21. Alasan Kenapa Kita (Belum) Selesai

56.1K 10.7K 2.3K
                                    

Satu-satunya yang muncul di kepalaku saat melihat Randu di teras adalah memaki lirih. Respons berikutnya berpikir bagaimana membuat Anom menjadi semacam driver taksi online. Untung saja aku langsung sadar kalau Anom itu bosku dan tidak mungkin aku menganggapnya driver taksi online.

Ngapain sih Randu ke sini? Maksudku, aku kan nggak membalas chatnya tadi.

Akhirnya aku hanya berusaha bersikap sebiasa mungkin. Tanpa drama-drama driver taksi online, aku berterima kasih pada Anom. Dia melihat Randu di teras, dan sempat ingin mengatakan sesuatu namun membatalkannya. Akhirnya Anom pamit, setelah mengklakson sekali.

Kuhela napas panjang-panjang, dan berbalik memasuki pagar. Pintu rumah masih terbuka, tanda Ibu atau Dara pasti masih terjaga.

Ekspresi Randu seperti sedang menelan jalapeno. Itu lho, cabe terpedas di dunia yang bisa membunuh orang. Baru kali ini aku melihat ekspresi Randu begitu telanjang dan kesal. Biasanya kan dia selalu bisa mengatur ekspresi supaya terlihat datar. Tapi kali ini dia terlihat jauh lebih kesal dibanding saat aku ketahuan main Tinder. Ekspresinya terlihat seperti ingin menelanku bulat-bulat atau menjitak kepalaku sampai bocor. Tanpa bisa dicegah, bulu kudukku merinding parah.

"Itu tadi Anom. Aku nebeng dia habis nonton rame-rame sama anak-anak kantor. Macet banget tadi di jalan. Makanya baru nyampe jam segini." jelasku lirih. "Kamu udah lama?"

Melihatnya begini, aku sampai nggak nafsu untuk mengarang alasan bahwa HP-ku ngedrop apalah-apalah. Ekspresi Randu membuat ngeri dan merasa bersalah di saat yang sama.

"HP kenapa dimatiin?"

Aku mendongak. Kupikir Randu akan langsung meneriakiku. Menuduhku berselingkuh dengan Anom atau semacam itu. Tadi kukira Randu akan memutuskanku saat ini juga tanpa banyak bertanya. Tapi Randu hanya bertanya dengan suara rendah, sebuah tanda dia sedang menekan emosinya dalam-dalam.

"Tahu nggak Ibu khawatir karena kamu nggak bisa dihubungi?? Jam segini belum pulang tanpa kabar apa-apa, hujan-hujan, tahu nggak kamu apa yang udah muncul di pikiran Ibu??"

Aku menelan ludah.

"Ibu bilang kamu selalu ngabarin kalau pulang malam. Kenapa malam ini nggak??"

Lagi-lagi aku menelan ludah. Biasanya aku memang mengabari Ibu saat aku pulang lebih dari jam 8 malam. Tapi tadi aku terlalu panik karena chat Randu dan terburu-buru mematikan ponsel.

"Dan Anom. Kamu nggak bilang kalau pergi sama Anom. Nggak bilang kalau pergi sama Ren." Randu geleng-geleng kepala. "What should I do with you, Abhi..."

Entah sudah berapa kali aku menelan ludah dan semakin lama semakin terasa kental. Masa asam lambungku naik?

"Randu..."

"Aku mau jemput Cuan." potong Randu datar.

"Randu, aku mau jelasin dulu..."

"Besok aja. Udah malam."

Aku menatap sosok jangkung itu lekat-lekat. Jelas-jelas dia marah. Tapi hari memang sudah terlalu malam untuk percakapan apa pun.

"Oke. Aku ambil Cuan. Masuk dulu." kataku.

"Nggak usah." jawab Randu pendek.

Aku menghela napas panjang, dan nggak membantah lagi. Di depan televisi, Ibu menatapku dan menanyakan hal yang sama dengan yang ditanyakan Randu tadi.

Cuan sedang tidur saat aku mengambilnya dan memasukkannya ke dalam kandang. Perutnya sudah gembul, tanda Dara atau Ibu sudah memberinya makan saat aku belum pulang. Kutatap Cuan yang setengah ngantuk setengah bingung dan setengah kesal karena tahu-tahu dimasukkan ke dalam kandang. Kubereskan juga sisa-sisa makanan Cuan yang dulu dibawa oleh Randu.

Two Faced - TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang