Prologue : Impian Dalam Selembar Halaman

35 3 6
                                    

Hari ini malam terasa sangat panjang. Sang dewi malam menjulang tinggi di langit, memberikan senyuman indahnya ke malam yang kelam.

Serpihan dari senyuman tadi masuk ke salah satu rumah terpencil di tengah hutan. Dengan lembutnya menerangi barisan buku yang ditunjuk oleh tangan mungil yang ada di dalam sana.

Ruangan kecil tersebut dipenuhi bisikan kecil. Mengintip ke dalam, akan terlihat seorang anak muda sedang menggerakkan mulut layaknya mengucapkan mantra. Bukan karena itu sebuah buku sihir, melainkan karena yang dibacanya adalah sebuah buku ilmiah.

Pelan-pelan, mulut kecilnya meliuk-liuk berusaha mengucapkan rumus rumit yang ada di dalamnya. Terkadang pun ia memiringkan badannya untuk melihat ujung buku besar di hadapannya.

Wajar, tubuhnya yang kecil memberikan banyak batasan. Sang pembaca pun jika diperhatikan bukanlah seorang yang besar, hanya seumuran balita yang seharusnya belum bisa membaca.

Tok tok tok

Tiga ketukan singkat. Perlahan sebuah figur wanita muda pun muncul dari mulut pintu, tidak ingin mengganggu orang yang di dalam.

Dengan manik mata hazel, surai coklat rapi yang hanya se-pundak, dilengkapi wajah putih mulus sebersih langit. Siapapun yang melihatnya pasti akan terpana sejenak.

Sayangnya pakaian maid di badannya menandakan jelas kastanya. Andai ia memakai sebuah pakaian rapi pasti orang-orang akan menganggapnya bangsawan.

"Permisi, Tuan muda" Sepatunya membelah tumpukan buku yang berserakan di lantai. Sesekali tangan kanannya menggeser buku setinggi menara yang menghalangi.

Ia menghentikan langkahnya di samping Tuan muda yang sedang membaca di kursi kecilnya. Mendapati bagian kosong di meja, ia menaruh gelas berisi air putih yang sejak tadi ia bawa di tangan.

"Tuan muda, ini sudah larut. Apa Tuan muda masih ingin lanjut membaca ?"

"Allie Weiße" Klap. Suara buku yang tertutup memecahkan keheningan. Manik mata merah Sang Tuan muda tertuju tajam ke arah Allie.

"Aku sudah memintamu untuk berbicara tidak formal, tidak perlu memanggilku Tuan muda. Apa perlu kuingatkan lagi ?" Ia menghela nafasnya. Wajahnya terlipat. Sebuah permintaan lama, dan tetap saja susah terlaksana oleh wanita di depannya.

"A-ah a-aku minta maaf, R-Ren." Padahal terbata-bata mengubah sikapnya. Tetapi ia malah menunjukkan sebuah senyum.

Pengalaman bertahun-tahun untuk patuh sebagai maid tentu saja tidak ia lupakan. Hanya saja ia tidak tahan untuk tersenyum ketika melihat bahwa lawan bicaranya tetap balita yang sejak dulu ia asuh.

Geram, Ren hanya menggaruk kepala. Kenapa susah sekali untuk mengubah sikapnya ? keluh hati kecilnya.

Sempat sempatnya ia meneguk gelas air di hadapannya. Berusaha menghilangkan kesal.

"Hari ini buku apa saja yang sudah kau baca ?" Allie melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih bersahabat. Matanya mulai menelusuri meja baca milik Ren karena penasaran.

"Beberapa buku ilmiah, fisiologi, psikologi dan...novel."

"Novel ?"
Tanpa sadar, Allie meninggikan suaranya. Ini sesuatu yang baru, hal yang ia tau Sang Tuan muda hanya tertarik dengan ilmu, bukan fiksi.

Tanpa permisi ia langsung mengambil salah satu buku novel yang masih terbuka. Membaca beberapa baris yang terlihat.

"Judul dan isinya membuatku tertarik, itu saja." Ia mendengus pelan.

Wajah Ren selalu tenang tanpa ekspresi, sulit untuk membedakan apa ia sedang kesal atau senang. Kali ini pun juga sama.

"Ah, kau tertarik dengan perang dunia pertama?" Manik hazelnya melirik Ren, bertanya tanya.

"Perdamaian."

"Perdamaian ?" Jawaban Ren membuatnya semakin bertanya tanya. Penasaran, ia menaruh buku di meja dan mulai duduk mendekat.

"Kau bercerita perang ini sudah terjadi beberapa kali sebelumnya, aku hanya ingin melihat akhirnya.." Ren menengadah, mungkin karena mengantuk, ia mulai menyandarkan punggungnya ke kursi kayunya.

"Allie...apa langit akan lebih indah setelah perang usai ?" Nadanya pelan, seolah tidak berharap akan jawaban. Maniknya sayu melirik ke langit biru di jendela.

Allie justru tersenyum simpul. Perlahan, tangan putihnya meraih puncak kepala Ren.

"Tentu, aku yakin kau bisa melihatnya nanti. Setelah itu katakanlah apa itu indah atau tidak."

Dengan lembut ia mengusap surai putih Sang bocah. Ren hanya meresponnya dengan anggukan, tidak ingin berkomentar banyak.

Mulut kecilnya bergerak pelan, tapi jelas ia mengatakan...

"...aku menantikannya."

Senyum Allie semakin mengembang mendengarnya. Hampir saja ia memeluk Ren karena senang.

Tentu saja ia tetap harus menjaga sikap, jangan lupa ia tetap maid disini.

"Baiklah, kalau begitu waktunya tidur Ren. Ayo." Menutup pembicaraan, Allie berdiri. Tangannya menggandeng tangan mungil Ren ke pintu.

Ren mengikuti tanpa berkomentar. Disaat ia sampai di mulut pintu, sesuatu seperti menghentikan kakinya.

Bola matanya mengarah ke lembar novel yang masih terbuka. Segaris cahaya menerangi barisan yang tertulis dengan besar disana.

"Dunia yang damai..."

Setelah sedetik yang terasa sangat lama. Tangan Allie kembali menarik tangan Ren, menyadarkannya kembali dari alamnya.

Ia berpaling lalu melanjutkan langkahnya, keluar dari gudang ilmu tempat keseharian dan impiannya berasal.

Dan itulah, awal mula impian kecil yang membawa perubahan ke dunia...

[Prologue : End]

Oculus ex Horis : Ein Kind Des KriegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang