanya nama gue siapa gitu?!” ucapnya yang membuat gue berkata dia itu gak bisa diem sebentar ya? dalam hati.

“Enggak.”

“Nanya sekolah gue dimana?”

“Gak perlu.”

“Alamat gue dimana?”

“Gak penting.”

“Rumah nenek gue dimana lo juga gak mau nanya?”

“Gak ma— YA NGAPAIN SIH GUE NANYAIN ITU! emangnya gue mau minta duit angpao apa?!” jawab gue yang udah gak ngerti lagi sama dia.

“He he, gue kirain. Ya udah deh gue ngenalin diri sendiri aja.”

“Kenalin gue Resa, SMA gue di Artrasena kelas 11 IPS 3.” ucapnya setelah itu berpikir, eh kok gue nyebutin kelasnya juga ya? emang dia peduli?

“Gue Tania, kelas 11 IPA 2, dan wow, SMA kita ternyata sama.” kata gue dengan ogah-ogahan.

“Udah tau sih, makanya gue berani ganggu lo hehe.”

Gue melirik dia dengan tajam, “Ganggu aja kalo mau rambut lo botak.”

“Ya udah nih jadi gak mau gue ganggu?”

“Gak.”

“Oke malem ini selesai gue gangguin deh, tapi besok ngantin bareng ya, dadah.” katanya lalu pergi meninggalkan gue.

Lah, tuh anak kenapa? Dateng tiba-tiba, pulang juga tiba-tiba. Terus apa katanya tadi, ngantin bareng? Oh, Astaga.

———

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

stuck with ldr things•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang