Prolog: Mimpi

65 10 15
                                    

Embun perlahan membuka mata, cahaya merah muda di langit memaksa ia terbangun, duduk di sebuah bangku kayu panjang hitam di tengah pulau luas yang damai, pepohonan dan padang rumput menghijau, di hadapannya terbentang lautan membiru. Angin berembus lembut memainkan rambutnya, membuatnya menyelipkan rambut yang tertiup angin ke sela telinga.

"Tempat ini lagi", pikir Embun. Ia tau ini hanya mimpi. Tapi entah kenapa tubuhnya seperti dikuasai oleh sesuatu, ia tidak bisa menggerakan bebas tubuhnya. Kali ini Embun berperan lagi dalam mimpi yang sama, berulang-ulang, entah ini sudah kali ke berapa. Seperti fragmen film yang di putar berulang-ulang, dan ia adalah pemeran sekaligus sutradara yang sudah hapal betul bagaimana jalan cerita.

Beberapa lama duduk di bangku kayu, menikmati pemandangan yang sudah ia hafal betul, tapi jujur, berapa kalipun ia menikmatinya, hal ini tak pernah membosankan baginya. Embun menyukainya, ini sangat indah. Menenangkan. Seekor burung biru muda terbang mendekati Embun, semakin dekat, Embun menjulurkan tangan. Burung itu hinggap di telapak tangan Embun. Berdiam di tangannya, Burung menggerakkan kepala patah-patah. Embun tersenyum, sedikit bersuara. Untuk setelahnya dia seperti mengingat sesuatu.

"Sebentar lagi ia datang...", Embun membatin.

Kedatangan Burung Biru sudah tidak asing. Menandakan beberapa saat lagi seseorang itu akan datang. Seperti biasa, tiba-tiba entah darimana aura putih seperti kabut muncul, beberapa lama mengumpul membentuk siluet. Seorang pemuda - setidaknya begitu pikir Embun, karena ia hanya bisa mendengar suara pemuda yang datang dari belakang itu, tanpa bisa menolehkan kepalanya sebab tidak bisa dikendalikan-berjalan pelan mendekati Embun. Suara langkah kaki menginjak rumput terdengar pelan di telinga Embun. Ia menolehkan mata hingga ke sudut yang mampu di jangkaunya, tapi tetap saja ia tak bisa melihat dengan jelas siapa pemuda di belakangnya.

"Apa kabar putri Embun?" suara lembut pemuda menyapa dengan ramah, lesung pipi merekah di pipi putihnya tanpa bisa dilihat Embun.

Embun mengalihkan pandangannya ke depan, memejamkan mata. Menarik napas pelan. Mendengus.

"Baik", Embun menjawab singkat. Mencoba mengatur intonasi senormal mungkin.

"Aku? Aku selalu baik Putri", pemuda mencoba bergurau. Masih dengan senyuman yang sama.

"Aku tidak menanya kabarmu. Lagipula, siapa yang mau menyapa orang asing yang selalu datang mengganggu mimpi orang. Dan yang paling penting, kau selalu menyapa dengan memanggil namaku, darimana kau tau namaku?" Embun mulai kesal, cemberut.

"Seperti biasa, kamu selalu mengawali pertemuan kita dengan bertanya Putri. Baik, aku yang selalu ramah akan mencoba menjawab Putri. Pertama, sudah kukatakan berapa kali, ini bukan mimpi Putri, inilah duniamu. Suatu saat, entah kapan, kamu akan mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu ini. Lalu, kedua, kenapa aku tau namamu, kau sendiri yang memberitahuku." Pemuda menjelaskan, lesung pipinya semakin dalam merekah.

"Aku? Ka-kapan aku memberitahu namaku? Juga, aduh... aku tidak mengerti dengan dunia apa yang kau maksud itu." Embun berpikir, mengerutkan kening. Ia bingung, dia belum pernah menyebut namanya kepada pemuda ini.

"Bukan-bukan, kau memang tak memberitahuku secara langsung. Tapi aku tahu dari...."

Hai, setelah beberapa kali bertemu di dunia ini, aku baru tau, kalau ternyata yang menyebabkan Putri tidak bisa bergerak bebas adalah ini. Ia belum mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Jadi karena suatu hal ia dapat datang ke dunia ini, dan bukan sepenuhnya kehendaknya. Aku belum bisa mengatakan ini, kenapa aku tahu namanya adalah karena itu, Embun itu.

Pemuda menyadari sesuatu, ia buru-buru berkilah "oh, bu-bukan apa-apa, aku hanya menebak Putri. Ya, begitulah, haha...." Suaranya patah-patah, ia cemas. Berharap Embun tidak mencurigainya.

"Oh, ya sudah. Terlepas dari semua keasingan ini, juga kau, orang aneh yang berbicara tentang dunia apalah itu, aku mau menikmati mimpiku ini. Jangan menggangguku." Embun berkata ketus.

Cukup di dunia nyata saja membuatnya lelah, di sini, di mimpinya, ia ingin beristirahat. Sebentar saja. Sampai hujan yang sudah di hafalnya turun dari langit memerah mudah pekat, tanda senja akan muncul di dunia mimpinya ini. Saat yang di nantinya di ujung mimpi ini.

"Baiklah Putri. Dan izinkan aku menemanimu sampai saat yang kau tunggu itu tiba."

"Terserah, bukannya saat kemarin-kemarin kuusir, kau juga selalu diam di belakang sana. Kau pikir aku tak tau, orang asing."

Pemuda hanya membalas tertawa. Itu benar.

Pemuda berdiri di belakang bangku kayu hitam. Tangannya memegang bagian bangku di dekat kepala Embun. Aura putih berembus sedikit di sekitar tangannya, dan angin meniupnya ke sela telinga Embun. Embun merasakan sedikit dingin, dan rambutnya menjuntai lepas. Ia merapikannya tanpa bicara. Burung biru muda terbang dari tangan embun, ia lebih sensitif daripada Embun. Terbang ke langit merah muda yang semakin pekat. Sebentar lagi hujan turun.

Persis tetesan pertama turun, dan jatuh lembut di kening Embun yang menengadah, tetesan lain terburu-buru ingin melakukan yang sama. Hati Embun berdesir senang, entah kenapa. Cuma di sini, bulir hujan hanya bermain-main di sekitar tubuh Embun, tidak membasahinya. Juga pemuda, ia tak henti tersenyum. Aura putih berembus lebih pekat di sekitarnya, membuat bulir hujan yang mengarah padanya lebih dulu jatuh sebagai salju. Embun dan pemuda, sama-sama memejamkan mata tanpa saling tahu.

Hanya hitungan beberapa saat, kebahagiaan sirna. Matahari bercahaya merah muda gelap, membuat air hujan menguap tanpa bekas. Embun dan pemuda terkesiap, lebih karena kaget dan terkejut, kebahagian mereka terhenti tiba-tiba. Di atas sana, di depan matahari yang bercahaya, siluet gelap terbang ke arah mereka. Lautan mendidih seiring dilewati siluet itu. Sebelum mencapai mereka, siluet lebih dulu mengibaskan tangannya. Angin tiba-tiba panas, membara, mengarah ke Embun dan pemuda. Tepat saat kibasan itu menyentuh Embun dan pemuda, mereka memecah menjadi butiran-butiran berkilau. Lalu selanjutnya, menguap hilang.

***

"Aduh, aw...." Embun mengaduh, ia tertumpah minuman panas oleh pelayan kereta. Membuatnya terbangun.

"Maaf mbak, tidak sengaja. Saya melamun. Panas tidak? Aduh, basah, saya lap ya." Pelayan berseru panik meminta maaf.

"Tidak usah. Saya tidak apa-apa. Kamu cuma perlu minta maaf karena mengganggu tidurku." Canda Embun.

"Eh...."

"Haha, bercanda, nanti juga kering sendiri. Di depan stasiun pemberhentian ya, saya turun di sana."

"Eh...? I-iya mbak, sebentar lagi stasiun pemberhentian." Pelayan membalas canggung.

Entah Embun harus marah atau berterima kasih pada pelayan itu. Tapi tak apa-apa, lupakan saja. Lihat, ada yang lebih penting, di luar jendela kereta, matahari baru muncul di balik awan. Masih pagi. Dedaunan memeluk basah sisa embun. Sepertinya baru hujan. Sebentar lagi Embun sampai di kota tujuannya, kota tempat tinggal Bibinya, adik Papa. Embun pindah sekolah ke kota baru. Berharap semoga di sekolah baru ini, ia bisa hidup lebih nyaman, lebih normal. Sehingga Mama tak perlu mencemaskannya lagi.

NeervanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang