Brak!
VANYA membanting pintu mobilnya hingga menimbulkan dentuman yang membuat para pejalan kaki menoleh kearahnya dengan tatapan bingung. Mungkin Vanya akan menetapkan hari ini sebagaj hari tersialnya karena sejak tadi pagi, dirinya mengalami serangkaian kejadian penuh kesialan, seperti: tidak sempat sarapat karena kesiangan dan takut terlambat pada hari pertamanya sebagai mahasiswa baru, bangun kesiangan karena tidak bisa tidur, dan seksrang mobilnya mogok di pinggir jalan. Tidak ada bengkel atau ojek yang leway sedangkan lima belas menit dari sekarang OSPEK hari pertamanya akan dimulai.
Berulang kali Vanya menghubungi adik sepupunya, Azka, tapi berulang kali juga dirinya mendapatkan jawaban yang sama dari operator di seberang sana. Ponsel Azka tidak aktif. Oh, Vanya baru ingat kalau adik sepupunya itu pasti masih bermimpi indah sambil memeluk guling kesayangan.
Vanya merasa tidak ada pilihan lain. Daripada terlambat dan mendapatkan hukuman, lebih baik dia berlari saja. Setelah mengambil tas, mengunci pintu dan jendela juga tidak lupa menghubungi montir langganannya dahulu supaya nanti mobilnya ada yang mengurus. Vanya membulatkan tekadnya untuk berlari ke kampusnya yang beruntung letaknya tidak terlalu jauh dari tempat mobil Vanya mogok
Tin ..... Tin .....
Vanya Menghentikan langkahnya saat mendengar klakson dari motor yang berhenti tepat di samping ia berlari tanpa mematikan mesinnya. Si pengendara membuka kaca helm fullface-nya dan sekarang Vanya bisa melihat cukup jelas siapa orang itu.
"Butuh tumpangan?" tanya orang itu dengan suara berat khas miliknya yang sudah Vanya hafal di luar kepala.
Vanya membulatkan matanya nyaris tidak percaya kalau orang itu adalah Zio. Zio si cowok dingin yang mendapatkan julukan unik dan lumayan panjang. Manusia es tampan dari Planet Frozen. Begitulah mereka menyebut Zio.
Ini beneran Zio? batin Vanya masih belum percaya walaupun sudah jelas kalau laki-laki itu adalah Zio.
"Butuh tumpangan?" ulang Zio.
Vanya menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak usah, deh. Bentar lagi juga gue sampai. Lo duluan aja," ucap Vanya memberikan senyuman kikuknya. Berharap kalau pencitraannya akan membuat zio memaksanya until berangkat ke kampus bersama seperti yang dilakukan kebanyakan cowok yang ada di novel-novel remaja kesukaan Vanya.
Namun sayang, kalau dengan Zio itu hanyalah ekspetasi saja, mustahil untuk menjadi nyata. Zio hanya mengangguk sebagau jawaban lalu segera menurunkan kembali kaca helm fullface-nya kemudian melaju meninggalkan Vanya yang sekarang malah cengo di tempatnya berdiri.
"Dih, beneran nggak peka?" gumam Vanya heran, lalu dua detik setelahnya kembali teringat dengan waktu lima belas menit yang tersisa. Tanpa menghiraukan pikiran itu, Vanya mulai melanjutkan kegiatan berlarinya hingga sampai di kampusnya. Pada akhirnya, Vanya tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau dirinya harus mengikuti hukuman yang diberikan oleh senior karena terlambat. Dan anehnya lagi, Zio juga terlambat padahal vanya berasumsi kalau Zio tidak akan berakhir sama seperti dirinya yang harus memunguti sampah organik. Yang putra mencabuti rumput dengan jumlah harus pas tiga ratus lima puluh dan yang putri memunguti dedaunan yang berguguran dari beberapa pohon yang ditanam mengelilingi lapangan sejumlah sama dengan yang putra. Sesekali Vanya menggerakkan bola matanya untuk melihat Zio yang tengah sibuk mencabuti rumput bersama Nicko dan Cio , dua sahabatnya yang juga terlambat. Sudah tidak heran, dari SMA keduanya selalu terlambat.
Vanya tadi juga sempat berkenalan dengan salah seorang anak fakultas MIPA. Namanya Sesil yang juga mengalami nasib sama seperti dirinya. Kemudian, di lain tempat, para senior tengah mengawasi maba alias mahasiswa baru yang sedang menjalankan hukumannya. Anggun, salah satu anggota SENAT di kampusnya melirik ke arah laki-laki dengan wajah datar, dingin, dan jarang tersenyum. Entah apa yang membuat kakinya mendekat pada laki-laki itu.
"Hai nama gue Anggun. Anak Fakultas Kedokteran. Gue juga anggota SENAT. Lo?" Dengan pede- nya Anggun memperkenalkan dirinya di depan Zio dan dua sahabat cowok itu sambil mengulurkan tangannya ditambah dengan senyuman manis yang terkesan centil. Namun, Zio sama sekali tidak menanggapi. Bukannya sombong atau pura-pura tidak dengar, dia memang tidak peka kepada siapa kakak itu memperkenalkan dirinya.
"Yah, ditolak deh," celentuk Nicko yang membuat Cio di sampingnya terkekeh pelan.
Anggun berkacak pinggang dengan wajah menahan emosi. "Heh! Ngomong apa lo barusan?!" tanyanya dengan dagu terangkat.
"Siapa? Orang gue ngomong sama rumput," balas Nicko enteng lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Sementara Anggun, dia mengalihkan pandangannya pada Zio yang malah bangkit dari posisi jongkoknya dan berpindah tempat. Anggun semakin kesal, Nicko dan Cio mati-matian menahan tawanya lalu segera menyusul Zio, sementara Vanya tertawa puas di seberang sana sampai Sesil memandangnya dengan tatapan bingung.
Zio meneguk air mineral yang baru saja dibelinya dengan tenang, lalu menghapus keringat di pelipis dengan punggung tangannya. Tidak memedulikan beberapa temannya yang tengah heboh membahas apa. Tangannya merogoh saku jaketnya, mengaktifkan ponselnya yang tadi mati, lalu mulai memilih aplikasi game yang sekarang ini sedang menjadi tren di kalangan anak remaja. Mobile Legend.
Di lain kursi, tapi di kantin yang sama Vanya duduk anteng dengan cermin wajah di tangannya. Dia mulai membungkukkan badannya dengan tangan kiri dilipat untuk menjadi bantalan dagunya. Dia mengarahkan cermin kecil itu ke arah belakang tempat Zio sedang fokus memainkan game- nya.
"Kok ganteng ya?" gumam Vanya sambil terkikik pelan.
Gissa, Naya, Alexa, dan Delia yang baru saja datang membeli minum pun menggelengkan kepala masing-masing saat melihat tingkah Vanya yang terbilang unik. Ya. Dia memang menyukai Zio sejak kelas sepuluh SMA hingga sekarang. Dia bukan tipe cewek yang akan mendekati gebetannya secara langsung dan terang-terangan. Dia hanya menjadi penggemar rahasia Zio selama kurang lebih tiga tahun. Vanya menyukai Zio karena dulu cowok itu menyelamatkannya kala di- bully oleh geng Zeta cs karena penampilannya yang culun. Padahal, dia berpenampilan begitu supaya tidak ada yang berteman dengannya hanya untuk memanfaatkanya saja. Peribahasanya, habis manis sepah dibuang.
Gissa menyeruput minumannya lalu mencelutuk, "Niat amat tuh, yang mau ngamatin sang pujaan hati sampai bawa cermin kecil segala." Diikuti dengan kekehan pelan dari Naya, Delia, dan Alexa.
Vanya hanya memasang
cengirannya, lalu langsung menegakkan badannya saat Zio mulai mendongakkan wajah untuk melihat teman-teman seperjuangan cowok itu yang mulai menyusul ke kantin. Vanya takut ketahuan.
"Zio itu ... kenapa susah peka, ya?" tanya Vanya menatap teman-temannya dengan tatapan heran.
"Kata Nicko sih, dia susah peka karena mantannya yang ninggalin dia tanpa alasan. Mutusin dia juga tanpa alasan, makanya Zio udah malas banget buat ngerespon cewek-cewek yabg ngedekitin dia. Jadinya, ya ... kayak yang lo lihat sekarang. Dia nggak bisa peka," jelas Gissa
Vanya mengerutkan keningnya sambil berpikir. Apa venar yang dikatakan oleh Gissa? Berbagai pertanyaan muncul di otaknya, menari-nari di sana dan menjadj teka-teki yang ingin Vanya pecahkan.
"Saean gue sih, ya, kalau lo mau deketin Zio, jangan langsung ngegas. Secara bertahap aja. Mungkin bisa dengan lo yang jadi teman dekatnya dulu suoaya bisa paham Zio ity orangnya kayak bagaimana. Baru deh, setelahnya lo mulai tuh, nunjukin perhatian-perhatian kecil lo buat dia," saran Delia yang diacungi jempol oleh mereka.
Ya, Vanya akan melakukannya. Dia yakin dirinya pasti bisa
KAMU SEDANG MEMBACA
PEKA (Perasaan yang Entah Ke mana Arahnya)
RomancePEKA. Perasaan yang Entah Ke mana Arahnya. Karena ketika kita menyukai seseorang yang enggak peka dengan perasaan kita terhadapnya, kita akan ditempatkan pada dua arah. Arah bertahan, atau mundur dan menyerah. Sayangnya, Vanya memilih arah bertahan...