Chapter 3 (Last)

592 65 6
                                    

Aku menarik potongan lakban yang merekat dimulut Sasuke, orang itu kubiarkan terbaring dikasurku dengan kondisi tangan dan kaki terikat.

"Makanlah..." ujarku, dengan makanan seadanya yang kuambil hati-hati didapur, aku menyuapinya, aku hanya memberinya makan satu kali sehari agar dia tetap kelaparan dan lemah, yang terpenting adalah dia bertahan hidup.

Setiap pagi itulah tambahan rutinas baruku, mengeluarkan seseorang yang terikat dari dalam lemari dan memberinya makan, seperti memelihara seekor peliharaan yang tak mampu berbuat apa-apa, namun aku tidak pernah menganggap Sasuke sebagai peliharaanku.

Setiap kali keluar rumah aku akan mengunci pintu, berangkat sekolah ataupun hanya sekadar membeli cemilan di minimarket. Aku sangat protektif dengan kamarku akhir-akhir ini karena orangtuaku masih tak tau kalau ada orang lain yang hidup satu kamar denganku dalam dua minggu ini. Begitu pula dengan seonggok jasad yang terkubur dihalaman belakang, mereka sama sekali tak mengetahui soal itu.

"Buka mulutmu, Sasuke." Sendok berisi nasi kusentuhkan kebibirnya, berusaha menyuapi, namun mata sayu itu hanya menatapku tanpa gairah, iapun enggan sekadar menggerakkan mulutnya.

"Sasuke?" kupanggil sekali lagi.

"Kenapa kau tidak membunuhku saja?" nada itu cukup kecil dan agak serak, itulah kalimat pertama Sasuke yang ia ucapkan setelah terkurung selama dua minggu didalam kamar atau bisa dibilang dibilik lemari yang kecil.

"Buka mulutmu dengan baik." Sendokku tak dapat masuk kemulutnya ketika dia berbicara.

"Aku memberimu ide yang bagus, bagaimana kalau kau membunuhku saja?"

"Kalau kau tidak makan nanti kau akan sakit." lanjutku menghiraukan perkataannya.

"Kenapa kau tidak mendengarkanku Uzumaki Naruto! Kau bisa bersenang-senang dengan kematianku, kau bisa membakarku hidup-hidup atau kau bisa..."

Aku langsung menusukkan ujung pegangan sendok yang tumpul kepahanya, dia menjerit tertahan, darah lalu merembes ketika aku menarik ujung sendok dari pahanya yang robek. Dia terlalu bawel.

"MAKAN!" Aku merengkuh rahangnya dan memaksanya membuka mulut, kusendok makanan baru dari piring lalu kumasukkan secara paksa makanan itu kemulutnya. "...Asal kau tahu aku melakukan ini karena kasihan padamu, aku melindungimu. Bayangkan jika polisi menemukanmu maka namamu akan tertulis didalam sebuah kasus perampokan bersenjata."

Sasuke meringis, oniksnya memejam, akupun menyadari apa yang aku lakukan, ujung sendok yang kupegang berdarah dan darahnya mengotori tanganku.

Kuambil lakban baru untuk menutupi mulutnya yang masih mengulum makanan. "Telan." Setelah itu kubebat luka dipahanya usai kuoleskan dengan obat luka. Sasuke kembali meringis.

"Nanti malam kau harus makan, aku tak mau ada mayat lagi dirumahku." Aku mengambil ransel untuk berangkat sekolah. "Mengerti?"

Kutinggalkan dia tanpa memasukkannya kembali kedalam lemari, dia sedang terluka dan aku tak mau membuatnya menderita lebih dari itu. Asal dia tidak kabur, atau melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan seperti menyakiti keluargaku itu saja sudah cukup.

***

Beberapa hari berlalu setelah itu, Sasuke tetap tak mau makan. Berbagai cara sudah kulakukan untuk membujuknya, namun anak itu bersikeras tak mau memberiku kesempatan memasukkan makanan apapun kedalam mulutnya.

Karena tak ada asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya, Sasuke pun menjadi tambah kurus dan lemah. Aku tau, Sasuke ingin menyakiti dirinya sendiri atau mungkin ia bermaksud bunuh diri.

Tak ada pilihan lain, aku membeli alat kesehatan di luar, memasangkan infus lalu menyuntikkan vitamin ketubuhnya. Ia tak boleh mati, tidak akan kubiarkan jika dia bermaksud demikian.

"Maafkan aku, Sasuke, karena telah membunuh saudara kembarmu. Tapi waktu itu aku terpaksa melakukannya karena dia berusaha menyodomiku, saudaramu sudah keterlaluan, karena itulah aku terpaksa membunuhnya."

"Bohong..."

Melihat mata tak percaya itu akupun terkekeh, "Berhentilah membela saudaramu, ia bukan malaikat seperti yang kau bayangkan selama ini."

"Kau sama seperti mereka, jangan berusaha memperdayaku seperti yang lain."

Aku ingin sekali memukul Sasuke, ingin sekali menyadarkan orang itu tentang kenyataan sosok kakak kembarnya yang sebenarnya. Padahal ia telah melihat dengan jelas dan mengetahui kalau Sai berusaha merampokku, tapi kenyataannya ia tak pernah menerima kenyataan kalau Sai adalah orang jahat.

Tapi saat itu ibuku membuka pintu kamar tanpa permisi, hal tersebut menginterupsi pembicaraan kami berdua, dan aku terkejut setengah mati, pandangan mataku tegang menatap ibuku yang menatapi kami. Jika aku ketahuan mengurung seseorang didalam kamar, maka aku tidak bisa berkilah.

"Oh ada teman, ya?" Jauh diluar dugaan ibuku tersenyum, "Naruto, ibu ingin memanggilmu untuk makan siang tapi kenapa tak bilang kalau pulang bawa teman, ibu kan bisa membuatkan cemilan?"

Aku terdiam, tak bisa berkata apa-apa atas kesalahpahaman ini, tapi aku bersyukur kalau memang itu yang ibuku pikirkan. Namun ia juga ikut terdiam ketika irisnya bertemu dengan tangan Sasuke yang diinfus.

"Bu, bolehkah aku berbicara sesuatu denganmu?" pintaku sebelum ibuku berspekulasi macam-macam.

***

"Jadi dia ditelantarkan?"

Aku mengangguk, "Kakak kembarnya baru saja meninggal, jadi aku menampungnya untuk sementara."

Ibu terlihat terenyuh dan iba mendengar kisah hidup Sasuke yang kuceritakan setelah aku memintanya berbicara empat mata. Tidak semua yang terjadi kuceritakan, hanya bagian yang pantas ia ketahui lalu kubumbui agar terdengar lebih manusiawi.

"Jadi, Ibu, bolehkah Sasuke tinggal dirumah kita untuk sementara waktu, aku janji ia tidak akan merepotkan ibu dan ayah, aku bisa berbagi kamar dengannya." ucapku meyakinkan.

Kulihat ibu berpikir lama, namun kemudian ia mengangguk mengijinkan.

***

Setelah mendapat ijin dari ibu, aku langsung pergi ke kamar untuk menemui Sasuke. Ia yang tak kuikat karena sakit menatapku sayu.

"Sekarang kau bebas berkeliaran di rumah ini
tapi jangan berbuat macam-macam kepada ibu dan ayahku."

Aku berjalan mendekati Sasuke, lalu berpijak diatas kasur yang sama dengannya, kutindihi dia dan kutatap dua mata hitamnya dengan mata biru indahku.

"Kau tau kenapa aku tidak melaporkanmu ke polisi sampai sekarang?" kataku membuatnya sedikit penasaran, "Itu karena..."

Kucium kedua belah bibir pucatnya sambil memejamkan kedua mata.

Walau aku tidak melihatnya, tapi aku yakin ia pasti terkejut dengan tindakanku ini.

"...Aku tertarik padamu sejak pertama kali kita bertemu..."

"...Mulai sekarang berhentilah memikirkan kakakmu, dia sudah tiada. Sekarang, kau adalah bagian dari keluarga kami."

The End.

Minor Feelings | (NARUSASU) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang