Kondisi si bayi harus terus dipantau. Terlepas dari Ge memiliki keluhan atau tidak. Yang terpenting adalah menjaga diri untuk memastikan bayinya dalam keadaan baik di dalam sana.
Ge tidak mau membandingkan bayi yang tengah ia kandung dengan ayah si bayi. Cukup jalani saja, dan tidak mengungkit apa-apa agar hidup yang sedang ia jalani kini tenang. Selama laki-laki itu tidak mencampuri urusan Ge yang mendadak mundur dan benar-benar menjauh seperti tidak ada kata mengagumi darinya... Ge tenang.
“Selamat pagi, Ibu.” Si dokter menyapa dengan ramah.
“Pagi, dokter Ana.” Tak kalah ramah Ge membalasnya.
“Gimana? Apa ada keluhan?”
Dokter Ana memang lebih memahami dalam lini kandungan. Setiap memeriksa Ge akan ditanya sejauh mana keluhan atau hal lain yang bersangkutan dengan si bayi melalui ibu terlebih dulu. Baru setelah sesi pembuka, akan dilanjutkan dengan memeriksa si bayi melalui scan. Memantau apa yang sedang dilakukan baby Ge.
“Si ayah belum pernah keliatan, Bu. Sibuk, yah?”
Nada tanya dokter Ana tidak menghakimi seperti kebanyakan orang yang sering menghujatnya di lingkungan rumah. Meski tinggal di kompleks perumahan, bukan berarti Ge akan dengan mudahnya berlagak seperti tinggal di luar negeri. Bolak-balik dengan perut besar, tak ada suami yang menjemput atau sudah berada di rumah menunggu kedatangannya. Nenek-nenek yang sering belanja pada tukang sayur melewati kompleks pun pasti tahu diamnya Ge pasti menjurus pada hal yang diduga-duga orang.
“Kami udah pisah,” jawab Ge dengan bijak.
Memilih jawaban yang tepat tidaklah mudah. Apa dia mau menjawab jujur dengan blak-blakan pada semua orang bahwa anak yang tengah dirinya kandung ini ada di luar ikatan tali pernikahan? Apa dengan mengakui sendiri bahwa hamil di luar nikah dirinya adalah wanita jalang akan membuat semua orang lantas diam?
Sama sekali tidak.
Buat apa membuat kebohongan yang bisa menyulut kebohongan lainnya? Jawaban Ge yang sudah berpisah dengan ayah si bayi juga tidak salah. Memang bayi itu ada ketika dirinya masih berhubungan dekat dengan laki-laki itu, dan memang berpisah walau tidak ada status jelas di antara keduanya.
“Oh maaf, Ibu Geihara. Saya tidak tahu.” Dokter Ana tersenyum canggung, sadar bahwa topik yang diangkat tidak menjadi pembahasan yang bagus.
“Berarti hanya perlu vitamin, ya. Mualnya udah hampir tidak ada. Bagus. Si bayi sangat mengerti ibunya ternyata,” jelas Dokter Ana.“Jangan terlalu dipaksa bekerja. Kalo bisa tambah lagi asupan lemaknya, soalnya si bayi termasuk masih kecil. Makan es krim dan makanan berlemak lain, ya, Bu. Jangan dipaksa dalam satu waktu, bertahap saja.”
Ge akan selalu mematuhi apa yang dokter ucapkan. Cukup sekali dirinya hampir kehilangan anaknya. Sekarang, yang mau menerima hasil perjuangannya tentu hanya si bayi. Orang tuanya sudah mengatakan cukup dengan usaha yang dikerjakan.
“Terima kasih untuk hari ini, Dokter Ana. Saya permisi.”
“Ya, Bu Geihara.”
Jika saja Ge menjadi seorang istri yang sedang mengandung, dia pasti berharap memiliki keturunan kembar. Bayangannya dulu, dengan hamil anak kembar, Ge akan bisa melahirkan sekali dan mendapat beberapa bayi lucu. Kini, satu saja dia sudah bersyukur. Meratapi kisahnya yang memang tak sempurna, akibat dari kebodohan Ge ciptakan sendiri.
“Mbak Ge!”
Sepertinya Ge harus lebih cerdas menghadapi kemungkinan tak terduga dalam hidupnya.
Ge hanya bisa mematung, tidak tahu apa langkah yang dapat dirinya lakukan.
“Mbak Ge, enggak nyangka bisa ketemu di sini. Lagi check up si baby, ya?”
“Ya ....” Ge menguatkan suara agar tidak terdengar bergetar.
“Mas, kenalin ini pemilik The Orc’s. Akhirnya bisa ketemu.” Ika memandang dengan berseri. “Mbak Ge ini calon tunangan saya. Mas Garyzka.”
Sepertinya Ge memang mampu menyembunyikan wajah terkejutnya saat Garyzka, laki-laki gila itu ada di hadapannya.
Kenapa harus diperkenalkan lagi dengan cara begini, Tuhan?
Ga menyorongkan tangannya untuk menjabat.
“Garyzka Zaim Pietizo. Mantan atasan kamu, Geihara.”
Sakit mendapati seseorang yang pernah dan masih memiliki tempat terbesar di hati terlihat begitu dingin. Ge bukan manusia yang bisa membaca karakter seseorang secara cepat. Bertemu dengan Ga di situasi seperti ini membuatnya hampir tidak mengenal siapa Ga yang dulu sering mengungkungnya ketika ingin berdua.
“Oh! Mbak Ge pernah kerja di perusahaan Mas Gary?” tanya Ika dengan keterkejutan yang diselingi rasa ingin tahu berat. “Mbak Ge bisa nembus perusahaan itu? Wow! Aku aja susaaaaahhh banget masuk ke sana. Ya ampun. Mungkin aku kurang bimbingan, ya. Aku makin penasaran sama Mbak Ge
... keren.”
Ge hanya tersenyum, tidak memilih menanggapi ocehan Ika atau merespons ucapan Ga yang mengenalkan diri sebagai mantan atasannya.
“Ambi ... ayo cari tempat. Ngobrol di sini enggak nyaman. Geihara sedang hamil, dia pasti lelah.”
Ge akhirnya bisa mendengar nada lembut dari lelaki itu. Bukan untuk dirinya memang, tetapi cukup untuk meyakinkan diri bahwa Ga tidak sedingin yang selama ini bersamanya. Kecuali ... saat tidur bersama.
“Oh, iya. Ayo, Mbak Ge. Aku enggak mau Mbak Ge nolak, ya. Aku pengen ngobrol-ngobrol lagi. Ceritain!” Ika sudah memaksa lebih dulu, seolah tahu bahwa Ge akan menolak.
“Ayolah, mbak Ge ... di The Orc’s ada Melia, kok. Aku yakin dia pro buat handle.”
Melirik sekilas pada Ga yang datar dan biasa saja, membuat Ge yakin bahwa lelaki itu tidak akan menyerangnya. Kalau dipikirkan lagi, mana mungkin seorang Garyzka peduli mengenai kehamilannya.
“Ya udah. Saya ikut, tapi sebentar aja, ya. Saya belum cek
The Orc’s soalnya.”
Ge kagum dengan sikap ceria yang Ika miliki. Berada di sisi Ga yang seperti monster tak suka bersuara itu sudah pasti hal yang tidak mudah.
Mengikuti saja apa yang perempuan itu inginkan, Ge sama sekali tidak melihat ke arah Ga. Dia bersyukur akan hal itu. Untung saja Ika mampu mendominasi percakapan hingga tidak ada cukup ruang bagi Garyzka membuat dingin kondisi; hati.
“Mbak Ge usia kandungannya berapa kalo boleh tahu?” tanya Ika.
Setelah sesi pembicaraan yang berat dilalui, Ge merasa makin terbebani dengan pertanyaan Ika kali ini. Mau menjawab apa dirinya? Jika jujur, Ge akan membuat prasangka—yang mungkin—dari Garyzka terbenarkan. Kalau berbohong, itu jelas bukan diri Ge. Karena biasanya jika Ge tak mau mengungkap kejujuran dan tidak mau berbohong, dia akan diam.
Tapi sekarang bukan saatnya mengambil keputusan diam. Ika bukan ayahnya yang bertanya siapa ayah dari si bayi. Ge merasa mampu melewati ini, dan dia memutuskan untuk menjawab jujur. “Tujuh bulan. Lewat beberapa minggu. Kenapa?”
Ika mengangguk mengerti. Sembari menyuapkan cake ke dalam mulutnya. “Kapan-kapan kenalan, ya sama suami, mbak Ge. Kita bisa date bareng... iya kan, Mas Gary?”
Ge mendengus kecil, saking kecilnya sampai Ika tidak menyadari itu. “Sayangnya enggak bisa. Saya dan ayah baby udah pisah, Ika.”
Ge memang tidak perlu menjelaskan itu. Tapi setidaknya, dia berpikir akan bisa menghindari Ika secara perlahan dan berhubungan secara profesional saja sebagai pelanggan dan penyedia jasa serta barang. Kemungkinan paling besar adalah terhindar bertatap muka dengan Garyzka.
“Duh, maaf, Mbak Ge,” sesal Ika. “Ya udah, nanti aja kalo baby-nya udah lahir. Kita couple date sama si kecil.”
Ge memang sudah terjebak dalam kubangan ini. Jawabannya bukan membuat Ika jauh, yang otomatis menjauhkan Ga dalam hidupnya. Tapi justru makin mendekatkan mereka; ayah dan anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret(ary) ; MENTAL SERIES [END] +AKAN TERBIT+
ChickLitSUDAH TERBIT BUKU BISA PESAN DI SHOPEE OFFICIAL PENERBIT GRASS MEDIA. VERSI WEB BISA KALIAN BACA DI DREAME(FULL). BUKU DAN VERSI WEB AKAN SANGAT BERBEDA. Memiliki hubungan hanya untuk bersenang-senang. Bukan sebagai teman, sahabat, apalagi kekasih...