I'll

100 17 3
                                    

"Jinyoung-ah ?"

"Eoh, ini aku. Apa kau lupa padaku ? Aish! Yang benar saja. Awas sa--"

"Jinyoung-ah.. hiks.."

"Jihoon-- Jihoon-ah kau menangis ? Kenapa ? Maaf oke, aku minta maaf. Aku hanya bercanda."

Entah perasaan apa yang Jihoon rasakan saat ini.

Senang, sedih, panik dan bersyukur ketika ia tahu kalau semua yang ia alami hanya sebuah mimpi.

Mimpi panjang yang mampu membuat hatinya serasa menaiki roller coaster.

"Jihoon-ah ? Kau baik-baik saja kan ?"

Jihoon mengusap air matanya, "ya, aku baik-baik saja."

"Lalu kenapa kau menangis ?"

"Aku ? Menangis ?"

"Eoh, aku mendengar suara isakanmu barusan."

Jihoon tersenyum tanpa sang penelepon ketahui, "tidak, aku tidak menangis."

"Kau yakin ?"

"Eoh, aku yakin."

Jihoon terdiam untuk beberapa saat dan beberapa saat kemudian ia mengingat sesuatu.

"Jinyoung-ah."

"Hmm ?"

"Kau berada dimana sekarang ?"

"Rumah, oh ya, sebentar lagi aku akan kerumah mu, ak--"

"Jangan!"

"Huh ? Kenapa ?"

Iya aku harus yang menemuinya, aku tidak ingin mimpi itu menjadi kenyataan. Batin Jihoon.

"Kau harus tetap di rumah, biar aku yang ke rumahmu."

"Tapi Jihoon-ah .."

Tuutt tuutt

Jihoon langsung mematikan sambungan telepon dan berlari keluar kamarnya. Setelah mengambil jaket tebal dan handphone nya, Jihoon bergegas pergi menuju rumah Jinyoung.

Dan lagi-lagi ia merasakan perasaan seperti ini.

Rasanya seperti de javu.

Perasaan berdebar yang sulit ia ungkapkan, sama seperti mimpinya.

Tetapi Jihoon tetap berhati-hati saat ia melewati jalanan ramai karena mimpinya itu yang membuatnya seakan pernah hidup untuk kedua kalinya.

Sampai akhirnya ia sampai di sebuah rumah minimalis yang sudah sering ia kunjungi.

Nafas Jihoon terasa berat karena ia harus berlari menuju ke rumah Jinyoung dan sekarang ia tengah menetralkan kembali nafasnya sambil berjalan masuk ke halaman.

Jihoon menekan bel rumah Jinyoung yang berada di samping kanan pintu bercat putih di depannya.

Jantungnya masih berdetak dengan cepat, namun bukan karena efek lari tetapi karena seseorang yang menjadi alasannya untuk hidup.

Pintu bercat putih itu terbuka dan menampilkan seorang laki-laki tampan dengan rambut hitamnya dan ekspresi terkejut nya.

"Jihoon-ah, aku kira kau--"

Ucapannya terpotong seketika karena tiba-tiba ia merasa tubuhnya tengah dipeluk erat oleh sosok manis di depannya ini.

Ya, Jihoon langsung menerjang tubuh Jinyoung dan memeluknya erat dan jangan lupakan air mata yang kembali turun.

"Jihoon-ah.."

Jihoon tidak menjawab panggilan Jinyoung karena ia terlalu sibuk untuk menata perasaannya saat ini.

Aku bisa melihatnya.

Aku bisa menyentuhnya.

Aku bisa memeluknya.

Aku bisa mendengar suaranya.

Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk tidak membuat mimpi itu menjadi kenyataan.

Tangisan Jihoon semakin terdengar kencang dan itu membuat Jinyoung bingung.

Akhirnya Jinyoung mencoba untuk memberikana sedikit jarak agar ia dapat melihat Jihoon dan menenangkannya.

"Hei hei Jihoon-ah, kenapa ? Kenapa kau menangis ?"

Jihoon tidak menjawab, ia hanya diam sambil mengeratkan genggaman tangan nya di baju Jinyoung.

"Katakan padaku, apa ada yang menyakitimu ?"

Jihoon menggeleng.

"Apa kau sakit ? Apa kau terluka ?"

Jihoon kembali menggeleng.

"Apa kau kehilangan sesuatu ?"

Ya, dan itu kau.

Jihoon tidak menjawab, tapi ia kembali memeluk Jinyoung dengan erat seakan ia takut akan kehilangan Jinyoung lagi.

Jinyoung yang masih dilanda kebingungan akhirnya memutuskan untuk berhenti bertanya. Dan sekarang yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk Jihoon dan menenangkannya.

"Tak apa, aku disini. Menangislah, aku ada disini."

Aku mohon Tuhan, jangan kau ambil lagi dia meski itu hanya mimpi, tapi itu sangat menyakitkan.

Aku akan menjaganya, aku janji.

Aku akan selalu berada disampingnya, aku janji.

Aku akan selalu mencintai nya, aku janji.

Tapi aku mohon untuk sekali dalam hidupku, aku mohon jangan kau ambil lagi dia.

"Aku mencintaimu Jinyoung-ah, sangat mencintai mu."

Pernyataan yang sangat mengejutkan bagi Jinyoung dan itu tidak bisa ia hindari dengan reaksi yang biasa saja.

"Kau-- kau bilang apa tadi ?"

Jihoon melepaskan pelukannya tetapi tidak sepenuhnya.

Ia mendongakkan kepalanya dan menatap tepat di mata tajam milik Jinyoung.

"Aku mencintaimu Bae Jinyoung. Jangan tinggalkan aku, aku mohon."

Jinyoung tersenyum lalu tanpa seijin empunya, ia mencium Jihoon dengan kecupan-kecupan hangat.

"Tanpa kau mintapun, aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku sudah berjanji bukan, jadi kau jangan khawatir."

Jinyoung kembali menarik Jihoon keadalam dekapannya.

"Dan aku lebih mencintaimu Park Jihoon."




Akhirnya selesai
Baru ngecek ternyata work ini udah nganggur setahun lebih hehe
Maaf 🙏
Kalau bukan karena ada yg masih baca dan sempet"nya komen, mungkin aku gabakal ngelarin ini work, gomawo 😊😊

Dan berakhir dengan indah kann
Hehe

Makasih buat yg udah baca + votement
Aishiteruyo~ 💞

To siders : thx :)

Gamsahamnida *bow

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sequel : Time spent walking through memories [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang