Catatan Kedua : Serpihan Neraka

23 3 5
                                    

Baru sedetik lalu ia berkata tidak apa. Baru sedetik lalu juga ia berkata acuhkan saja. Baru sedetik yang lalu pula ia ingin kembali ke pangkuan jendela dunia miliknya.

Tapi apa yang dia lakukan sekarang? Menuruni tangga gelap yang seperti tanpa ujung, tanpa tujuan. Pikiran kritisnya telah sirna. Rasa penasaran telah menelan dirinya. Ia sudah tidak bisa menghentikan kakinya. Bahkan ketakutan tunduk dibawah rasa penasarannya.

Sekilas memang tanpa ujung, ada beberapa belokan yang tidak terduga, anak tangga pun mulai berbaris lebih lurus, anehnya ia masih bisa melihat. Setelah meraba dinding beberapa kali, ia baru sadar ada cahaya remang-remang berkelipan di dinding.

Fosfor, senyawa ini banyak terdapat di alam, dalam gigi dan tulang kita setidaknya ada beberapa gram, ini juga yang memberikan cahaya untuk Ren menapak sekarang. Seperti rasi bintang di angkasa. Kecil, tapi cukup untuk tidak membuatnya terjatuh.

Kakinya menggema setiap kali ia menapak lebih jauh, kelipan kecil yang mengelilinginya mulai berkurang seiring waktu. Suasana pun semakin hening, sudah berapa jauh dari atas sekarang? Belum ada tanda sedikitpun kakinya akan bisa beristirahat, dan kakinya mulai lemas. Sekilas ada pikiran untuk kembali, tapi tidak, dia sudah terlalu jauh, tidak mungkin mundur sekarang. Aku harus tau.

Tap

Ren berhenti sejenak, semburat cahaya menerangi dinding di belokan selanjutnya. Itu pasti ujungnya. Ren menghela nafas, lalu menaikkan tempo lajunya tanpa ragu, hanya untuk melihat sesuatu yang membuat matanya terbelakak lebar.

Di bawah sana bukanlah sebuah gudang, atau ruang dengan satu kasur nyaman untuk tidur, ini bahkan bukan 'ruangan kecil' sama sekali.

Laboratorium, Ren tidak pernah kesana, tapi bau dan suasana ini mengatakannya. Senyawa kimia berada dimana mana, tulisan merayap dari kertas, ke papan tulis, bahkan dinding abu-abu pucat di sampingnya tidak luput.

Tidak pernah sekalipun ia melihat peralatan yang bertebaran di ruangan ini. Tabung raksasa berisi plasma? tabung reaksi warna warni? peralatan listrik seukuran kulkas? Yang pastinya ia tidak melewati portal waktu barusan.

Sambil berjalan pelan ke dalam, matanya berkali-kali berkedip, tidak percaya sedikitpun. Jika dibandingkan dengan rumahnya, tempat ini pasti dua kali lipatnya. Mungkin ini perasaan Columbus saat menemukan benua baru di luar sana. Tapi jika peralatan, bahan kimia, dan lantai yang ia injak sekarang nyata, maka siapa pembuatnya?

Ren terperanjat, ada suara kaki mendekat. Ia bahkan belum sempat menyentuh apapun. Masih jauh, tapi itu berhasil membuat Ren spontan bersembunyi ke belakang tabung raksasa di sampingnya. Suaranya semakin dekat. Ren hanya diam, mulutnya tertutup rapat. Tidak henti-hentinya alas sepatu itu terdengar, lebih dekat, sangat dekat, sampai terhenti di tabung di dekatnya.

Nafasnya tertahan, matanya berusaha menyelidiki sosok tersebut, celah kecil di antara tabung raksasa menampakkan lelaki jangkung di hadapannya. Rambutnya seperti kawat hitam kusut, menutupi telinga sampai ke pundaknya. Matanya sayu menatap kedepan, bibirnya tipis melengkung ke bawah. Posturnya yang sedikit bungkuk tertutup jas lab sepanjang dengkul. Celana hitamnya kotor, dengan beberapa bercak yang mengeluarkan bau bahan kimia. Dia khas seperti gelandangan. Tapi Ren tau, orang di depan ini, adalah ayahnya.

Mungkin ada perubahan, terutama di rambut panjangnya yang kusut dan kulit putih bersihnya yang menghitam. Tapi ia tidak heran, tempat ini tidak layak untuk ditinggali, lebih seperti kandang. Ugh, udaranya saja seperti bau nitrit. Tidak terbayang eksperimen macam apa yang dia lakukan disini.

Ren belum berhenti, ia terus mencoba untuk menyelidikinya lebih lama. Tabung sempat terbuka beberapa detik yang lalu, dan dari pandangannya, ia melihat sosok wanita tanpa busana di tangan ayahnya.

"Wanita..?"
Surai coklat yang melambai-lambai di lantai sejak tadi membuat Ren gelisah. Ia mencoba melihat, tapi wajah wanita tersebut terhalang pundak ayahnya yang tinggi. Ren semakin gelisah ketika ayahnya menjauh membawa wanita tersebut. Tanpa pikir panjang, Ren membuntuti dari bawah deretan meja di sampingnya. Berjongkok dan merangkak dengan lihai dari satu meja ke meja lainnya. Sampai ia berhenti di tempat ayahnya berhenti, tepat di atas sebuah lingkaran sihir raksasa.

Lingkaran dengan diameter dua meter terhampar di hadapannya, lengkap dengan berbagai tulisan kuno dan latin yang ia tidak kenal. Di atasnya terdapat beberapa barang berbentuk bubuk, lilin, dan, tubuh wanita yang baru saja diletakkan ayahnya. Persis seperti sebuah sesembahan.

Semakin susah menyelidiki wajah wanita yang terbaring disana, lebih dekat dan ia pasti akan ketauan. Sedangkan Ayah Ren sendiri mulai bergumam, kakinya mundur beberapa langkah, dan merobek ujung jempolnya dengan gigi taring sampai darah menetes ke lingkaran putih tersebut.

"...Steigen."

Sekejap, cahaya merah terang memenuhi ruangan bagai lampu sorot. Lingkaran tersebut bercahaya, lantai sampai lampu gantung di atasnya bergetar hebat, hawa terasa membeku saat beberapa hembusan angin transparan meniup telinga dan badan Ren.

Semua itu mengarah ke lingkaran tersebut, dan tidak sedikitpun mata si kecil berkedip melihatnya. Dan ini adalah pertama kali, Ren melihat hal tidak logis pertama di hidupnya, Alchemy.

Cahaya pun mulai redup seiring waktu dan keadaan kembali hening. Samar, terlihat sekarang ada dua sosok yang berdiri di lingkaran, mata Ren masih belum pulih untuk memastikan yang mana ayahnya.

"Berhasil..."

Kedua sosok disana hanya mematung membuat Ren ikut terdiam, pandangannya mulai kembali perlahan, ia melihat ayahnya sekilas, dengan wajah terkejut seperti melihat hantu, dan wanita bersurai coklat tadi berdiri di hadapannya. Saat Ren mengarahkan pandangannya ke wajah sang wanita, wajah Ren mendadak pucat, jantungnya serasa melompat.

"Karen...kau benar benar kembali."

Air mata Ayah Ren langsung menetes, deras sampai pipinya basah dengan air mata. Tangannya yang kokoh menggapai pipi wanita tersebut dengan lembut. Sedangkan sang wanita hanya menatapnya kosong.

Ren hanya diam, mulut kecilnya tercegat. Ada sesuatu yang ingin ia suarakan, sangat keras sampai hatinya meledak-ledak. Melihat wajah di hadapannya, rasa takut dan rindu tidak henti-hentinya memuncak. Mulutnya bergerak dengan ragu, sangat pelan, sampai sebuah bisikan kecil melayang dari bibirnya.

"I...bu?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Oculus ex Horis : Ein Kind Des KriegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang