|2|

16 8 0
                                    

Harapan dari Timur

Oleh: Senyatakata

Tepat di depan sebuah bangunan bertingkat yang terbuat dari kaca lengkung dan baja, gadis itu memikirkan sesuatu, berharap menjadi lulusan terbaik di kota yang ia datangi saat ini.

Gadis itu, Bulan Pradani Sinarya namanya. Ia berambut ikal panjang dan matanya hitam pekat. Bulan sempat dilanda cemas karena takut kalau dirinya tidak mampu beradaptasi di sini. Seperti embun yang mengering dari kanvas semesta, akankah ia menjadi salah satu orang renta yang dicaci zaman? Hati kecilnya berharap, itu sekadar puntung-puntung emosi tak terarah.

Kembali ia teringat pesan ayahnya, ko mo pigi dimana? Kam pi tuntut ilmu. Kata-kata itu sering menjitak hatinya dan membuatnya tertawa. Ia percaya bahwa segalanya akan berjalan lancar jika ia mampu menguasai dirinya.

Bulan, sebuah cahaya indah yang meneduhkan. Begitu kata seorang perempuan yang mendekatinya saat mereka bertemu di kelas pekan lalu. Ia baru sadar sampai sekarang orang-orang disekitarnya belum ada yang mendekatinya, hanya Rina seorang. Dia pandai bicara, argumentatif, persuasif, cantik, kulitnya seputih salju dan sangat berbeda dengan Bulan. Padahal satu kampus tahu, bahwa ia seorang perempuan pedalaman dengan keahliannya membuat ukiran kayu yang indah, dan mural-mural bermotif unik.

"Kamu sudah menyelesaikan tugas minggu lalu? Ku lihat kau membawa dua lukisan, satunya buat aku ya, Bulan?" bisik Rina dengan tampang sedikit memelas.

"Kamu sungguh be-belum menyelesaikannya?" Bulan bertanya dengan suara yang hangat agar tidak terkesan sedang menegurnya.

"Belum, kau mau membantuku kan? Karena kita teman, jadi harus saling menolong."

Mendengar Rina menyebut kata teman, perasaannya melambung tinggi menyentuh awan di langit biru. Memenjarakan segala kehangatan yang tercipta. Bagi Bulan, Rina adalah teman pertama yang ia dapatkan di kota ini.

"Ya Tuhan! Lukisan ini indah sekali," puji Rina dengan mata berbinar.

"Te-terima kasih," kata Bulan tersenyum lembut ke arah Rina.

Suasana di kota Surabaya sangat ramai, Rina sudah menghilang entah kemana. Bulan hendak bersiap untuk pulang, dan matanya menatap awas pada setiap orang yang berjalan. Tetapi, ia tidak merasa kesepian. Sembari mencuri-curi tatap, matanya tak sengaja menangkap temannya di persimpangan jalan tak jauh darinya.

"Entah dia polos atau bodoh. Keduanya sama-sama menguntungkanku." Itu suara Rina. Terdengar sarkastis.

"Gunakan bocah pedalaman itu dengan baik! Kalau perlu, kamu minta dia membawa lebih banyak lukisan untuk kita," ujar salah seorang diantaranya.

"Santai, aku akan membujuk Bulan," ucap Rina sambil terkekeh.

"Minta dengan baik-baik. Apa kamu tau? Dia tidak bisa bahasa Indonesia, masih berani pula dia masuk kuliah setiap hari, haha!" ujar Rara.

"Kok bisa ya dia lulus tes? Bicara saja masih kacau balau begitu. Aku curiga kalau bocah pedalaman itu membayar mahal untuk masuk ke sini.’’

Perbincangan itu memilin hatinya. Sudah cukup harga dirinya dijatuhkan, rasanya seperti diterbangkan ke udara, lalu diluluhlantakkan ke bumi. Bulan tahu cara bersabar, tetapi tidak untuk kali ini.

Hatinya bertekad untuk membuktikan kepada mereka bahwa bocah pedalaman sepertinya bisa pandai berbahasa Indonesia.

Hingga, seiring berjalannya waktu, kini orang-orang mulai mengenalnya sebagai perempuan dari Timur yang berhasil menjadi salah satu lulusan terbaik di kampusnya. Tiada sayap yang akan membawanya ke langit biru. Dijiwanya sudah terpatri keinginan untuk mengajarkan cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar pada bagian timur Indonesia.

SELESAI


Jumat, 01 Februari 2019

Goresan KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang