Part 2

22 9 2
                                    

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Aku merasa suasana gelap yang tak biasa dari balik lengan kanan yang masih menutupi mata. Sempat aku berpikir sedang terjadi gerhana matahari atau lebih parahnya kelamaan tidur hingga aku saat bangun ternyata sudah malam hari. Aku menarik lengan kanan agar tidak lagi menutupi mata.

Ternyata, bukan gerhana atau malam hari yang terlihat, melainkan sesosok makhluk berwujud laki-laki yang sedang jongkok sambil menunduk menutupi wajahku. Dia mengaku bernama Martin Alexander dari kelas 9.3. Pantas saja aku merasa tidak pernah melihatnya, kelas kita sangat berjauhan, dari ujung ke ujung. Eh, atau akunya saja yang tidak ingat pernah bertemu dengannya?

"Ada apa siswi yang mendapat peringkat ke-8 paralel ada di tempat sepi begini?" tanya Martin.

"Eh, kamu tahu aku?" aku balik bertanya.

"Tentu. Kita sering bertemu. Aku beberapa kali senyum padamu saat kita berpapasan, tidak ingat? Ah, tentu kamu tidak ingat, senyumku bahkan tak pernah balas," raut wajahnya berubah sedih.

"Eh?" aku mencoba mengingat apakah kami memang sering bertemu sebelumnya.

Aku berpikir keras tapi tetap tidak ingat pernah bertemu dia sebelumnya. Aku merutuk dalam hati, lemah sekali sih otakku dalam mengingat wajah dan nama orang. Tiba-tiba aku mendengar suara kekehan. Ah, ternyata itu Martin.

"Wajahmu lucu sekali. Aku tidak tahan untuk tidak tertawa," dia tertawa keras sedangkan aku cemberut. Aku baru ingat kalau wajahku akan terlihat sangat aneh jika berpikir terlalu keras.

"Aku menyerah. Aku tidak ingat kita pernah bertemu sebelumnya. Jujur saja, untuk masalah mengingat wajah dan nama orang, aku memang payah. Aku harus pernah berbicara dengan orang tersebut dan bertemu minimal tiga kali agar aku bisa mengingat wajahnya."

"Wah, ribet juga, ya."

"Ya, dan lagi, mana mungkin aku bisa tahu kalau kamu senyum padaku? Bagaimana kalau nyatanya senyumanmu malah untuk orang yang kebetulan berada di dekatku? Kan, aku yang akan malu jika itu terjadi dan aku malah membalas senyummu," lanjutku dengan sebal.

"Waw. Kamu ternyata orang yang memedulikan omongan orang lain, ya?"

Aku diam tak membalas lagi ucapannya. Biarlah dia berpikir apa tentangku.

Kupikir tadi adalah kalimat terakhir yang ia ucapkan pada pertemuan pertama kami dan dia akan pergi meninggalkaku agar aku bisa kembali tidur. Nyatanya, dia laki-laki cerewet. Mengajakku bicara tentang banyak hal. Terutama pembahasan pokok setiap siswa, yaitu guru. Dari guru yang paling disukai hingga paling dibenci. Tidak biasanya aku bisa membicarakan banyak hal pada orang yang baru kukenal. Tak kusangka pula pembahasan mengenai guru, hal yang selama ini cukup kuhindari karena perintah Mama, ternyata bisa semenyenangkan itu.

-------

Sejak pertemuan itu, aku dan Martin jadi sering berpapasan di hampir setiap tempat yang aku kunjungi di sekolah. Mungkin benar kata Martin, kami sering bertemu, hanya saja waktu itu aku belum hapal wajah dan namanya.

Tiap kali bertemu, Martin akan tersenyum padaku. Ya, kali ini bisa kupastikan senyumnya memang ditujukan untukku. Dia bahkan beberapa kali mendekatiku jika bertemu hanya untuk berkata, "Hai, Kanya," lalu pergi lagi menuju teman-temannya. Hal itu sukses membuatku menjadi bahan ejekan teman-temanku. Menyebalkan.

-------

Saat aku sedang asik duduk sendirian di pojokkan kantin sambil makan semangkuk bakso malang, Martin tiba-tiba muncul menggangguku. Martin berbasa-basi hingga aku merasa obrolan kami benar-benar menjadi basi. Sok-sokan menanyakan kenapa aku makan sendiri, padahal dia hanya minta ditemani. Dasar, pintar sekali membuatku meladeninya yang tidak jelas itu.

Lalu, entah angin apa yang menerpa kepalanya, tiba-tiba saja ia memintaku untuk mengajarinya matematika. Bukannya sombong, tapi nilai tertinggi di raporku ya memang matematika. Jauh meninggalkan mata pelajaran lain, bahkan bahasa Indonesia dan Inggris.

"Ayolah, Kanya. Aku sangat butuh bantuanmu. Aku tidak mengerti materi kali ini," rengek Martin.

Aku bukanlah orang jahat. Tentu aku akan membantu jika aku memang bisa membantu. Tapi, membantu musuhmu sendiri?

Sepulang sekolah di hari aku dan Martin bertemu, aku iseng melihat mading yang terdapat pengumuman peringkat tiap siswa. Terlihat jelas bahwa sekolah ini sangat mementingkan nilai, bukan? Kucari-cari nama Martin Alexander. Tak perlu waktu lama ternyata, karena namanya tepat berada di atasku. Huh, mengesalkan. Jadi ternyata dia toh orang yang nilainya 1 digit di atasku.

Martin Alexander, Si Peringkat ke-7 paralel. Saat tahu bahwa nilainya 1 digit di atasku, aku langsung mengibarkan bendera perang. Kesal sekali mengetahui peringkatku turun karena orang bernama Martin itu. Nilaiku pun hanya kalah 1 digit, gereget.

"Kanya!" teriak Martin tepat di telingaku. Tunggu, kapan dia pindah ke sampingku?

"Jadi, Kanya, gimana? Mau kan mengajariku matematika?"

"Baiklah. Kapan?"

Aku tidak tega menolaknya, dia tidak tahu apa-apa soal nilai itu. Aku kalah karena aku kurang berusaha, bukan salah Martin. Itu mantra yang kuucapkan berkali-kali di dalam hati.

"Sepulang sekolah ini," Martin tersenyum. What?!

-------

Akhirnya aku benar-benar pergi ke rumah Martin. Martin mengendarai sepeda sedangkan aku hanya memboceng. Saat sampai di rumahnya, aku tercengang. Rumahnya sangat besar dan mewah, terlebih barang-barang di dalamnya.

"Kita belajar di lantai 2, ya," ucap Martin sambil menaiki tangga. Aku mengikutinya hingga kami berhenti di depan sebuah pintu.

"Ini perpustakaan sekaligus ruang belajarku. Kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku ganti baju dulu," Martin menghilang di balik pintu.

Aku melihat sekeliling ruangan. Rak-rak buku berjejer rapi, buku-buku tertata apik berdasarkan jenis, sofa yang diletakkan di dekat jendela, meja belajar beserta kursinya di pojok ruangan, dan meja persegi di dekat sofa yang mengharuskan lesehan. Seandainya aku memiliki perpustakaan pribadi semacam ini, pasti akan menjadi tempat favoritku.

Aku menaruh tas di sofa. Penasaran dengan buku-buku di perpustakaan ini, aku pun memutuskan untuk berkeliling. Ternyata kebanyakan adalah buku fiksi, betah deh aku kalau dikelilingi buku seperti ini.

Aku berhenti di depan rak terakhir. Di samping rak terakhir itu adalah meja belajar, ada sesuatu di atasnya yang menarik perhatianku.

Sebuah botol kecil putih dan beberapa obat tablet di dalam plastik  kecil tergeletak tak berdaya di atas meja belajar. Aku pikir botol kecil itu berisi vitamin, tapi aku sendiri tidak yakin. Hatiku berkata bahwa botol itu bukan vitamin atau obat penyakit biasa, seperti batuk dan flu. Lebih dari itu. Sesuatu yang tak bisa kau dapatkan dengan mudah di apotek mengingat namanya yang jarang sekali kudengar.

Karena terlalu penasaran dengan isi botol itu, aku pun mengambilnya. Belum sempat aku membaca nama pada botolnya, pintu terbuka dengan kasar.

"Kanya? Apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu sembunyikan di balik punggungmu?" ucap Martin dari pintu. Suaranya sedikit meninggi, tidak seperti biasanya.


bersambung....

Don't Go #RAWSBestFriendWhere stories live. Discover now