Enam

60.9K 5K 39
                                    

Aktifitas Lara pagi ini berbeda dari sebelumnya. Ia yang terbiasa berkutat di dapur dini hari sebelum subuh, kali ini hanya mampu terbaring di atas kasur usang kamarnya yang semakin hari semakin terasa keras.

Adrian, meringkuk nyaman di sampingnya masih enggan membuka mata. Sepertinya hari ini Lara akan ijin tidak masuk kerja. Nanti jika hari sudah mulai beranjak terang, ia akan menghubungi Vely untuk meminta ijin. Ia tidak mau jika ketidak hadirannya di tempat kerja akan mengurangi gajinya di awal bulan depan nanti.

Sedari langit berubah semakin gelap kemudian hari berganti, Lara tak sekalipun mampu memejamkan matanya. Terlalu banyak hal yang bersarang di kepalanya.

Bagaimana hidupnya setelah ini? Apakah ia akan baik-baik saja. Ataukah ia harus pergi meninggalkan kota ini seperti saat ia meninggalkan kota tempat ia lahir dan di besarkan?

Lalu jika ia pergi, ia akan pergi kemana lagi? Bagaimana dengan Adrian? Apa ia bisa beradaptasi di lingkungan barunya nanti? Bagaimana juga dengan dirinya? Apakah ia bisa mencukupi kebutuhan mereka berdua?

Hah... Tentu sangat berat jika ia harus meninggalkan kota ini. Ia sudah cukup nyaman tinggal di sini. Pekerjaan, teman, keluarga, juga lingkungan yang bersahabat. Ia tak mungkin bisa mendapatkannya di tempat lain, bahkan di kota kelahirannya sendiri, Jakarta.

Hingga dini hari, akhirnya Larapun mendapatkan satu keputusan. Ia tak akan kemana-mana. Ia tak akan pergi meninggalkan kota ini. Ia akan menghadapi hantu masa lalunya dengan kepala terangkat. Ya, ia akan melakukannya, ia tak akan menghindar lagi.

Terlalu memikirkan permasalahannya akhirnya membuat Lara jatuh tertidur saat hari mulai terang. Ia nyaris tak terbangun jika saja Adrian yang merengek membangunkannya tak meminta segera mandi karena takut terlambat.

Tubuh Lara yang terasa lemas dan kulitnya yang begitu perih akibat tersiram kuah soto dan teh panas kemarin masih belum pulih begitu saja. Perlahan ditegakkannya tubuhnya. Sedikit berjengit saat kulitnya yang perih tersentuh baju yang ia kenakan.

Segera setelah terbangun, dilangkahkan kakinya ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuk Adrian dan dirinya. Adrian juga sudah mengikuti langkah kaki Lara menuju dapur dan melesat kekamar mandi yang bersebelahan dengan dapur.

Bocah itu sudah mampu memandikan dirinya sendiri. Usia lima tahun ia sudah begitu mandiri, dan jarang sekali merepotkan Lara.

Hampir pukul tujuh saat Vino dan mamanya, Mariska menjemput Adrian ke rumah Lara. Lara memang menghubungi Mariska dan menitipkan Adrian kepadanya. Ia tak akan mampu mengantarkan Adrian kesekolahnya sendiri. Tubuhnya masih begitu lemas.

***
"Vel, kenapa sampai sesiang ini tidak ada apapun di meja saya? Kopinya juga begitu hambar?" Bhisma segera melontarkan pertanyaan saat Vely memasuki ruangan Bhisma untuk meminta tanda tangan.

"Maaf, pak. Mbak Lara hari ini tidak masuk. Masih sakit karena tersiram air panas kemarin," Vely menjelaskan sambil menunduk.

"Memangnya apa hubungannya kue dan minuman saya dengan tidak masuknya perempuan itu?" Bhisma tak akan mau menyebut nama perempuan bermuka dua itu.

"Kue yang bapak nikmati setiap pagi untuk sarapan adalah buatan mbak Lara pak. Dia setiap hari menitipkan kue buatannya di kantin kantor kemudian beberapa di hidangkan di meja bapak. Kopi dan teh yang bapak minum juga buatan Mbak Lara."

Bhisma seketika mendongak setelah-- begitu lama menekuri kertas-kertas di hadapannya--mendengar penjelasan panjang Vely. Ia tak menyangka perempuan itu sampai berjualan kue.

"Bukankah dia office girl disini? Sejak kapan dia masuk di kantor ini?" Bhisma tak mampu menahan keingin tahuannya.

"Iya pak. Mbak Lara memang OG di sini. Dia bekerja sekitar dua tahun yang lalu setelah saya masuk beberapa bulan." Vely sedikit keheranan mendengar pertanyaan beruntun sang bos besar.

KELAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang