"SHEI, jangan galak-galak deh jadi orang," kata Afiya sambil memakan makanan yang dibelikan oleh Sheina. Sesekali ia menghentikan suapannya hanya untuk lebih serius mendengarkan ucapan sahabatnya yang isinya hanyalah umpatan-umpatan kasar.
Afiya yang mendadak bertobat dari umpatan kasar semenjak kehamilannya dulu hanya bisa menggelengkan kepala.
Jika orang lain tidak membaca kata Oetama secara langsung pada nama Sheina, maka orang tidak akan percaya kalau wanita ini adalah putri satu-satunya menteri perdagangan di negeri ini.
"Ya gimana gue gak galak? Dia tuh bikin gue gak jadi minum kopi gue," jawab Sheina bete. "Terus lagi, tadi gue nabrak dokter Hans. Untung aja mulut gue gak nyerocos marahin dia. Kalau enggak, gimana nasib gue coba."
Hari ini banyak sekali orang yang ia tabrak.
Bukannya mendengar dengan baik, Afiya justru tersenyum sambil menatap Sheina. Membuat Sheina membalas tatapan itu dengan bingung. Ia mengingat kalau makanan yang ia belikan untuk Afiya tidak mengandung mushroom beracun.
"Kayaknya laki-laki itu berhasil mengalihkan perhatian lo dari—sakit—hati—tentang—mantan—tunangan lo deh."
Sheina mengerutkan alisnya, "siapa? Dokter Hans maksud lo?"
Apakah burgreens ternyata memasukkan mushroom beracun hingga membuat otak cerdas yang amat sangat milik Afiya menjadi dangkal?
Bagaimana bisa Afiya berasumsi kalau dokter Hans membuatnya lupa pada mantan tunangannya?
"Astaga, Sheina! Masa gue bilang tentang dokter Hans sih? Itu, tadi, cowok di Starbucks," kekeh Afiya.
Sheina menghembuskan napas lega. Hampir saja ia ingin menelepon ayahnya dan mengatakan kalau ada kedai organik yang memperdagangkan mushroom beracun untuk pelanggannya.
"Mana ada. Dia bikin gue kesel tau."
"Iya kesel terus lupain mantan lo kan?" tanya Afiya.
"..."
"..."
"Tau ah. Pusing gue. Gue mau pulang aja. Lo mau bareng gue?" Tanya Sheina sambil mengalihkan pembicaraan.
Entah mengapa, Sheina tidak ingin mengakui kalau yang di ucapkan Afiya itu benar. Bahwa secara tidak langsung orang itu sudah membuatnya lupa dengan matan tunangannya.
Dasar, ibu-ibu beranak satu yang sekarang jadi lebih perasa. Batin Sheina.
***Menjadi putri satu-satunya di keluarga Oetama tidak lantas membuat Sheina seperti seorang putri raja yang terkurung dalam sangkar emas dan menerima begitu saja kehendak dari orangtuanya, karena beruntungnya ia di lahiran di antara orangtua yang pintar dan tidak kolot yang selalu mendikte anaknya agar menjadi apa yang mereka mau.
Orangtuanya akan selalu mendukung setiap keputusannya.
Rizhaf dan Anjeli membebaskan dirinya untuk memilih jalan yang ia mau. Meskipun mereka selalu tahu kalau ia sudah nyaris melewati batas yang mereka berikan.
"Mantan tunangan kamu itu, bagaimana papa bisa tertipu dengan wajahnya? Harusnya papa sadar kalau dia adalah laki-laki yang sangat tidak pantas untuk princess papa," kata Rizhaf setelah mereka selesai makan malam dan sekarang adalah sesi sharing.
Meskipun tidak dapat melakukan dinner setiap malam karena tuntutan pekerjaan dan rutinitas, tapi mereka selalu berusaha agar hari Minggu menjadi hari berkumpul mereka.
Sheina melirik ibunya yang juga meliriknya. Mereka sama-sama menahan senyuman lalu menatap Rizhaf yang selalu kebakaran jenggot setiap mengingat mantan tunangan Sheina.
"Untung dia tidak jadi menikah dengan kamu karena papa baru mendapat kabar kalau dia selalu meniduri perempuan," lanjut Rizhaf sambil mencengkeram garpu dengan erat.
Jika Sheina merasa sakit hati karena mantan tunangannya yang memutuskan hubungan mereka padahal awalnya ia menerima hanya karena kasihan, namun Rizhaf merasa sakit hati karena perkara yang lebih dalam dari itu.
Ayahnya adalah tipe orang yang sangat tegas dan dominan namun jika menyangkut putrinya, ia menjadi sangat lembek.
Seperti sekarang, Rizhaf merasakan sakit hati yang teramat sangat karena Sheina harus merasakan semua ini—padahal dalam cerita sebenarnya, Sheina justru berbahagia.
Rizhaf merasa sangat marah dengan mantan tunangan Sheina karena ia adalah tipe ayah yang selalu siap memasang badan untuk melindungi putrinya namun ternyata tanpa sadar ia lah yang menyakiti putrinya sendiri dengan memperkenalkan laki-laki brengsek itu—yang sekali lagi pada kenyataannya Sheina merasa bahagia karena pertunangan ini batal.
"Sheina, semua laki-laki yang pernah kamu dekati tidak menyentuh kamu sedikitpun, kan? Apa dia pernah melecehkan kamu?" tanya Rizhaf seolah baru menyadari akan hal itu.
Tiba-tiba wajah marahnya berubah menjadi cemas karena tidak ada laki-laki yang bisa menahan keinginan mereka untuk menyentuh Sheina di bagian tubuh mana saja. Jika sampai—jika sampai laki-laki brengsek itu—
"Sheina kan anak papa yang pintar. Mana mau Sheina di grepe-grepe sama cowok kayak begitu? Say goodbye kalau dia pernah nyentuh ujung rambut Sheina, Pa. Sheina masih perawan kok," jawab Sheina sambil menatap ayahnya. Ia harus mengucapkan kalimat terakhir dengan sebaik mungkin demi meyakinkan sang ayah.
Ya, memang ia masih perawan karena hingga kini tidak ada yang pernah menyentuh bagian terintim pada tubuhnya tapi hanya pada bagian itu karena sejujurnya, setiap ia berpacaran, mereka selalu bermain panas dan Sheina tahu dimana ia harus menghentikan semuanya sebelum 'kebablasan.'
Ia membiarkan pacar-pacarnya dulu mencium bibirnya, menggerayangi tubuhnya, meremas payudaranya karena ia juga membutuhkan hal seperti itu namun ia tidak ingin mempermalukan keluarganya.
Kebebasan yang diberikan oleh orangtuanya, ia tidak ingin menodai itu. Jadi, Sheina selalu memilih untuk tetap berdiri di garis aman meskipun kadang jari-jari kakinya sedikit melewati batas.
"Papos, udah ah. Jangan ungkit terus. Kasihan dia nanti keselekan biji durian. Biarin dia hidup tenang, Pa. Harusnya kalau dia sadar, dia sudah cukup menderita karena kehilangan princess kayak Sheina." Sheina menggeser kursinya dan bergelayut manja di lengan kokoh ayahnya.
"Tapi—" Rizhaf menggantungkan kata-katanya karena ia tidak tahan membayangkan betapa perasaan putrinya sangat menderita karenanya.
"Papa ih, mellow banget. Kok Mama rasa kayak Papa yang patah hati karena tunangannya batal. Lihat tuh anak Papa baik-baik aja, ledek Anjeli sambil menahan tawanya.
Rizhaf menarik napas dan menghembuskannya. Kembali memasang tampang seorang Rizhaf Oetama yang orang lihat. "Papa tidak ingin mendengar tentang dia lagi."
Sheina menepuk jidatnya. Sedari tadi, siapa yang lebih dulu membahas mantan tunangannya?
*Bersambung*
KAMU SEDANG MEMBACA
SHEINA-DUROV; WHILE
RomancePart lengkap pada cerita ini sudah dipublish di Novel Life; Vaanella "Gue gak akan lagi kemakan sama rayuan laki-laki. gue janji, banget, Fiya!" teriak Sheina mengabaikan tatapan menghujam ke arahnya karena ia menciptakan keributan di restoran cepat...