"ARON!"
Cowok dengan seragam yang melanggar aturan—tidak memasukkan baju seragam, dua kancing atas terbuka, tanpa dasi, dan tentu saja rambut yang melebihi batas pelanggaran—itu mendengus sebal. Kenapa pagi-pagi seperti ini sudah ada saja yang mengganggunya?
Dengan terpaksa, Aron harus menghela napasnya, kemudian tersenyum selebar yang ia bisa. Gigi-gigi putihnya mejeng, mengimbangi tingkat ketampanan yang ia punya.
"Kenapa, nih?" tanya Aron dengan cengiran khasnya.
"Nggak perlu ngeluarin wajah munafik! Bangsat satu ini... LO SADAR NGGAK SIH ATAS APA YANG TELAH LO LAKUIN!?" Cowok dengan postur tinggi besar itu mengeram. Andai saja tak ada peraturan di dunia, ia pasti sudah membunuh Aron saat ini juga.
"Memang gue kenapa?" Aron bertanya lagi, nadanya meremehkan. "Seran, lo takut sama aturan Papa, kan? Udah sana, nangis-nangis aja di pelukan Big Dady," ucap Aron tetap dengan senyum merendahkan.
"Shit. Gue kasih tahu lo, ya; semakin lo ngotot sama aturan Papa, hidup lo bakal makin menderita." Seran meraih kerah baju Aron, mengangkat tubuh saudaranya dengan tatapan tajam.
"Gue nggak takut sama lo, bahkan sama Papa."
Seran mengeram, kemudian ia melepaskan kedua tangannya dari kerah baju Aron. Satu detik, bahkan tidak sampai. Sebuah tinju sukses menghantam pinggir bibir Aron, membuat darah segar mengalir dari sana.
"Cupu. Lo pikir dengan kekuatan lo yang mirip bayi itu kuat ngelawan gue?" Aron menyeringai. Tangan kanannya kini terkepal, meninju pipi kanan Seran secepat cahaya.
Baku hantam pun terjadi. Ratusan pasang mata menoleh ke arah mereka. Bergerumbul, berseru-seru, bahkan semangat membuat taruhan tentang siapa yang akan menang.
"Aron berhenti, dong!" Seseorang menangkap pinggang Aron, memeluknya, kemudian menariknya menjauh.
"Seran udah, ih! Berhenti, Ran!" Seseorang juga meraih lengan Seran, berusaha menariknya jauh-jauh.
"MAJU, SAT! KURANG AJAR LO!" teriak Aron sambil mengacungkan jari tengahnya. Di seberang sana, nampak Seran juga melakukan hal yang sama.
Usai. Pertengkaran itu berhasil dihentikan. Sekarang ada masalah baru lagi yang dihadapi oleh Aron. Mencari jawaban yang tepat untuk Aura.
Di sini mereka sekarang, di dalam ruang kelas IPA III. Itu pun sudah dengan Aura dan kotak obatnya. Ya, Aura lah orang yang menariknya tadi.
"Aron kenapa, sih? Bertengkar mulu sama Seran... Aura nggak suka," gumam cewek itu pelan, namun sukses membuat Aron gemas setengah mati.
"Nggak pa-pa, Ra. Seran itu mirip kecoak, makanya gue gitu."
"Kecoak?"
"Iya, mirip yang biasanya dipelihara sama Gemal. Jelek-jelek, kan? Minta dibasmi!" Aron terkekeh pelan. Sejurus kemudian ia mengaduh kesakitan karena Aura menekan lebamnya terlalu kuat.
"Seran tetap saudara Aron. Jaga ucapan!"
"Iya, cantik," ucap Aron sambil mengacak-acak poni Aura.
"Jangan gombal, nanti Aura malu!"
🚄
"YESHA!"
Cewek berambut panjang itu memutar bola matanya malas. Pasalnya, ini sudah kesekian kali teriakan jahanam itu terdengar.
"Apa!?" gertak Yesha pada cowok yang saat ini tengah lebam di hadapannya. "Sakit, hah? Mampus! Siapa suruh berantem? Rasain ini antiseptik yang bakal nyipok bibir lo nan penuh darah itu." Yesha semakin menguatkan tekanannya.
"Salah Aron, sih..." Cowok itu bergumam, tetap dengan wajah merintih kesakitan.
"Kenapa lagi sama Aron? Rebutan gue, ya, lo berdua?"
"PD!" Seran tertawa kecil, karena memang bibirnya masih sakit untuk dibuat tertawa. "Sejak SMP sampai sekarang tuh lo udah jadi sahabat gue, tahu banget gue sama tabiat lo."
"Apa memang? Cewek cantik? Body pas dan ideal? Pintar? Anak PMR yang sering ngobatin sahabatnya kalau habis berantem?"
"Percuma semua itu. Nyatanya lo tetap bertepuk sebelah tangan."
"Sama siapa, anjir?"
"Aron."
Yesha meneguk ludahnya kasar. Sebenarnya Saren sudah lama tahu akan fakta ini. Tapi tetap saja. Saren baru saja bertengkar dengan Aron. Seperti musuh yang tak akan pernah akur. Apa yang seperti ini termasuk mengkhianati persahabatan?
"Maaf, Ren. Gue beneran nggak ada mood untuk ngebela Aron, kok." Yesha menunduk, menatap ubin lantai. Sungguh, ia tidak tahu tentang apa yang ia rasakan saat ini.
"Nggak pa-pa, Yesh, lo tetap sahabat terbaik gue."
🚄
wish me luck.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lullaby
Ficção AdolescenteJika malam datang, cowok itu pasti sendirian. Seluruh canda dan tawanya lenyap, ditenggelamkan oleh gelapnya angkasa. Hari itu, ketika ia berusaha melakukan percobaan bunuh diri untuk kesekian kali, gadis itu melihatnya. "Semua ini... Senyum lo sel...