Catatan Pertama : Kenangan

23 2 4
                                    

Cangkir teh hangat mulai dingin di meja kerja Ren dikala mentari merangkak turun dari bukit. Tepatnya jam 5 sore, lentera kecil di samping mejanya mulai berhenti menari-nari, meminta untuk diganti. Ruangan baca kecilnya diselimuti tirai gelap yang semakin besar setiap detiknya. Untung lenteranya masih hidup.

Ren memakai kemeja kecil di badannya, terlihat kebesaran, tapi sejak awal memang susah membuat baju seukuran badannya, apalagi kemeja. Penampilannya tidak sesuai umurnya, lebih seperti bapak-bapak kerja dikala waktu deadline mengejar, rapi tapi dengan mata yang sudah seperti kantung baju.

Perpustakaan kecil itu juga tidak lebih baik, layaknya kapal pecah, buku-buku berserakan di lantai seperti dihantam gempa. Tentu saja, tidak perlu lama untuk membuat kekacauan ini. Mungkin sejak pagi? Buku-buku tinggi itu terlalu menyusahkan untuk diambil melalui tangga setiap kali. Jadi ya, jatuhkan saja.

"Tuan-- ekhem, Ren ?"
Pancaran cahaya menyelinap masuk, suara lembut yang sangat khas diiringi aroma makanan memenuhi ruangan dari celah pintu yang terbuka. Siapa lagi kalau bukan pelayan rumahnya, Allie. Tidak mungkin ia salah mengenali gadis dengan gaun maid biru toska di hadapannya.

"Makanan sudah siap, apa kau ingin makan sekarang ?"
Ada sedikit kekhawatiran di nada Allie. Cangkir penuh di samping Ren belum disentuh. Padahal tadi siang asap masih mengepul di cangkir tersebut. Bukannya itu tanda ia belum mengisi perutnya lagi sejak siang? Mengingat makanan tadi siang hanya beberapa lapis roti, aneh jika dia tidak kelaparan.

"Aku akan makan, setelah bab ini selesai." Acuh, Ren hanya memutar halaman buku di depannya. Maniknya fokus ke buku seolah maid di hadapannya tidak ada. Pilihan yang salah.

Helaan nafas keluar dari mulut Allie. Menapakkan kakinya ke dalam, Allie menyambar buku Ren dan menutupnya dengan keras. Ketika Ren melirik ke sampingnya, keringat dingin membanjiri pelipisnya, mata Allie sudah tertuju kepadanya seperti belati.

"Tidak boleh, mukamu pucat, jangan menunda makan hanya karena kau asik membaca."

"U-uwah-- p-pembatasnya..." Ren tidak bisa berkutik. Tangannya ditarik, dan wajah Allie yang terlipat bukanlah tanda yang bagus. Tangannya hanya bisa melambai-lambai ke bukunya yang mulai menjauh. Ah, menyusahkan umpatnya dalam hati.

Bagi Ren, Allie sudah seperti ibu rumah tangga. Tidak ada satupun hal di rumah ini yang tidak dikerjakan Allie—tentu karena hanya ada dia dan Allie.

Ren sendiri tidak banyak protes dikala ia disuruh seperti ini. Ia tidak bisa membantu selain hal kecil, keterbatasan sebagai albino, dan ukuran tubuhnya tidak mendukung sedikitpun. Setidaknya menurut akan meringankan beban Allie.

"Ah..." Di tengah lorong langkahnya berhenti. Maniknya mengarah ke bingkai tua yang ada di ruang keluarga. Allie yang sejak tadi menarik tangan Ren mau tidak mau berhenti dan menatap ke arah Ren.

"Allie, besok waktunya ziarah."
Lepas dari genggaman Allie, Ren berjalan pelan ke arah bingkai yang ditangkap oleh maniknya—sebuah foto ayah dan ibunya.

Kejadiannya 3 tahun lalu, ibu Ren yang terkenal sebagai pahlawan terbunuh dalam perang, hanya itu laporan yang tersisa, tidak ada saksi mata ataupun laporan lain yang menguatkan.

Ayahnya beberapa bulan kemudian mengurung dirinya di ruang bawah tanah rumah, pintunya tertutup rapat di bagian tengah rumah, tidak pernah keluar dari sana setelah hari itu. Allie sesekali memberikan makanan ke bawah sana, alih-alih membujuk ayah Ren untuk naik. Tapi ayah Ren tetap keras kepala melanjutkan eksperimennya, seperti ilmuwan gila yang kecanduan ilmu pengetahuan.

Tidak ada perubahan di wajah mungil Ren, tapi bukan berarti ia tidak sedih. Kadang terpikir bagaimana rasanya mempunyai keluarga biasa, tapi waktu tidak akan berputar mundur. Ia masih balita, tidak lebih, tapi pikirannya sudah dipaksa untuk menerima kenyataan pahit ini.

"Akan aku pastikan semuanya siap esok hari."
Allie tidak mendekat sedikitpun, berdiri mematung karena ia sendiri tidak kuat melihatnya.

Rasanya sesak, rasa bersalah atas kejadian yang tidak bisa ia ubah belum hilang. Gaunnya ia remas dengan keras. Hari itu ia tidak bisa melakukan apa apa dan sembunyi. Mengurus Ren dan ziarah ini, hanya itu yang ia bisa lakukan untuk menebusnya.

"Aku akan makan lebih malam, tolong simpan makan malamnya."
Ren tidak melihat, tapi ia bisa mendengar gaun Allie yang tersibak dan langkah sepatu yang perlahan memudar. Suasana berubah sunyi seketika.

Sekarang ia hanya sendiri, detik demi detik hanya dipenuhi suara dentuman jam antik. Pikirannya bercampur aduk dengan memori beberapa tahun lalu. Tidak ada yang bisa diingat, hanya ada Allie disana, ibunya telah meninggal saat ia lahir.

Apa benar hanya sebatas ini saja? Apa tidak ada cara untuk membujuk ayah?

Ia tidak membenci ayahnya, masih belum, ia tidak tau apa apa. Bagian kecil di hatinya masih ingin ayahnya kembali untuk membangun lagi keluarga kecil ini.

Tidak, tidak. Berpikir seperti ini tidak akan mengubah apa apa. Kakinya menapak keluar dari ruang keluarga, mengarah kembali ke perpustakaan kecilnya. Ini pilihan terbaik. Acuh atas situasinya dan bersyukur semuanya masih normal. Ia tidak akan mendapat kesempatan dua kali.

Tapi beberapa langkah kemudian, dan hal selanjutnya yang ia lihat langsung membuatnya bimbang.

"..?"
Yang sedang ia perhatikan adalah pintu besar menuju ke ruang bawah tanah ayahnya. Sebuah celah kecil menganga. Semenit yang lalu pintu itu sangat rapat, hanya Allie dan ayahnya yang bisa masuk. Apa pintunya dijebol?

Tanpa ia sadari kaki kecilnya sudah menapak ke depan pintu. Pintu itu tiga kali lipat badannya, kayunya melapuk setelah bertahun-tahun tidak dicat, bau mahoni tua tercium dari dekat.

Pelan-pelan tangan putihnya membuka pintu tersebut, sedikit, sedikit, takut ada sesuatu melompat keluar dari dalamnya. Tapi yang ia lihat, hanyalah deretan tangga tanpa ujung ke bawah. Kegelapan tanpa dasar, seperti memintanya untuk terjun kesana.

"Apa yang ada dibawah sana..?"

Oculus ex Horis : Ein Kind Des KriegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang