Keputusan

33 4 0
                                    

Pepatah mengatakan "Jangan pernah melihat buku hanya dari sampulnya saja." Namun, kenapa banyak sekali orang yang hanya menilai sesuatu dari depannya? Untuk apa pepatah itu dibuat jika masih banyak orang yang melakukan sebaliknya?

*****

Tak terasa waktu berlalu, sekarang sudah hari minggu. Nara masih bingung dengan keputusannya, apakah ia akan mempercayai orang itu atau tidak. Seandainya ia mempercayai itu, lalu apa? Apa yang ia harus lakukan setelahnya. 

Sementara Nara sedang bingung, lain halnya dengan Hera, Dhika, Toby dan Rama. Sekarang mereka sudah mempelajari beberapa hal mengenai kekuatan masing-masing. Thomas pandai dalam mengajarkan sesuatu. 

 "Haah...." Gumam Nara, sedang berbaring diatas kasurnya yang empuk. Hari minggu, adalah hari dimana Nara bisa bersantai. Ia sedang tak ingin bermain game, membaca novel dan yang lainnya, hanya ingin bermalas-malasan dikasur kesayangannya itu. Bosan, akhirnya Nara pindah ke ruang tamu. Ia duduk disalah satu sofa, menatap layar TV yang menyala.

"Nara, sarapan sana. Makan roti sama tehnya." Titah Ibunya, Nara hanya mengangguk dan segera beralih ke meja makan yang tak jauh dari sofa. Menatap sarapan, lantas memakannya dengan malas.

"Kenapa sih, kok lemes banget?" Tanya Ibunya, 

"Ah, diamah emang udah males dari dulu Bu. Kayak nggak tau Nara aja." Sahut kakak lelakinya dengan nada mengejek. Nara tak tertarik, ia hanya menatapnya selintas lalu melanjutkan sarapan.

Perkataan Thomas kembali terngiang-ngiang dikepalanya. Ia kembali mengingat peristiwa pertemuan itu seperti rekaman video yang baru diambil.

Nara benar-benar penasaran dengan kekuatan yang ia miliki, darimana datangnya, kenapa harus dia, serta siapakah Thomas itu, apa maksud kedatangannya. 

Sudah bertahun-tahun Ia menyembunyikan kekuatan ini, bagaimana Thomas bisa mengetahuinya? Benar, Nara sudah memiliki kekuatan ini bertahun-tahun sebelumnya.

Dan puncaknya adalah satu minggu yang lalu, tepat sebelum Thomas akhirnya menemui dirinya.

Puncak dimana ia tak sengaja mengeluarkan kekuatannya itu, saat sedang melakukan latihan bela diri di halaman rumahnya.

* * *

"Heyaah!" Seru Nara, tinjunya menghantam karung tinju didepannya. Cucuran keringat keluar dari sela pori-porinya.

Ia mengeluarkan seluruh tenaga sebab emosi terus melanda pikirannya. Teman-teman tempat pelatihan selalu saja mengejeknya. Mengatakan ia tak pantas berada disanalah, menyogok agar naik sabuklah, pecundanglah.

Padahal, ia bisa dengan cepat naik sabuk karena memang sudah menguasai berbagai Teknik lebih cepat daripada seharusnya. Kenapa selalu begini? Mengapa semua orang selalu menghakimi individu tanpa mengetahui apapun? Kenapa orang yang selalu melebihi yang lain selalu dikucilkan?

"Hai pecundang.... Kenapa kau masih saja disini? Menghalangi pemandangan tahu!" Teriak Raka mengejek. Sementara semua temannya tertawa renyah. Benar-benar menyebalkan mendengar tawaan mereka.

Dasar banci! Beraninya melawan wanita! Umpat Nara dalam hati, ia memegang tasnya erat-erat lalu pergi meninggalkan dojo itu. Tawaan dan ejekan mereka masih saja terdengar bahkan sampai keluar.

Tadinya ia ingin melemparkan tas itu pada Raka, namun urung. Nara masih mengingat nasihat ibunya agar menjadi orang yang sabar. Lagipun, jika membalas mereka lalu apa bedanya dia dengan para pecundang itu.

* * *

Terdengar suara kain yang terkoyak, dan itu terdengar persis setelah pukulan Nara yang kuat. Karung tinju dibuat bergelayutan olehnya, mengeluarkan semua isi sebab tinju keras itu.

The ExplorerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang