SHEINA mendatangi rumah besar milik Afiya dan Terra hanya untuk menjenguk Keenan karena setelah ia kembali ke Indonesia dan bertemu dengan bayi itu, Sheina sangat jatuh cinta kepada bayi itu dan tidak ingin berjauhan dengannya.
Keenan juga menunjukkan reaksi yang sangat baik kepada Sheina dengan sangat anteng ketika berada di gendongannya.
"Keenan ganteng banget, sih?" Sheina menciumi wajah Keenan. Batita yang berusia satu tahun enam bulan yang sudah memiliki kekayaan setara dengan pensiunan bos perusahaan minyak negara.
Afiya yang sedang memompa ASI untuk persiapan malam hanya menggeleng. "Keenan gak pernah anteng selain sama gue dan susternya. Sama Mama aja kadang-kadang mau. Eh tapi sama lo dia anteng aja."
"Dia tau siapa yang cantik ya?" tanya Sheina yanh masih menggusal wajah Keenan. Bayi itu sama sekali tidak risih dengan perlakuan Sheina.
"Iya tuh. Dia tau kalau onty nya punya boobies gede. Lihat aja dia dari tadi nempel Mulu sama boobies lo," jawab Afiya sambil tertawa.
Sheina ikut tertawa mendengarnya. "Iya, ya. Sama kayak bapaknya. Bukannya gue gak tahu apa alasan lo setiap malem mompa ASI mulu. Biar kalau Keenan bangun tengah malam, suster tinggal ngambilin ASI lo di penyimpanan tanpa perlu ngetuk pintu kamar dan gangguin bapaknya Keenan yang lagi nyusu!"
Afiya melongo mendengar ucapan Sheina. Bukan karena ia tersinggung, atau karena kata-kata Sheina yang begitu vulgar namun karena ucapan Sheina tadi sangat benar.
"Ampun deh, bisa-bisa terkontaminasi anak gue!" teriak Afiya dan Sheina hanya tertawa. "Bukannya gue gak tahu juga ya kalau sebenernya abis dari sini lo mau clubbing!" Damprat Afiya yang berusaha menahan malunya setengah mati.
***Semenjak kejadian waktu itu dimana Sheina hampir kehilangan nyawanya karena hantaman palu di kepalanya, Rizhaf Oetama menegaskan kalau untuk keluar pada malam hari, Sheina harus di antar oleh supir mereka.
"Pak Jum, Bapak males gak nganterin saya setiap malam gini?" tanya Sheina sambil menoleh ke arah Jumadi, supirnya.
Ia sengaja duduk di bangku depan karena ia tidak ingin duduk di kursi penumpang. Terlihat seperti ibu-ibu, pikirnya.
"Inikan sudah jadi pekerjaan bapak, non," jawab Jumadi.
"Kalau Bapak mau, Bapak bisa biarin saya nyetir sendiri dan Bapak pulang ke rumah deh. Papa gak akan tahu kok."
Jumadi mengerutkan alisnya. "Bapak bisa anterin non kok. Non mau ke mana?"
"Mau clubbing, Pak." Jawab Sheina santai. Jumadi sedikit terlonjak mendengar jawaban Sheina seolah apa yang Sheina lakukan adalah hal paling laknat di dunia ini.
"Maaf non," ucap Jumadi karena ia merasa sudah melakukan reaksi yang berlebihan. Sementara Sheina hanya tertawa melihat wajah malu Jumadi.
"Gimana, pak? Mau anterin saya atau saya yang nyetir sendiri?" tanya Sheina yang ternyata serius dengan ucapannya. Membuat Jumadi menjadi sangat bingung.
Beberapa lama Sheina menunggu dan akhirnya karena kesetiaan kepada bosnya, Jumadi memilih untuk mengantar Sheina ke club malam dan berjanji untuk menunggunya sampai selesai. Sheina tahu kalau Jumadi bersama keluarga mereka sudah hampir dua puluh tahun dan ia tidak akan tega mengadukan apa yang Sheina lakukan sekarang ke ayahnya.
"Kalau Bapak mau pulang, pulang aja ya. Saya bisa naik taksi nanti," kata Sheina sambil membawa paper bag di bangku belakang.
Jumadi hanya mengangguk meskipun ia tidak akan pulang sebelum Sheina kembali.
Sheina berjalan memasuki club malam yang berada di daerah Sudriman dan berbelok ke toilet perempuan untuk mengganti pakaian dan riasannya. Setelah siap, ia keluar dan langsung bertatap langsung dengan dunia gemerlap.
Sheina tidak memesan apapun dan memilih untuk duduk sendirian sambil memainkan ponselnya karena sejujurnya, malam ini ia tidak ingin mabuk. Ia hanya butuh tempat untuk menghilangkan penatnya. Itu saja.
"Sendirian aja?" tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba sudah duduk di hadapannya. Sheina hanya diam seolah tidak mendengar suara itu di antara derapan musik yang kencang.
"Mau gue temenin?"
Ternyata laki-laki itu pantang menyerah hingga ia berani untuk kembali bertanya. Sheina menghela napasnya dengan kasar lalu beranjak pergi namun sebelum itu terjadi, laki-laki itu sudah menarik lengan Sheina dan memutarnya hingga Sheina terjatuh di sofa yang tadinya ia duduki.
"Eh bangke!" teriak Sheina karena saat ia akan berdiri, laki-laki itu menindih tubuhnya.
"Bisa bicara ternyata. Gue kira lo avox kayak di novel hunger games," jawab laki-laki itu.
Sheina berusaha menendang dan memukul tubuh itu namun sia-sia. Sialnya, tempat mereka sekarang adalah tempat yang cukup teduh dari cahaya yang memang minim. "Gue udah lama merhatiin lo, dan lo menarik."
Fix, bangke ini lagi on!
"Minggir deh lo. Awas—onta Arab!—hmmp.." Sheina tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena laki-laki brengsek itu menyerang dengan mencium bibirnya. Sheina bisa merasakan aroma alkohol yang sangat kuat pada napas laki-laki itu.
Sheina menggigit bibir onta Arab itu sekencang-kencangnya hingga laki-laki itu melepaskan tautannya. Saat orang itu lengah, Sheina menerjang kakinya. Cepat-cepat ia berdiri dan siap memukul lagi. Ia ingat kalau di sekolah dasar dulu ayahnya pernah memasukkannya ke ekskul Wushu. Sepertinya ia masih ingat teknik-teknik yang di ajarkan.
"Sialan!" Ucap si onta Arab.
"Lo yang sialan! Main cium-cium bibir mahal gue! Dior tau lipstiknya!" jawab Sheina galak—meskipun apa yang ia ucapkan tidak ada sambung-menyambungnya sama sekali.
Onta Arab itu menatap Sheina dan Sheina membalasnya dengan sama sengit lalu mata laki-laki itu beralih ke balik bahu Sheina, tepat ke belakangnya membuat Sheina mengerutkan alisnya dan ikut menoleh ke sampingnya dan pada saat itu juga, laki-laki itu memiting tubuh Sheina dan membekap mulutnya.
Sial, ia di tipu oleh onta Arab yang mabuk!
Sheina tidak bisa melepaskan dirinya dan harus pasrah ketika laki-laki itu membawanya ke toilet. Bukannya panik, Sheina justru memutar bola matanya. Setidaknya onta mabuk ini membawanya ke toilet dimana akan banyak orang yang berlalu lalang.
"Bego!" decak Sheina saat laki-laki itu kembali melumat bibirnya. Di tempat seperti ini, kalian akan sering menemukan spesies manusia yang seperti ini. Mabuk dan memiliki nafsu besar dan yang harus dilakukan adalah tenang karena orang mabuk tidak akan bisa berpikir dengan jernih.
Tangan onta itu mulai menelusuri tubuh Sheina, membuatnya berdecak kesal. Ia tidak Sudi tubuhnya di sentuh onta!
"Udah dong! Nikah sana biar bisa main sama bini lo!" Sheina mendorong kuat tubuh si onta.
"Gue mau main sama lo," jawab laki-laki itu parau dan tangannya ia layangkan untuk memeluk tubuh sintal milik Sheina.
"Gue badmood deh gara-gara lo," kata Sheina malas dan berjalan meninggalkan toilet namun tanpa di sadari, saat ia berbalik, laki-laki itu siap menghantam kepala Sheina dengan tangannya.
*Bersambung*
KAMU SEDANG MEMBACA
SHEINA-DUROV; WHILE
RomancePart lengkap pada cerita ini sudah dipublish di Novel Life; Vaanella "Gue gak akan lagi kemakan sama rayuan laki-laki. gue janji, banget, Fiya!" teriak Sheina mengabaikan tatapan menghujam ke arahnya karena ia menciptakan keributan di restoran cepat...