1. Regret

86.5K 11.2K 633
                                    

Untuk seseorang yang bekerja di dunia kreatif, ketenangan pikiran itu adalah sebuah keharusan. Dengan begitu, ide-ide brilian yang mengguncang jagat industri bisa muncul sehingga konten-konten berkualitas bisa lahir. Kalau pikiran kacau, inspirasi mampet, maka selesailah semua urusan. Karena itu, banyak bos atau atasan yang membiarkan tim kreatif bekerja sesuai caranya sendiri. Mau kerja di kantor, di kubikel, di kantin, di rumah, atau di mana pun tak masalah. Yang penting kerjaan beres, klien senang, lalu bonus turun.

Saat mengoceh panjang lebar soal hal ini, aku harusnya tahu kalau pikiran yang kacau akan membuatku lembur di kantor karena kerjaan tak kunjung selesai. Padahal apa sih? Aku hanya sedang membuat banner untuk acara acara beauty class bulan depan. Sebuah event hasil kerjasama UrbanPop dengan sebuah brand makeup. Sebuah banner sederhana yang seharusnya mudah. Tapi sudah mulai kutelaah briefnya sejak pukul 3 sore tadi sampai sekarang aku belum tahu mau dibikin seperti apa. Padahal jam kerja sudah selesai lima belas menit yang lalu.

Konsentrasiku buyar lagi saat ponselku berbunyi. Nama Randu terpampang di layar, membuat moodku yang sudah buruk jadi terjun bebas. Kutatap ponselku dengan sengit, seolah benda itulah yang menyebabkan segala jenis kelaparan dan kemiskinan di dunia. Benda yang seharusnya tak pernah ada sehingga perdamaian dunia bisa tercipta. Karena hanya kulihati saja tanpa minat untuk menjawab, panggilan itu berhenti dengan sendirinya.

Tapi tidak lama. Karena kemudian suara notifikasi chat WhatsApp muncul berentetan seperti cara chat Anom ketika aku melakukan kesalahan. Aku nggak bodoh, dan aku nggak mau Randu tahu aku sudah membaca pesannya. Jadi aku mematikan koneksi internet terlebih dahulu sebelum membaca pesan dari pacarku itu. Ternyata, Randu sudah mengirim pesan sejak tadi. Tapi aku terlalu larut membaca brief (dan mengurutkan benang-benang kusut di kepalaku) untuk mengecek ponselku.

Randu Anangga: Jd nonton kan?

Astaga. Aku lupa kami janjian nonton film The Battle of Alita sore ini.

Randu Anangga: Hai
Randu Anangga: Halo
Randu Anangga: Masih kerja ya?
Randu Anangga: Aku tngu di kantin ya
Randu Anangga: Weekend lho ini
Randu Anangga: Selesai jamber kira2?

Tanpa sadar aku mendengus keras. Baru juga menunggu sebentar sudah ribut. Hah! Harusnya aku tahu kalau Randu memang tidak tulus. Lagian, kok bisa-bisanya aku bilang iya saat Randu mengajakku pacaran padahal kami baru kenal tiga minggu?? Rasanya dari tadi pikiranku nggak berhenti berpikir "Hey Ganisia Abhinanda, biasanya kamu nggak sestupid ini!"

Aku bukan orang yang ceroboh seperti itu. Aku bukan orang yang impulsif dan melakukan segala sesuatu tanpa pikir panjang. Aku orang yang paranoid dan mudah curiga terhadap segala sesuatu. Bagaimana ceritanya Randu bisa lolos dari insting waspadaku sih??

"Bhi, belum kelar yang banner Beautica?"

Aku mendongak, lalu menemukan pria berambut gondrong yang kadang melihatnya saja sudah membuatku migrain. Meet my boss, Anom, senior graphic designer UrbanPop. Si mas-mas gondrong yang cukup baik hati tapi agak annoying.

"Belum, Mas. Tapi bakal gue kelarin minggu ini sih either hari ini atau besok. Jadi Senin pagi udah langsung bisa direview klien." jawabku.

Anom mengangguk-angguk. "Kalau ada yang susah, let me know ya." katanya.

Aku mengangguk.

"Nggak harus sekarang nggak apa-apa sih, Bhi. Senin pagi kan masih bisa. This is weekend for God's sake. Lo nggak pacaran?"

Ketika mengutarakan pertanyaan yang terakhir, nada dingin jelas-jelas terasa sampai tekukku merinding. Alhasil aku hanya meringis kecut, dan buru-buru mengemasi barangku.

Two Faced - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang