"Yanza, elo kenapa sih?!"
"Dia kurang ajar sama elo."
Andhira menarik lengan Yanza dan menjauhkannya dari pria itu.
"Apanya yang kurang ajar sih? Dia Cuma berbisik di telinga gue, elonya aja yang kurang ajar." Andira mendengus kesal dan berbalik meningalkan Yanza. Andhira membantu pria itu bangkit dan berjalan mengantarkan pria tersebut ke ujung gang rumahnya.
Wajah Andhira sunguh tidak enak dilihat, tidak ada senyum manis tersungging di bibirnya, pandangannya lurus ke depan. Ia melewatiku dan Yanza begitu saja. Aku berharap Yanza pun segera pergi meninggalkan kediaman gadis angkuh itu, dia tidak sadar bahwa Yanza menunggunya berjam-jam dan khawatir. Tapi, apa mau dikata, Andhira Asha gadis yang menyebalkan.
Pandanganku terhadap gadis itu tetap sama, meski di detik berikutnya aku hampir tersentuh akan kehangatannya.
Andhira masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi sembari memangku kedua tangannya. Ia mengembuskan napasnya lalu menatap Yanza yang bersandar di ambang pintu.
Getaran tubuhnya begitu terasa, detak jantung dan keringat membasahi telapak tangan yang masih menggenggamku erat.
"Andhira, maaf aku tidak bermaksud seperti itu." Yanza menghela napas, menelan salivanya berat. "Maafkan aku," ucapnya lagi dengan lirih.
Andhira menghela napas dan kedua mata bulat nan besar itu berubah sayu, ia menunduk lalu kembali menengadah, pandangannya pun kembali berubah, kedua alisnya hampir menyatu tat kala keningnya berkerut. Andhira bangkit dari duduknya dan ia berjalan menuju kamarnya. Tiak lama setelah itu dia kembali dengan kotak P3K, ia meraih tangan Yanza lalu menuntunnya agar duduk di kursi.
Tak ada kata terucap dari keduanya, mungkin jika aku bisa bicara, hanya aku yang akan bersuara untuk memecah keheningan dan mengganggu mereka berdua. Namun, sebelum semuanya terjadi, aku mendengar suara Yanza yang membuat Andhira berhenti membersihkan darah dari tangan Yanza.
"Aw!" ringisnya.
"Hentikan, Andhira."
"Kenapa aku harus berhenti, Yanza?" Andhira diam sejenak, setelah itu, dia mulai coba melepaskan jaket yang membalut tubuh Yanza.
"Tolong, jangan lakukan sekarang, Andhira."
"Lalu? Kapan? Menunggu sampai lukamu semakin parah, hah?"
"Kamu tidak marah padaku?"
"Tadi aku marah dan sekarang akan marah lagi jika kamu tidak mau menurutiku," jawabnya dengan nada bicara datar juga dingin.
Sungguh, aku tidak mengerti dengan pembicaraan mereka, Andhira ingin melepaskan jaket Yanza, padahal di luar mulai turun hujan dan suhu dingin begitu terasa. Saat itu aku berfikir bahwa Andira gadis paling kejam yang pernah ada. Namun, kenyataanya lebih dari itu. Andhira membuat Yanza menangis.
Cairan kental berwarna merah itu kembali terlihat dari sumbernya. Bekas luka yang kembali menganga membuat rasa perih melanda si pemilik luka. Yanza, tak berani menatap Andhira meski gadis itu berada di hadapannya yang masih fokus mengobati luka itu. Tapi, Yanza malah melihatku dengan air mata yang mengalir.
Tak kusangka, pria di sampingku ini begitu rapuh. Ingin rasanya aku memeluk dan mengusap air matanya. Namun sayang seribu kali sayang, aku tak mampu melakukannya.
Dan di sinilah sekarang aku berada, diantara mereka berdua, di atas papan kayu dekat jendela kaca tetapi terasa jauh dari mereka, hanya bisa mengamati dan mendengar layaknya manusia.
Aku baru ingat, mengapa tangan Yanza berdarah, kurasa Yanza memang sudah memiliki luka, dan luka itu kembali mengeluakan darah karena cengkraman pria jangkung yang dipukulnya. Sudut bibir pria itu dan jari yanza juga berdarah, tetapi yang membuat Andhira marah ternyata tidak hanya kejadian singkat itu. Namun, ada banyak hal yang baru aku ketahui saat itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lagu Kematian [√]
General FictionKisah ini terlalu klise bagiku. Andai kau bisa menemukan suatu hal untuk mengatakannya padaku bahwa kisah ini berbeda dari apa yang aku katakan padamu. Maka, tunjukanlah di mana letakanya! Kisah klise tentang lagu kematian, persahabatan dan pengorba...