Part 7

28 3 0
                                    

Pagi ini aku berangkat sekolah sendiri tanpa ditemani oleh sahabatku Ryan. Rasanya aku benar-benar rindu kehadirannya. Sambil ku kayuh sepedaku, pikiranku penuh terisi oleh Ryan. Entahlah, aku bingung dengan situasi yang kini ku hadapi.

Ketika sampai di perempatan jalan, aku yang hendak menyebrang tiba-tiba mendengar suara Ryan yang memanggilku dari belakang. Aku berpikiran mungkin suara itu adalah hayalanku saja karena daritadi aku memikirkan Ryan. Tetapi suara itu semakin terdengar dekat di telingaku. Kemudian aku menoleh ke arah belakang. Ternyata, Ryan memang memanggilku. Aku pun kaget dan tak menyangka bahwa Ryan benar-benar memanggilku. Karena tak mau bertemu dengan Ryan, ketika jalanan sepi aku pun  menyebrang dan mengayuh sepedaku dengan kencang. Ryan yang memanggilku tertinggal di belakang. Ia mengayuh sepeda dengan lambat karena menggonceng Amanda dibelakang. Iya... hubungan mereka terlihat semakin dekat. Entah sebagai teman atau yang lainnya aku tak peduli lagi.

Aku terus mengayuh sepedaku tak menengok ke belakang. Tiba-tiba telingaku mendengar suara 'braakk....'. Aku pun langsung mengerem sepedaku dan balik memutar arah. Aku hanya penasaran apa yang terjadi karena suara itu terdengar jelas di telingaku. Ketika itu aku melihat kerumunan banyak orang di persimpangan jalan. Dan aku langsung mendekat untuk melihat apa yang terjadi.

Tak disangka, yang tergeletak di jalan adalah sahabatku Ryan. Kepalanya berlumuran darah dan tangannya terlihat memegang kresek berwarna hitam. Entah apa isinya. Amanda yang duduk dibonceng Ryan tangannya terlihat luka-luka.

Aku pun langsung bertanya pada Amanda.

"Apa yang terjadi Amanda?".

"Kami ditabrak motor ketika mengejarmu tadi dan pelakunya melarikan diri". (Ia menjelaskan sambil menangis).

"Apa?". (Aku pun ikut menangis karena merasa bersalah).

"Mengapa kau tak berhenti saja saat Ryan mengejarmu? Padahal dia hanya ingin memberikan pentol pedas yang ia buat untuk meminta maaf padamu".

"Pentol pedas? Untukku? Jadi yang dipegang Ryan itu adalah untukku?".

"Iya, kau masih tidak paham juga?".

"Maafkan aku karena tak berhenti ketika Ryan memanggilku...".

"Sudahlah, kau sangat terlambat menyesalinya. Sebentar lagi ambulance akan datang. Jadi, temanilah Ryan. Aku akan pulang saja".

"Tapi lukamu perlu di obati".

"Tak apa, ayahku seorang dokter. Jadi dia bisa menanganinya".

(Amanda pun pulang diantar oleh orang yang menolongnya).

(Aku hanya bisa menunduk dan menangis menatap Ryan).

Ku ambil kresek hitam yang dipegang Ryan berisi pentol pedas buatannya dan menaruhnya ke dalam tasku. Tak lama kemudian, ambulance pun datang. Ryan di masukkan kedalam mobil ambulance dan aku pun ikut bersamanya.

Sesampainya dirumah sakit~

Ryan dibawa ke ruang UGD untuk ditangani. Aku menunggu diluar dan menghubungi orang tua Ryan. Sayangnya ketika orang tua Ryan dihubungi, mereka berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan dan tidak bisa langsung menemui Ryan karena jadwal penerbangannya 2 hari lagi. Aku pun diberi amanah oleh orang tuanya untuk menjaga Ryan sementara waktu.

Tak lama kemudian dokter pun keluar dari ruangan.

"Bagaimana kondisi sahabat saya dokter?".

"Syukurlah cidera di kepalanya hanya benturan kecil dan tak menimbulkan akibat yang serius".

"Apakah dia sudah sadar dok?".

"Dia sudah sadarkan diri. Tetapi di kepalanya masih terpasang selang untuk mengeluarkan darah kotornya. Jadi pasien masih merasakan sedikit pusing".

"In Silence"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang