Aku dan keluargaku pindah ke jepang begitu aku lulus Sekolah Menengah Pertama. Ayahku mengatakan bahwa kami memang perlu tinggal disana untuk perkerjaannya saat ini.
Aku bisa berbahasa jepang karena ibuku yang keturunan Jepang-Canada selalu mempraktekkannya di rumah layaknya bahasa sehari-sehari. Namun, aku masih belum lancar menulis huruf-huruf jepang.
"Oh, ya ampun, tulisanku jelek sekali." Sudah kucoba berulang kali untuk menyalin deretan huruf katakana yang di contohkan dalam buku. Namun hasil tulisannya sangat berantakan. "Sudah berapa kali kukatakan aku tidak ingin pindah, kenapa ibu memaksaku begitu."
Akhirnya aku melayangkan protes setelah mengetahui kelemahanku sendiri, kedua tanganku bertangkup di atas kepalaku, sedikit frustasi. "...Lagipula kenapa aku tidak dimasukkan saja ke sekolah international, kalau begini 'kan aku yang repot?"
"Bersabarlah dan terus belajar, biasanya anak-anak akan cepat belajar," oceh ibuku seraya mengacak-acak puncak kepalaku.
"Aku bahkan sudah bukan anak-anak lagi..." gumamku dengan suara sangat kecil, hingga ibu yang berjalan keluar kamar tak mendengarnya.
Sudahlah, mereka bahkan tidak mendengarkanku.
Aku menaikkan dadaku yang telungkup di meja lalu menegakkannya, kemudian sedikit memberikan peregangan.
Hari ini adalah hari pertamaku masuk ke sekolah yang baru, sekolah yang rata-rata muridnya adalah keturunan asli jepang. Aku dikejutkan oleh buku-buku pelajaran yang seluruh isinya bertuliskan huruf-huruf yang tidak aku mengerti.
Mengingat hal itu mataku sedikit terpejam menandakan kalau diriku sudah mulai mengantuk karena kelelahan, tidur mungkin akan membuat mood-ku menjadi lebih baik.
...
Keesokan harinya mood-ku memang lebih baik dari hari kemarin. Tapi bagiku, jepang tetaplah hal yang masih tabu untukku.
Sepupuku, Yamanaka Ino mengajakku mandi di sebuah pemandian air panas dekat dengan tempat tinggal kami. Dia bercerita bahwa pemandian jenis itu disebut Onsen, dan masih mewarisi adat jepang jaman dulu. Karena penasaran, aku langsung menyetujui ajakannya.
Kami masuk dalam Onsen bersama-sama, tapi kemudian berpisah di tempat di mana koridor memisahkan pengunjung laki-laki dan perempuan.
Ino sempat berpesan padaku agar melepas seluruh pakaian ketika aku di kamar ganti nanti. Katanya, aku harus keluar dalam keadaan tidak mengenakan apapun, termasuk celana dalam yang segitiga. Aku berpikir ulang, itu berarti aku akan mandi dalam keadaan bugil di tempat umum! Ck, yang benar saja, siapa yang mau melakukan itu?
Tapi, setelah keluar dari kamar ganti dengan masih memakai celana pendekku aku dicegat oleh seorang petugas laki-laki. Dia memintaku untuk melepas seluruh pakaian yang aku kenakan, baru setelah itu aku boleh masuk dan mandi dalam air hangat.
Spontan aku bertanya padanya kenapa? Dan dia menjawab itulah peraturannya.
Lalu ketika aku melihat ke sekitarku, para pengunjung lain yang keluar dari kamar ganti juga tidak mengenakan apapun. Jadi, yah, mau tidak mau aku juga melakukannya.
Dan di sini lah, di dalam bak besar ini aku merendamkan sebagian tubuhku. Airnya yang hangat mengalir melalui kran dan memenuhi bak hingga penuh. Jika air dalam bak sudah benar-benar penuh, maka sebagian airnya akan tumpah sedikit demi sedikit ke sisian bak. Air yang tumpah itu tidak akan diperlukan lagi karena sudah digantikan oleh air yang baru.
"Hai, orang luar?" Aku tersentak ketika seseorang menyapaku. Ada sepasang kaki telanjang yang naik ke bak, ia menghampiku lalu ikut berendam di sana. "Hahah... airnya nyaman sekali, ya?" pipinya memerah ketika air hangat itu mencapai dadanya. Kemudian ia menatapiku yang tidak menanggapinya. "Apa kau mengerti ucapanku, orang luar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Minor Feelings | (NARUSASU)
RomanceKarena alasan pekerjaan keluarga Naruto terpaksa pindah ke Jepang. Di Jepang, Naruto bertemu dengan teman pertamanya yaitu sepasang saudara kembar yang aneh, tidak hanya aneh namun saudara kembar ini juga memiliki sebuah rahasia kecil, hingga akhirn...