"MAS, tau gak? Saya ini habis diputusin," ucap Sheina pada mas-mas barista. Ia sedang menunggu Frappuccino miliknya. "Saya mau cerita, Mas. Gak apa-apa ya. Lagi sepi juga."
Barista yang ada di hadapan Sheina hanya tersenyum kikuk. Sepertinya laki-laki itu masih berusia dua puluh tiga, menurut analisa Sheina yang selalu akurat. Ia meletakkan rambutnya ke belakang, membuat lehernya terlihat dan wangi vanilla menguar. Mengalahkan aroma kopi yang ada di sini. Membuat barista muda itu hanya bisa menelan ludahnya.
"Saya tuh kesel. Kenapa dia mutusin pertunangan saya. Padahal awalnya saya Nerima dia karena kasihan—eh bentar—temen saya telepon," ucap Sheina lalu ia mengangkat telepon dari Afiya.
Barista yang Sheina ajak bicara bisa bernapas lega untuk sesaat karena tidak harus menatap wajah yang amat menggoda itu.
"Hallo, Fiya?—gue lagi off nih. Lagi di Starbucks. Sendirian," hela Sheina sambil sesekali menatap barista yang sepertinya merasa tidak nyaman karena ia pandang. Membuatnya sedikit tersenyum.
"..."
"Eh mana ada. Enggak gak boleh. Lo lagi menyusi, bego! Mana boleh minum kopi!" teriak Sheina.
"..."
"Udah deh, ngidam apaan, lahiran udah setahun lebih juga. Lo itu lagi menyusui, gak boleh banyak kafein. Lo mau kopi karena tahu gue lagi di Starbucks kan," jawab Sheina. "Abis ini gue mau ke Medistra. Gue ke Burgreens beliin lo makanan organik biar Keenan sehat."
"Mas, saya bingung deh sama temen saya. Dia punya anak dan lagi menyusi. Padahal dulu dia itu makan sehat terus. Eh pas sekarang malah bandel banget. Aneh ya." Sheina kembali menatap si barista setelah ia mematikan sambungan telepon.
"Mungkin bawaan bayinya, Mba."
"Tapikan udah lahiran.."
Barista itu ikut mengerutkan alisnya. "Iya juga ya.." lalu ia menyodorkan frappuccino pesanan Sheina.
"Permisi.." ucap seseorang di belakang Sheina.
"Mas, saya masih kesel deh sama mantan tunangan saya. Seharusnya saya yang putusin kan. Kenapa jadi dia?" tanya Sheina lagi. Ia sama sekali tidak menghiraukan ucapan orang di belakangnya. Meskipun sudah mendapatkan pesanannya, sepetinya wanita ini tetap tidak mau beranjak.
Barista yang tadinya hanya bisa tersenyum canggung ke arah Sheina lalu melirik ke balik bahu wanita itu.
"Permisi," Ulucap laki-laki di belakang Sheina lagi. Kini suaranya jauh lebih keras.
"Bentar, Om. Saya mau curhat nih," decak Sheina sambil mengibaskan tangannya ke belakang tanpa menoleh, membuat rambut Sheina bergerak dan wangi vanilla kembali menguar dari tubuh itu.
"Mba.. Mas yang di belakang mau pesan." Si barista kembali tersenyum kikuk ke arah Sheina.
"Tapi saya belum selesai curhat, gimana dong?" tanya Sheina. "Saya ke sini mau cari temen curhat. Sahabat saya lagi kerja. Gak mungkin kan saya ikut ke ruangan operasi terus nemenin dia ngoperasi orang sambil cerita. Bisa-bisa nanti jarum jahitnya ketinggalan di badan pasien."
"..." Barista itu lagi-lagi menelan ludah. Ia merasa bingung dan dilema. Jujur saja, ia tidak ingin mengusir wanita cantik ini namun sekarang antrian sudah mulai panjang dan Sheina belum juga pergi.
"Kalau anda ingin bercerita, silakan pergi ke Sophie authentic," ucap laki-laki itu dingin dan menyerobot ke depan Sheina, membuatnya kehilangan keseimbangan. Cup kopi yang ia pegang ikut terjatuh dan mengenai jas laki-laki itu.
"Bangsat!" teriak Sheina sambil mencari pegangan. Untung saja neoprene point toe pump Prada yang ia kenakan tidak akan membuat pemiliknya terjatuh hingga ia kembali mendapat keseimbangan.
Sementara wajah laki-laki itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. Laki-laki itu hanya menatap jas dan kemeja putihnya yang sudah berubah warna karena frappuccino yang tumpah di dadanya lalu perlahan matanya mengarah kepada Sheina yang sudah kembali berdiri dengan baik.
"Dasar laki-laki bar-bar! Main nyerobot aja! Lihat kan frappuccino gue tumpah. Harus pesan lagi, kan!" decak Sheina sambil menatap laki-laki itu dengan tatapan kesalnya.
"Mbak, Mas. Biar saya buatkan. Mas sama Mbaknya mau pesan apa?" tanya barista itu mencoba menengahi.
"Gak, Mas. Saya sudah gak nafsu lagi," jawab Sheina sedikit galak lalu ia menatap lelaki yang sedari tadi masih diam. "Rasain tuh kena frappuccino gue. Salah lo sendiri."
Lalu Sheina melangkahkan kaki jenjangnya ke luar tanpa meminta maaf atau berkata apapun lagi.
"Dasar bego!" decak Sheina yang masih bisa di dengar semua orang.
***Sheina memarkirkan mobilnya di parkiran Medistra dan keluar dengan membawa makan organik yang tadi ia janjikan untuk Afiya.
Ia masih merasa kesal karena tidak jadi menikmati Frappuccino yang ia inginkan. Laki-laki itu, ia tak ingin lagi melihatnya di mana pun. Menyebalkan dan berwajah dingin. Sangat bukan laki-laki yang ia inginkan.
"Astaga!" decak Sheina lagi dengan kesal karena ia baru saja menabrak seseorang saat ia akan menuju ke lift.
"Dokter Sheina?"
Tubuh Sheina menegang karena mendengar suara itu. Ia yang sedang mengambil kotak makanan untuk Afiya pun langsung berdiri dan mendapati dokter Hans berada di hadapannya.
"Dokter Hans? Maaf saya tidak melihat jalan.." ucap Sheina buru-buru. Semua umpatan yang sedang ia rancang dalam kepalanya tiba-tiba buyar.
Mana bisa ia memarahi dokter senior ini? Walaupun terkadang mulutnya tidak bisa di jaga, tapi orangtuanya selalu mengajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua dan ia selalu menanamkan hal itu dalam dirinya.
"Sepertinya anda sedang sangat kesal," kata dokter Hans sambil tersenyum. Siapapun dapat mengetahui kalau sekarang wanita itu sedang kesal.
"Tidak, dokter. Saya hanya sedang banyak pikiran," jawab Sheina dengan sopan.
"Baiklah, jaga langkah anda, dokter Sheina," ucap dokter Hans. Sheina tersenyum dan mengangguk lalu dokter Hans melanjutkan langkahnya.
Sheina adalah salah satu dokter favoritnya selain Afiya. Gadis itu sangat pintar dan sama sekali tidak menggunakan kekuasaan orangtuanya. Terbukti karena hingga sekarang ia masih berada di departemen UGD. Sebenarnya bisa saja Sheina menjadi dokter VIP namun ia lebih senang mengikuti prosedur rumah sakit.
"Pa, maaf saya terlambat," kata seorang laki-laki sambil menghampiri dokter Hans.
Dokter Hans tersenyum. "Tidak apa-apa dan mengapa baju kamu seperti baru saja terkena kopi, Durov?"
"Bukan masalah, Pa. Tadi ada anak kecil yang tidak sengaja menumpahkan frappuccino di baju saya," jawab Durov yang entah mengapa langsung merasa kesal. Setiap laki mengingat kejadian tadi, ia selalu merasa kesal.
*Bersambung*
Ini Sheina, ya. Happy Reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHEINA-DUROV; WHILE
RomancePart lengkap pada cerita ini sudah dipublish di Novel Life; Vaanella "Gue gak akan lagi kemakan sama rayuan laki-laki. gue janji, banget, Fiya!" teriak Sheina mengabaikan tatapan menghujam ke arahnya karena ia menciptakan keributan di restoran cepat...