Bukan Pernikahan Impian (Versi Cetak)

15.6K 696 16
                                    

~Ketika janji suci telah diucapkan, maka kita harus sudah siap menanggung semuanya secara bersama sama, termasuk jalan menuju surganya~

****

Dua minggu rasanya berjalan begitu cepat bagi kedua insan yang sebentar lagi akan dipersatukan oleh hubungan yang sah secara agama dan hukum itu. Waktu bergulir begitu cepat. Hari ini adalah hari di mana Althaf dan Nadira akan melangsungkan akad nikah. Semua sudah dipersiapkan matang-matang oleh dua keluarga tersebut, meski yang menghadiri pernikahan itu hanyalah keluarga dan kerabat terdekat mereka saja.

Dan di sinilah Nadira berada, berdiri menghadap cermin, mematut dirinya di depan sana. Ia tampak cantik dengan balutan gaun panjang dan khimar yang menjuntai menutupi dada, sangat cocok untuk dirinya, sementara wajahnya dirias dengan polesan make up yang membuatnya terlihat lebih dewasa dan elegan dalam sekali waktu.

Banyak pertanyaan yang sebenarnya sedang memenuhi kepala Nadira. Bisakah nanti ia menjadi istri yang baik dan berbakti pada suaminya? Apa calon imamnya itu nanti akan menyukai kehadirannya, mengingat pernikahan ini ada karena sebuah perjodohan? Nadira terus merapalkan doa, semoga ini awal yang baik untuk mereka ke depannya.

Pintu ruangan terdengar berderit, Nadira langsung menoleh. Ternyata Umi Khadijah yang tengah berdiri di balik pintu. Nadira tersenyum manis melihat wanita yang telah mengandung dan melahirkanna itu. "Umi," panggilnya.

Umi Khadijah menghampiri Nadira, beliau menatap putrinya lama. "Putri Umi cantik sekali, Umi sampai pangling lihatnya."

"Umi bisa aja," kekeh Nadira, tak terasa air matanya mengalir begitu saja.

Umi Khadijah mendekati Nadira. "Kok putri Umi malah nangis sih? Nggak boleh nangis lho, kan bentar lagi jadi istri orang," goda beliau dengan senyum kecilnya.

"Umi, Nadira nggak nyangka kalau sebentar Nadira bakalan jauh dari Umi. Terima kasih ya Umi, selama ini Umi mau membesarkan Nadira dengan kasih sayang Umi dan Abi yang begitu besar," ujar Nadira.

Sungguh, ia merasa ini seperti mimpi. Di usianya yang masih terbilang muda, dia sudah menjadi seorang istri.

"Umi juga nggak nyangka putri Umi bakalan menikah muda dan jadi istri orang. Ingat ya, Sayang, kamu harus taat pada suami kamu, jangan buat dia murka ataupun marah. Sekarang surga kamu bukan hanya ada pada Umi dan Abi, tapi ada pada suamimu juga. Jangan ngebantah ya, Sayang," nasihat Umi Khadijah.
Ketaatan istri pada suami adalah jaminan surganya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jika seorang wanita melaksanakan salat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki." (HR Ibnu Hibban dalam shahihnya).

Nadira memeluk Umi Khadijah. "Iya Umi, insyaallah Nadira akan berusaha menjadi istri yang baik buat Mas Althaf," katanya dengan sungguh-sungguh.

Suara MC lalu menginterupsi percakapan keduanya, pertanda acara ijab kabul akan dimulai sebentar lagi. Nadira menggenggam tangan uminya dan meremasnya tanpa sadar. Perasaan gugup langsung menguasai dirinya begitu saja dan Umi yang tahu akan hal itu langsung balik meremas tangan sang putri. Ah, sebentar lagi putrinya itu sudah bukan lagi menjadi tanggung jawabnya, tapi tanggung jawab orang lain. Ada perasaan sedih dan bahagia yang Umi rasakan. Sedih karena putrinya pasti akan ikut bersama sang suami dan bahagia karena putrinya sudah menemukan sosok pendamping yang akan menemaninya sampai ajal menjemput.
Di lain sisi, Althaf sudah duduk berhadapan dengan Abi Kenan. Ia sama sekali tak terlihat gugup ataupun resah.

Imamku Surgaku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang