BAB 8

12 2 3
                                    



"Jiwaku mulai membusuk. Dibakar menjadi abu hitam oleh nyala api di atas tanah. Dingin seperti malam ketika kau pergi di musim dingin. Aku tidak berpikir bahwa aku masih bernapas. Perasaan takut terbawa angin melalui setiap jendela yang terbuka. Setiap bayangan membisikkan namamu. Aku merasa diriku memudar secepat angin laut. Aku tidak merasakan dorongan dan semangat lagi. Tempatku yang bahagia telah hancur menjadi debu, pecahan-pecahan dari hidup. Udara yang aku hirup meracuni paru-paruku saat aku jatuh lebih cepat dan lebih cepat ke dalam lubang neraka yang muncul di setiap jalan yang kakiku lewati. Hatiku securam ngarai yang dulu membuatku merasa bebas. Nafasku sedingin hujan lebat yang biasa membuatku tertidur dipelukan Ibuku. Jiwaku sama busuknya dengan apel yang terjatuh dari ranting. Manusia fana telah mengutukku. Melemparku dengan batu-batu yang mereka bawa di pundak. Terkutuklah! aku berbohong ketika aku mengatakan aku baik-baik saja."





Sudah cukup Perahta untuk menahan kesabarannya. Rasanya ia tidak mau mengurusi tiga gadis menyebalkan itu.

"Nona Cordelia, cara dudukmu masih salah! Kau tidak boleh menyilangkan kakimu di atas lutut." Cordelia menatap Perahta, lalu mengangguk.

Dyvette memperhatikan mereka dari jauh. Hari ini ia tidak membuntuti Perahta. Tubuhnya masih terasa lemas, karena itu Perahta menyuruh Dyvette untuk beristirahat.

"Nona Roseline, rapatkanlah kakimu!" teriakan Perahta menggema memenuhi ruangan itu.

Roseline mendesah pelan, ia melirik Perahta dengan malas. Sudah sejak awal ia muak mendengar ocehan wanita tua itu.

"Nona Ailee, cara dudukmu sudah benar." Untuk pertama kalinya wanita itu mau mengakui kemampuan dari keluarga Grotewohl itu.

"Ah, kenapa hanya Aileen yang mudah memahami pelajaran ini."

Perahta mengakhiri pelajaran etika duduk seorang bangsawan. Ia melanjutkan pelajarannya dengan mengajarkan etika kebangsawanan yang lain.

Matahari mulai menghilang dari pandangan, langit sudah tidak biru lagi. Pemilik cahaya oranye itu mulai berada diujung barat. Malam akan segera tiba.

Dyvette beranjak dari duduknya. Sudah cukup lama ia memperhatikan gerakan sang penerang siang. Ia berjalan ke ranjang dan mengambil sesuatu yang ada diatas kasurnya. Sebuah gulungan daun lontar yang menarik perhatiannya.

Undangan pesta.

Dyvette mulai membaca isi dalam gulungan itu dengan saksama.

Jerman,

Hallo, Dyvette. Aku Alverta Hildemaro. Kau masih mengingatku, kawan?

Lama kita tidak bertatap muka. Terakhir kali aku melihamu, ketika kematian kakekku, Chrishtopher Hildemaro.

Dyvette Chillon, tak lama lagi hari kelahiranku. Apa kau masih mengingatnya?

Kalau kau lupa, akan aku ingatkan.

Lusa. Ya, lusa nanti aku akan berulangtahun ke 18.

Jangan katakan aku sudah tua ya!

Oh ya, Dyvette.

Aku sengaja mengirim surat ini untuk memberitahu dirimu tentang peringatan hari kelahiranku

Aku tidak berharap banyak, aku hanya ingin kau menghadiri pestaku

Schatten In Der DunkelheitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang