Fajar menyingsing membelah pekat yang semalaman menidurkan bumi, Purnama belah dua mengalah memberi celah untuk matahari yang masih malu-malu menyapa di balik awan, "Pagi yang indah," gumamku, "Alchamdulillaah, gerimis namun cerah."
Di lantai tiga pondok putri Tahfidzul Fadhilatul Qur'an ini, ku amati lekat-lekat kehidupan di luar sana.
Jajaran santri putri yang tengah asyik bercanda menanti giliran mandi, ada yang bertengkar karena cucian, ada yang menyapu halaman, ada yang melaksanakan ta'ziran, ada pula yang sibuk hujan-hujanan sembari membawa ember kecil untuk menampung air langit, karena kami meyakini bahwa air yang jatuh pertama kali itu adalah obat untuk segala penyakit.
Hari ini, Hujan pertama, 5 robi'uts tsaani.
"Nin.."
"Astaghfirulloh." refleks ku tekan dada kiriku yang berdenyut sakit karena kaget, tangan yang semula ada di pundakku ikut sigap memegangi tubuh yang mulai terhuyung lemah.
Nayyirotul farah, dialah sahabatku yang super pelupa, suka usil, dan paling hobi mengagetkan orang lain, padahal dia tahu bahwa sahabatnya yang satu ini paling tidak bisa di buat kaget.
"Yaa Alloh Nin, Maaf2, nggak sengaja lupa."
"Udah kebiasaan kamu,Nay."
"Tapi kamu nggak apa apa kan?"
"Yeee, enaknya bilang ndak apa-apa, sakit tau, tanggung jawab loh ya, 700.000 minimal kontrol." Godaku mencubitnya.
"Enak aja, itu mah morotin aku, kamu untung dobel, aku yang tekor."
"Ndak usah monyong-monyong gitu juga kali,Nay. Kaya ikan cupang tau ndak sih, bibir monyong hidung tetep ndelesep."
"Kebiasaan. Udah sakit bercanda mulu," katanya mencubit kecil lenganku, "btw udah minum obat belum,Nin?"
"Belum." jawabku singkat, masih asyik memandang luar gedung sembari mengatur detak jantung yang tak beraturan.
"Kenapa? Aku ambilin ya."
"Ndak perlu,Nay. aku puasa. Oh ya tadi ada apa? kok antusius gitu, sampai ngagetin aku loh."
"Ohh jadwal puasa ya, maaf aku lupa.
Oh iyaa kamu di panggil abah yai,Nin. Tapi kalau kamu nggak kuat biar aku yang matur sama abah, kamu istirahat saja."
"Ndak perlu,Nay. aku kuat kok.
Ya udah aku ke ndalem abah dulu ya."
"Ya udah hati-hati, pasti kamu di suruh nganterin suguhan sama kopi buat pak tukang deh, nitip salam buat arsitektur muda itu yaa,Nin." Deheman manja buatan sahabatku sontak membuat semua mata santri di ruangan ini menoleh ke arah kami.
Pelan kupukul lengannya, "Awas kamu,Nay." tuturku berlalu meninggalkan Nayyiroh yang terkekeh geli, tidak lupa memberi senyuman termanis untuk mereka yang sedang memandang heran kearah kami.
Langkahku terhenti ketika hendak sampai di depan ndalem abah. Fikiran yang mulai melayang ke bangunan baru dengan denah dekat dengan pondok putri, yang terlihat jelas dari atas lantai tiga. Pekerjanya, tukangnya, bahkan arsitektur super rupawan itupun jelas nampak perawakan gagahnya.
Arsitektur yang sukses membuat perhatian santri putri tertuju padanya, hingga setiap pukul 08:00 istiwa' setelah sholat dhucha dan dzikir bersama, para santri putri yang tidak punya jadwal sekolah pasti ramai memenuhi lantai tiga yang memang ruangannya di dominasi kaca-kaca tembus pandang, Berdiri berjamjam menghabiskan jam istirahat sebelum ngaos pagi hanya untuk memandangi si arsitektur itu bekerja, mengatur ini itu bahkan juga membantu para tukang, arsitektur yang mengagumkan.
"Kange ngguanteng ya mbak."
"Ehh eh hidungnya itu loooh, pengen nyubit deh."
"Ihh gemes, manis banget, andai aku jadi istrinya."
"Dia keringetan, pengen ngusap deeh. kasihan banget pasti kecapekan."
"Kange, kapan halalin adek?"
"Duuh dia itu idaman banget deeh.", dan banyak lagi celetukan santri putri ketika memandangnya.
Terkadang aku risih mendengar, ingin rasanya mencopot kedua telinga untuk sementara agar tidak perlu mendengar apa-apa.
Arsitektur yang aku kenal delapan tahun silam, yang dulu di juluki playboy kelas atas, si tukang tidur, santri super bandel, bahkan nilainyapun selalu di bawah rata-rata, tidak pernah kusangka dia tumbuh sedewasa itu, tawadhu', khusu', berkharismatik, juga sukses.
"Nduk,Nin."
"Eh, dalem Ummi'." jawabku gelagapan sambil meraih tangan kanan beliau lalu mengecupnya dengan penuh takdzim.
"Nglamun apa, Nduk?" tutur lembut ummi selalu saja mengingatkanku kepada Emak, "Apa kabar emak di rumah?" tanyaku di dalam hati.
"Eh, Ndak apa-apa kok mi', Nina hanya rindu emak."
"Kamu ini kok ya ada-ada saja toh Nduk,nduk. lha wong baru 6 bulan kok sudah rindu, guse yang sudah 4 tahun di yaman sajaa ndak ngeluh kok, apa rindu kirimane tho?" akupun tertawa kecil menyambut candaan ummi, ya bagaimana caraku rindu kiriman? sedangkan setiap harinya ummi selalu memberiku satu lembar sepuluhribuan untuk jajan, persis seperti putri beliau sendiri, sampai-sampai uang dari emakpun sama sekali belum aku pakai.
"Nduk, kamu sudah makan?"
"Nina puasa, ummi'."
"Jadi obatnya ndak diminim?"
"Hitung-hitung ngirit,mi'."
"Bercanda mulu, sakitmu itu serius loh nduk. Mbok ya jangan puasa dulu, minum obat, ingat loh nduk, Laa Dhororo wa laa dhiroro."
"Nina tidak membahayakan diri sendiri kok mi', in syaa Alloh Dzat Yang Maha Menyembuhkan akan menyembuhkan hamba-Nya yang ingin mendekatkan diri pada-Nya."
"Ya sudah nduk, ummi' hanya bisa mendo'akan, syaafakillah,sayang.
Ayo masuk. Kamu diutus abah buatin kue buat suguhan pak tukang, sama kopi ya. Nanti urusan makanan biar Fatih yang nanganin, biar kamu ndak kecapekan, kamu harus banyak istirahat loh nduk."
"Injih ummi', kalau begitu Nina langsung ke dapur saja ya mi', biar cepat selesai." pamitku menyalami tangan beliau setelah beliau tersenyum lalu mengangguk menyetujui.
"Assalamu'alaykum, ummi'."
"Wa'alaykum salam warochmatulloh, kalau buat kue yang asin jangan di taburin garam satu laut loh,Nduk."
Kutengok ummi tertawa kecil, akupun tersenyum malu, mengingat kata orang jawa "Jika masakan keasinan, tandanya yang masak sudah ingin dinikahkan."
"Nina baru 19 tahun,Ummi'."***
السلام علیکم،
Sahabat wattpad.
Semoga dapat memetik isi dari cerita yaa.
Jangan lupan bintang dan kritik saran, masih butuh banyak pembenahan😊.
Salam hangat di atara dinginnya embun pagi,
InayNH.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengalir Bersama Taqdir
Teen FictionWanita selalu saja seperti itu, menangis kala bersedih bahkan ketika bahagiapun tetap menumpahkan air mata yang menjadi pilihannya. Persis sepertiku, hingga seakan air pada bendungan mata telah kering bak kemarau beberapa bulan lalu. Hari ini, Sabt...