PROLOG

52 5 0
                                    

Hujan datang tanpa bisa kucegah. Tetesannya memberikan sebuah peringatan untuk tetap diam di rumah. Bintang yang selalu berjejer manis di kegelapan, kini tak tampak. Alunan-alunan melodi yang selalu terdengar bising memenuhi taman kota, tak terdengar sedikitpun. Bahkan suara tawa pun tak terdengar.

Hanya ada keheningan dengan latar tetesan hujan dalam indra pendengaran. Malam itu langit tampak tak bersahabat pada keramaian taman kota. Tapi lain hal denganku. Bagiku langit malam ini sangat bersahabat untuk menemaniku dalam kesendirian.
Benar.

Aku adalah si pengecut yang menyukai indahnya malam. Karena dulu aku sempat terlena dengan keindahan senja hingga akhirnya terluka begitu dalam.

Tidak.

Bukan hanya aku yang terluka, tapi KAMI.

Aku dan Dia.

“Hentikan ini. Aku hanya bisa sampai di titik ini. Maaf, aku lelah. Kamu terlalu angkuh untuk mengenal duniaku. Aku pergi,” ucap gadis itu di bawah langit yang berwarna jingga di sebuah jembatan yang menjadi akhir dari perasaannya padaku.

Bagaikan terjatuh kedalam jurang. Kalimat itu benar-benar menohok hatiku sampai aku tak sadar, dia telah pergi selangkah demi selangkah dari hadapanku. Rekaman memori tentangnya berputar dikepalaku layaknya sebuah video.

“Kenapa? Kenapa harus pergi? Tak bisakah kita bermain sandiwara lebih lama lagi?” teriakku dengan nada frustasi.

Aku terduduk dengan mengacak rambutku bagai seseorang yang baru saja patah hati.

Sejak saat itu, duniaku berubah. Dia benar. Gadis itu benar. Aku terlalu angkuh untuk mengenal dunia yang sudah sejak lama kujelajahi.

Dan terhitung hari itu.

Aku menjadi gelap yang abadi untuk malamnya.

- - -

Sandiwarakah selama ini
Setelah sekian lama kita telah bersama

Inikah akhir cerita cinta
Yang sekalu aku banggakan
Didepan mereka

Entah dimana kusembunyikan rasa malu

Kini harus aku lewati
Sepi hariku
Tanpa dirimu lagi

Biarkan kini ku berdiri
Melawan waktuku
Untuk melupakanmu
Walau sakit hatiku
Namun aku bertahan

"Kenapa?" sahutan seseorang menghentikan permainan gitar lelaki itu.

"Tiba-tiba kepikiran itu."

"Kenapa harus dipikirin?"

"Kalau bisa, aku gak akan pernah mau ingat kejadian itu."

"Boleh gak aku nyebut kamu bodoh? Kalau boleh aku akan bilang bodoh berkali kali dihadapan kamu. Biar kamu sadar ingatan tentang kejadian itu gak ada artinya lagi."

"Terus aku harus gimana? Kamu pikir mudah untuk lepas dari bayang-bayang ini."

"Semua salah kamu. Jadi selama kamu belum menyelesaikan kejadian itu dengan baik, selamanya kamu akan terluka dengan anganmu sendiri."

"Aku lelah."

"Dia lebih lelah dari kamu."

"Aku menyesal."

"Dia lebih menyesal pernah mengenalmu."

- - -
-PenaKhuzamah-

Why Him? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang