Satu

9 1 0
                                    

Persahabatan adalah hal yang terpenting dalam hidup Maysita atau yang sering dipanggil May. Bukan hanya untuk menepis sepinya pesan atau pun hanya untuk sekedar mengajak pergi kala sedang sunyi, tapi sahabat adalah saudara jauh yang mau sedikit meluangkan waktunya hanya untuk sekedar mengukir hal receh atau hanya sekedar berpelukan lalu pergi untuk kembali mengurus urusannya masing-masing. Begitulah menurut May.

Hari ini adalah hari yang tak begitu May sukai. Hari dimana May harus pulang ter-lambat. Hari dimana May harus pulang sangat larut. Dan May sangat tidak menyukainya.

“May, kamu kok ngga mau ikutan lombanya sih?”

May menatap lawan bicaranya itu dengan tatapan malas. “Ya karena aku ngga suka, Sa.” Jawab May enteng.

“Terus kalau kamu ngga suka, kamu bisa ngga ikut semau kamu?” May hanya menggedikan bahu. Malas jika harus berdebat dengan dia terus. “Denger ya May.” Katanya menginterupsi. “Ini udah kuliah, kok sifat kamu semakin gila begini sih?”

“Udahlah, Sa. Aku ngga mau debat, capek.” May berdiri untuk keluar ruangan dan untuk mengakhiri perbincangan yang jika diteruskan maka akan menjadi peperangan panas antara dirinya dengan sahabatnya, Arsana.

Baru saja May hendak membuka pintu kelas, tapi otaknya tiba-tiba teringat pada perbincangannya dengan seseorang. “Faisal titip salam buat lo, Sa.” Setelah menucapkan itu ia melanjutkan langkahnya kembali.

“GILA!” teriak Arsana menggelegar hingga luar ruangan. “Untung aja nih kelas sepi.” Lanjutnya dengan nada yang lebih lirih.

Maysita hanya tersenyum lebar seperti orang gila. Untung saja tertolong oleh masker yang ia kenakan.

“Lo balik, May?”

“Hah?” Jawab Maysita terkejut akibat seorang pria yang tiba-tiba ada di belakangnya. “Iya, kenapa?” lanjutnya sambil melangkahkan kakinya untuk menuruni tangga.

Pria itu hanya tersenyum tipis dan menggeleng sekali. “Ngga kok. Oh iya, salam gue udah belum?” tanyanya dengan nada jenaka.

“Udah.”

“Gila ya lo, May? Jutek banget.”

“Apa hubungannya jutek sama gila sih, Sal?” bukannya menjawab Faisal malah tertawa keras entah karena apa. “Lo yang gila.” Sungut Maysita.

“Santai. Faisal ngga gila, kalau gila ngga kuliah dong.” Jawabnya sambil memasukkan tangannya di kantong jas almamater yang dikenakannya.

Iya, pria itu Faisal, pria yang kirim salam untuk Arsana malam tadi.

“Garing.” Maysita melangkah lebih cepat lagi menuju perkiran motornya. Ia tak mau lagi direcoki oleh pria yang tidak penting. Apalagi pria itu yang suka sekali mengganggu hidupnya.

Teman satu kelasnya kerap kali meledek kedekatan antara Maysita dengan Faisal, pedahal mereka tidak menjalin satu hungan apapun selain teman kelas. Faisal hanya sering meledeknya dengan sebutan gila dan jutek. Dia juga mendekati Maysita karena ingin menitip salam ataupun menitip satu barang untuk sahabatnnya, Arsana, tapi teman satu kelasnya tidak mengerti. Membuat Maysita merasa risih jika harus berlama-lama di kelas.

Ditambah lagi dengan sifat diamnya Faisal yang seolah membenarkan bahwa dirinya memang ‘seperti’ menyukai Maysita. Entah apa yang dipikirkan oleh teman-temannya yang beranggapan bahwa seorang pria menyukai perempuan seperti Maysita adalah hal aneh dan perlu menjadikannya sebuah bahan olokan. Apakah humor di negeri ini sereceh itu? apakah tidak ada hal yang lebih lucu lagi?

“Maysita!”

‘Siapa lagi sih?’ gumam Maysita dalam hati.

“Beneran ngga mau ikut?” Gharif. Ketua persatuan lomba antar kelas ini menghampiri Maysita dengan buku kecil di tangannya.

“Ngga. Kenapa?” Tanya Maysita sambil memakai helm berwarna merah batanya.

Gharif menghela napas lelah. “Anggota kita kurang, May.” Katanya sambil menggaruk tengkuknya dengan buku yang ia pegang. Mungkin ia merasa aneh harus berbincang tentang hal ini dengan Maysita.

Maysita yang sudah menaiki motornya berhenti sejenak untuk berpikir. “Arsana kayaknya belum ikut lomba deh, Rif.” Setelah mengatakan kalimat itu Maysita kembali berusaha mengeluarkan motornya dari deretan motor lain.

“Nah itu masalahnya, May.” Maysita mengangkat alisnya. “Lombanya kurang cocok sama Arsana. Yakali lomba balap sarung harus Arsana yang ikut?” tanya Gharif jenaka.

“Cari yang lain, gue males.” Sahut Maysita yang sudah tahu arah perbincangan ini.

“Kerja samanya dong, May. Biar menang.” Nampaknya Gharif menurunkan sedikit egonya demi memenangkan lomba ini, kentara sekali nada memohonnya kali ini.

“Lagian ngga ada untungnya juga kalau kelas lo menang.” Balas Maysita sedikit sewot.

Gharif menghela napasnya. “ Kelas gue ya kelas lo juga, May.” Katanya mengoreksi. “Setidaknya biar masa kuliah lo ngga gitu-gitu aja, May.” Maysita menoleh ke arah Gharif seolah tersindir dengan kalimat tadi.

“Kenapa lo yang ribut?” jawab Maysita sambil menyalakan mesin motornya, lalu ia melajukan motornya tanpa memerdulikan Gharif yang sudah sebal sejak tadi.

“Sabar kalau mau ngajak dia.”

Gharif terkejut dengan suara yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya itu. “Sahabatnya yang tujuh tahun aja ngga didengerin, apalagi lo yang baru dia kenal?” Gharif hanya menggeleng pasrah mendengar kalimat ejekan atas usaha yang telah ia buat untuk kemenangan kelas mereka.

“Setidaknya gue udah usaha, Sal. Dibanding lo yang diem doang ngga mau ngebujuk si May-may.” Ujar Gharif sedikit bangga yang sudah memiliki sebuah usaha dibanding Faisal yang hanya diam, menurutnya. Iya, pria itu adalah Faisal.

Faisal menaikkan satu alisnya, mengejek. “Salah kalau gue ngga punya usaha.” Nadanya sedikit tinggi, tak terima jika ia disebut tidak memiliki usaha. “Dengan lo nanya dia mau balik apa ngga juga itu sebuah usaha dan jawaban, Rif.” Jelas Faisal yang malah membuat Gharif bingung. “Kalau dia mau balik, ya berarti dia ngga mau ikutan apapun yang berhubungan dengan lomba ‘yang menurutnya ngga mutu’.” Gharif hanya mengangguk kecil menanggapi.

“Dan lo udah nanya?”

“Udahlah. Makanya tadi gue ketawa pas lo ngebujuk dia dengan kalimat ‘ngga mutu’ lo itu.” dan kali ini Faisal tertawa keras. Selera humor Faisal memang serendah itu. Benar apa yang dikatakan Maysita bahwa Faisal itu ‘garing’.

“Udahlah, gue mau balik.”

Gharif terkejut. “Lo mau balik juga?”

“Ngapain juga gue ikut acara ‘ngga mutu’ ini?” katanya dengan senyuman miring.

Gharif sudah membuka mulutnya untuk menyanggah kalimat Faisal, tapi Faisal lebih dulu bersuara. “Apa? Lo mau ngebujuk juga dengan kalimat lo?” tanya Faisal meledek.

“Balik dah sono!” usir Gharif sewot.

“Ngga usah disuruh juga gue mau balik.”

“Dasar para manusia aneh!”

Faisal menjalankan motornya keluar dari area parkiran gedung C. Hari yang panas langsung menyengat kulitnya ditambah lagi dengan polusi yang sangat mengganggu. “Gue juga harus pakai masker juga nih.”

Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PERSAHABATAN, si culun dan si gendutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang