Aku menggenggam sebuah surat yang kini terlihat kusut karena sering kuremas. Semakin tak karuan pula tulisannya karena air mataku yang menetes di atasnya hingga merembes. Jika dilihat sekarang, kumal sekali ternyata surat ini, padahal baru saja kuterima satu jam yang lalu. Surat yang diberikan oleh Tante Mira, ibu dari sahabatku, sesaat setelah aku sampai di rumahnya karena ia telepon.
Dengan isi yang terbilang singkat, kalimat-kalimat dalam surat ini sudah sangat mampu membuatku terenyuh. Berkali-kali aku membaca surat ini, semakin sedih saja aku tiap kali membacanya. Hatiku seperti tercabik oleh untaian kalimat di akhir surat. Surat yang meninggalkan banyak penyesalan, terutama untukku.
Air mata ini tak kunjung berhenti walau sudah dipaksa. Air mataku seperti memiliki kehendak sendiri. Disuruh berhenti, malah unjuk gigi ingin semua orang tahu bahwa aku sedang bersedih. Aku butuh ketenangan. Aku ingin menyendiri.
Akhirnya aku memutuskan mengurung diri di kamar. Bukan, bukan di kamarku sendiri. Tapi di kamar sahabatku, Martin, setelah sebelumnya aku meminta izin pada Tante Mira. Di kamar Martin, berpuaslah aku menangis. Memekik keras, meraung tanpa ampun, kutumpahkan segala perasaan sedihku. Kupeluk bantal, jaket, selimut, seprei, dan barang-barang lain milik Martin yang mudah kuraih dan kupeluk. Aku tahu Martin pasti bisa mengerti pada aksiku mengacak-acak kamarnya.
Martin Alexander. Sahabatku sejak SMP. Si Pengirim Surat yang kini membuat hatiku seperti akan keluar. Air mata dan ingusku membanjiri bantal di kasurnya. Memang kurang ajar kau, Martin! Beraninya kamu membuatku menangis tak karuan begini! Kau tahu kan bahwa aku ini pendendam? Akan kubalas kau nanti!
Martin adalah satu-satunya sahabat yang kumiliki. Dari segala sikapnya, ia sangat layak disebut sahabat, kecuali sikap jahilnya yang menyebalkan. Tak jarang pula kami bertengkar hanya karena masalah kecil.
Martin Alexander, seorang yang pandai menyembunyikan masalah yang dihadapinya. Entahlah sebenarnya, apa dia yang benar pandai menyembunyikan masalah atau aku yang terlihat tak peduli dengan masalahnya sehingga ia tak mau membicarakannya? Atau dia tak mempercayai dan mengganggapku sebagai sahabatnya sejak awal? Ah, pasti aku sangat merasa sakit hati bila dia benar tak menganggapku sebagai sahabatnya.
Kini, aku memeluk jaket bermotif army kesayangan Martin. Kuremas dengan kencang lalu kubenamkan wajahku di baliknya. Kuteriakan umpatan-umpatan yang ditujukan pada Si Pemilik Jaket. Kalau dia tahu, aku pasti akan dimarahi habis-habisan dan pasti akan sulit sekali mendapat ampunannya. Ah, biarlah. Ini salah satu caraku untuk balas dendam padanya.
**********
Tiba-tiba aku teringat pada masa lalu. Aku dan Martin sudah saling mengenal sejak SMP, saat itu kami kelas 9 dan berbeda kelas. Pertemuan kami cukup lucu, menurutku.
Suatu hari, aku pergi mencari tempat sepi yang jarang dikunjungi, apalagi pada saat jam pelajaran. Ya, saat itu aku berniat untuk bolos mata pelajaran matematika, jangan tiru, ya! Akhirnya aku berhenti di halaman belakang sekolah. Letaknya yang cukup jauh dari gedung utama membuatnya jarang dikunjungi, tempat yang cocok untuk membolos. Apalagi untuk tidur karena banyak pohon dan anginnya yang sepoi-sepoi.
Ah, sebenarnya di sekolahku, jangan harap menemui siswa-siswa bandel, contohnya yang suka membolos. Aturan di sekolah ini sangat ketat. Melanggar lebih dari tiga kali, bersiaplah untuk pindah sekolah alias Drop Out. Tapi lucunya, khusus siswa yang mendapat peringkat paralel 10 besar, maka diperbolehkan untuk melanggar aturan hingga batas 10 kali melanggar dalam satu semester berikutnya. Jadi, tahu kan kenapa aku yang tidak suka membolos ini malah memilih bolos saat itu? Hihihi.
Kembali pada masalah bolosku, alasanku memilih bolos mata pelajaran matematika pada saat itu adalah karena kesal dengan gurunya. Bagaimana aku tidak kesal? Beliau menyuruhku mengerjakan 50 soal dalam satu malam. Bayangkan saja, 50 soal dalam satu malam, sedangkan teman yang lain hanya mengerjakan 10 soal! Sangat pilih kasih bukan? Mentang-mentang aku tidak mengikuti satu pun ekskul sehingga banyak waktu, tapi kan tidak hanya aku yang tidak mengikuti ekskul apa pun. Lalu kenapa hanya aku yang mengerjakan 50 soal, Wahai Guru Materimatika Yang Terhormat?
Entah dosa apa yang telah kuperbuat pada guru matematikaku itu. Tak sekali pun aku merasa melakukan kesalahan padanya. Tidak juga aku membicarakannya di belakang seperti temanku yang lain, tapi sejak kejadian itu aku beberapa kali membicarakannya, sekadar mengungkapkan emosiku pada teman-teman tentang tugas yang kuterima. Tapi sepertinya guru itu memang sudah dendam padaku. Setelah soal yang jumlahnya lima kali lipat dari yang lain, aku sering juga diberi soal-soal tambahan dibanding teman yang lain, walaupun jumlah dan rentang waktunya tak sekejam sebelumnya.
Oke, mari lupakan soal guru matematika itu. Sekarang aku sudah berada di halaman belakang sekolah. Aku sedikit terkejut melihat seorang laki-laki yang sedang duduk di tepi kolam ikan. Siang bolong begini mana mungkin ada hantu, kan? Jadi, itu sudah pasti orang, kan? Tapi ngapain coba dia duduk di situ, membolos juga? Yah, bukan masalah juga sih untukku apapun yang dia lakukan di situ, asal dia tidak menggangguku.
Laki-laki itu duduk membelakangiku sehingga aku tidak dapat mengenalinya. Ya, aku pun tidak yakin apakah aku bisa mengenalinya walau wajahnya terlihat, mengingat kepayahanku dalam mengingat wajah dan nama orang.
Tanpa memedulikannya lebih jauh, aku berbaring di bawah pohon jambu yang berada tak jauh dari tepi kolam ikan, tempat di mana laki-laki itu duduk. Aku menutup mataku dengan lengan kanan. Berharap itu bisa membuatku lebih cepat terlelap.
bersambung...
YOU ARE READING
Don't Go #RAWSBestFriend
Short StoryMartin, sahabatku, meninggalkan sepucuk surat yang ia tujukan padaku. Membaca isinya membuatku menangis. Kembali teringat akan masa lalu, saat kami pertema bertemu hingga bersahabat hingga sekarang. Tapi kini, Martin telah pergi. Meninggalkanku send...