Monokrom 3

25 8 3
                                    

Vote dulu ya baru baca^^

Sesampainya dirumah.

"Kak.. Keluarga om David baik ya.. Apalagi anaknya yang kedua si Radith. Tadi dia sempet bantu aku. Dia nganterin aku ke toilet dan nungguin sampai aku keluar. Lalu nganterin lagi ke tempat kakak," rona merah di wajahnya tampak berseri.

Seakan tau apa saat ini Hana rasakan. Rey berusaha merespon sebisa mungkin. Tapi dia juga tak bisa memungkiri, ada kekhawatiran di balik tatapan sendu nya. Dia takut, jika suatu hari nanti adik akan kecewa. Dia bisa saja memberi peringatan, tapi dia tak mau dianggap mengekang hidup Hana.

"Seadainya tadi dia ga buru-buru. Mungkin kita sempat ngobrol sebentar," lanjut Hana. Seketika ekpresinya tampak murung.
"Lah kok jadi murung. Jangan-jangan kamu suka lagi sama Radith," goda Rey.
Hana yang malu-malu pun tak menampiknya, "Apaan sih kak." jawabnya lalu melangkah pergi.

***

Dunia kembali menghadirkan mentari. Kehadirannya membuat bulan dan bintang menghilang sesaat. Bukan berarti bulan dan bintang tak ada. Mereka selalu ada. Meski ada mereka tak pernah mentari adakan. Dan ada mentari selalu ada disemua yang ada pada bulan dan bintang.

Tampaknya kisah yang di alami bulan dan bintang tak jauh berbeda dengan yang dirasakan oleh gadis cantik itu. Bedanya ketika bulan dan bintang datang, langit malam pun ikut hadir bersamanya dan ia memeluk bulan dan bintang ke dalam rengkuhannya.

Yah, pagi itu sama seperti beberapa minggu yang lalu.
Dihiasi cahaya hangat dari sang mentari. Disambut kicauan merdu dari para burung-burung.

Sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di depan gerbang SMA 3 Taruna.

"Kak, karena Radith pulang nya lebih cepet dari kakak, Radith bakal jemput kakak tiap hari," jelas Radith mantap.

Dia tak ingin berdebat dengan adiknya, jadi Elisa memilih patuh ketimbang uring-uringan ga jelas. Mengusap kepala adiknya dengan lembut, lalu turun dan melangkah pergi.

Tapi gadis itu hanya perlu bertahan sampai akhir. Dan senyum adiknya lah yang membuat ia kembali bangkit. Hanya saja gadis itu juga tak mau menutup mata untuk ketangguhannya dalam bertahan. Dia yakin bahwa suatu saat dia akan benar-benar menyerah untuk segalanya.

Sangat tak mungkin baginya, terus merasakan sakit yang sama. Terus-terusan didorong oleh orang-orang yang dia sayangi. Mengapa ? Entahlah, dia sendiripun tak begitu memahami alasan yang pasti.

Berjalan sendiri menyusuri koridor ditambah dengan tatapan berbagai makna dari semua warga sekolah itu seolah menjadi hal biasa bagi Elisa.

Sampai seseorang menggandeng tangannya dari belakang, membuat Elisa sangat kaget. Namun kekagetan itu mendadak lenyap ketika tau siapa yang sudah menggandengnya. Yup!  Siska Flawdea. Heran dengan perubahan Siska.

"Kacamata lu mana ?" tanya Elisa sedikit heran.
Dengan senyum mengembang, "gua udah gapake begituan sekarang. Gua pake softlens, jadi ga ribet." Elisa hanya manggut-manggut tanda ia mengerti maksud Siska.
"Cantik, lebih cantik. Gini aja terus," usul Elisa singkat lalu kembali memandang lurus ke depan. Membuat Siska terpesona mendengar komentar sahabatnya itu.

Bagaimana tidak, Siska yang sekarang terlihat lebih cantik dari penampilan kesehariannya yang selalu tertutup dibalik kacamatanya itu.

Siska yang merasa langkahnya dan Elisa diperhatikan oleh beberapa mata sedikit merasa canggung. Tapi kecanggungan itu terjawab ketika dia menoleh ke arah Elisa.

Tersenyum penuh arti," Pantas mereka pada noleh ke arah gua sama Elisa, bisa-bisanya gua ga sadar punya sahabat secantik Elisa. Bego lu, Sis." Dia terkekeh geli mengetahui keterlambatannya dalam berpikir.

Elisa LiandinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang