Hai, ternyata sudah lama aku pendam rasaku sendiri.
S E M E S T A⭐
"Dasar bocil cengeng."
Cowok berbadan jangkung itu terkekeh geli melihat gadis yang berada di depannya. Sore itu, mereka melakukan interview sebagai calon anggota MPK. Cowok itu nampak biasa, namun keadaannya berbanding terbalik dengan gadis yang saat ini tengah mengusap air matanya.
"Kalau lo emang nggak kuat, mundur aja."
Sang gadis menggeleng kuat. Ia tidak menginginkan hal itu terjadi. Sudah sejak dulu hal ini menjadi impiannya, tidak mungkin ia mundur karena hal sepele yaitu kakak kelas yang mewawancarainya galak.
"Gue udah lama ngincer pendaftaran ini tau, enak aja lo nyuruh gue mundur."
"Bocilku yang jelek kalo lagi mewek, mundur aja gih. Biar saingan gue jadi anggota MPK nggak banyak-banyak."
Lentera memukul lengan cowok jangkung bernama Alam Semesta itu. Ia berteriak kesakitan. Ia mengusap lengannya yang terasa berdenyut karena pukulan orang yang dikatainya sebagai bocil itu.
"Sakit tau, gue curiga lo bukan cewek."
"Lo udah delapan puluh empat kali meragukan kalau gue emang cewek. Shit."
"Sebanyak itu?" Semesta menatap gadis di depannya tak percaya. "Lo beneran ngitung?"
"Ya iyalah, pinter. Masa sih gue harus bohong."
"Maybe."
"Sembarangan."
Keheningan mulai tercipta. Tidak ada yang berusaha memulai lagi percakapan kelewat tidak penting mereka. Yang mereka lakukan hanyalah memandangi langit yang mulai menampakkan semburat merahnya.
"Mas, mbak, bentar lagi gerbang sekolah saya tutup. Mbak sama masnya nggak pulang? Jangan sampai maghrib disini, banyak yang ganggu."
Kedua remaja itu menatap satpam yang tengah asyik mengunci pintu kelas tempat interview tadi. "Bentar lagi deh, Pak. Masih males, hehe," jawab Semesta.
"Ya sudah kalau begitu, saya tunggu mbak sama masnya di gerbang, ya?"
"Eh, jangan, Pak!"
"Ayo kita pulang, kasihan bapaknya jadi nunggu kita, dodol," ucap Lentera.
"Ya udah, yuk kita balik."
Mereka bertiga berjalan menuju tempat parkir. Lentera kemudian melanjutkan langkahnya menuju gerbang.
"Gimana bisa gue lupa ayah lagi nggak bisa jemput sih?" gadis itu mendumel. "Masa iya gue harus bareng si oncom?"
"Nggak deh, ngrepotin."
"Eh, tapi keburu malem."
"Tau ah! Bingung gue."
"Woy kutil ayam! Kagak pulang lo?" Semesta dengan motor gedenya meneriaki Lentera yang berdiri di depan gerbang sekolah.
"Bukan urusan lo, bolot."
"Bareng gue aja, pak satpamnya juga udah cabut."
Gadis itu berpikir, "Bener? Ngrepotin nggak nih?"
"Udah cepetan! Gue balik, nih."
"Eh, tunggu. Gue bareng lo."
Gadis itu kemudian menaiki motor Semesta. Motor berwarna merah itu melaju kencang membelah jalanan kota yang makin lengang karena waktu semakin larut. Diam-diam, gadis itu tersenyum. Sekalipun ia sering mengatai cowok tengil yang saat ini telah fokus menyetir, ia merasakan sesuatu yang mulai merekah dalam hatinya. Ia mengetahui dengan jelas rasa apakah yang mampu membuatnya tersenyum sendiri saat memikirkan cowok itu.
Motor itu berhenti tepat di depan rumah Lentera. Lentera menuruni motor merah itu dan berdiri di sebelah Semesta, "Makasih, lo bener-bener berbakat jadi sopir gue. Ehe."
"Lo mau dicabein?"
"Ogah."
Mereka saling terdiam dan hanyut dalam perasaan masing-masing. Cowok itu tersenyum tipis, kemudian tangannya terangkat dan mengusap lembut puncak kepala Lentera.
Gue sayang lo, meskipun lo nggak tahu gimana perasaan gue saat lo senyum tipis ke gue. Gue mau lo seterusnya begini ke gue. Jangan pernah berubah, bahkan pergi ninggalin gue, gadis itu membatin sambil menarik sudut bibirnya.
"Gue bakal terus jadi Semesta lo. Gue bakalan setia menemani lo dalam keadaan baik maupun buruk. Lo bisa pegang janji gue."
- S E M E S T A -
KAMU SEDANG MEMBACA
S E M E S T A
Teen Fiction"Gue bakal terus jadi Semesta lo. Gue bakalan setia menemani lo dalam keadaan baik maupun buruk. Lo bisa pegang janji gue." S E M E S T A