Lepas Shalat Subuh Umar masih terjaga. Penuh enggan ditengoknya jam digital pada ponsel. Tubuhnya lemas. Matanya pening. Ketika fajar menyingsing seperti itu, bila tak ada tugas kuliah atau proyek desain atau mengejar berkas-berkas kelengkapan akreditasi sekolah biasanya Umar lebih suka tenggelam dengan damai di balik sarung pemberian Abahnya tepat sehari sebelum Umar berangkat ke Palembang. Sungguh Umar ingin membeli rasa kantuk-bila ada- meski pikirannya tak kunjung berhenti memikirkan sebuah surat dari Jawa. Surat itu membawanya pada bayangan Dahlia yang sedang mematut diri merapikan kerudung putihnya selepas shalat dzuhur di depan cermin di mushala sekolah. Gadis itu memasangkan bros kupu-kupu berwarna biru di dada kirinya. Umar merasakan sesuatu mendesir dalam dirinya.
Jika teringat Dahlia, Umar lalu memandangi tiga kelinci di sudut kamarnya. Kelinci-kelinci yang selalu melongok dengan pandangan tulus dan mengiba.
Surat itu sampai pada Umar tatkala ia menstandarkan motor sepulang mengajar. Syaiful, salah satu teman indekos, langsung menghampirinya dengan melambaikan sebuah amplop putih.
"Surat dari Jawa, Bang," katanya.
Menjelang tidur Umar membuka dan membaca isi surat itu. Ia bersyukur Dahlia sehat dan lancar dengan segala keperluannya. Seminggu lalu ia sudah diwisuda. Meski tidak sampai dapat predikat cumlaude tapi IPK-nya tidaklah mengecewakan. Bukanlah perkara mudah menjalani kegiatan kuliah dengan tugas makalah mingguan dan penelitian sekaligus mengkhatamkan hafalan Alquran. Tahun ini Dahlia bergelar sarjana dan tahun lalu ia telah resmi jadi seorang hafizah. Dengan hati yang dilumuti rindu ingin sekali Umar menggenggam tangan Dahlia dan mengatakan betapa ia iri pada kebulatan tekad itu. Bentuk muka Umar berubah menjelang baris terakhir surat Dahlia. Bibirnya tergigit. Dahinya berkerut.
Aku baru saja pulang dari wawancara kerja dan di rumah Abah bersama seorang kawannya yang datang berkunjung dengan anak lelakinya. Alumni Gontor, lancar ber-Bahasa Arab juga bagus kitabnya. Abah bilang ini lamaran baik. Kalau aku tidak bersedia maka aku harus secepatnya menunjukan pilihan. Abah sudah tak tahan tetangga melihatku dengan pandangan risih. Mohon bantulah aku dan pikirkanlah kita, Kang.
Ada dua titik noktah. Seperti dua tetes air dari mata Dahlia yang memecah tinta di permukaan kertas surat itu. Gerimis merintik di hati Umar.
Ah, Dahlia. Umar melenguh sembari memeluk guling. Gadis itu terlalu sempurna. Umar bahkan tidak tahu mengapa ia yang hanya seorang badut sirkus dapat mengharapkan Dahlia menjadi pendamping hidupnya. Dari semua hal yang ia syukuri dalam hidup, salah satunya adalah kesempatan satu kelas bersama Dahlia di kelas tiga aliyah. Tangan Tuhan seolah sudah mengatur begitu apik kisah mereka. Pertama kali Umar terpikat oleh keanggunan Dahlia ketika mengulurkan kerudung putihnya.
"Umar, aku selalu bingung dengan logaritma. Bantu aku memahaminya." Pinta Dahlia di suatu siang pada jam istirahat. Bagi Umar hari itu adalah hari paling ajaib. Gadis di kelas yang selama ini membuat Umar harus sampai ke sekolah lebih pagi hanya untuk mendapat kesempatan mengawasi langkahnya dari gerbang hingga bangku tiba-tiba datang padanya. Bicaranya lembut menyejukan. Kerlingan matanya menenangkan. Dahlia tak tahu bahwa Umar kerap memperhatikan caranya menyibak kerudung. Atau ketika Dahlia menggigiti jari untuk memahami penjelasan Umar tentang pelajaran.
Tuhan memang Maha Asyik. Masa itu jadi masa paling asyik bagi anak-anak seusia Umar. Ponsel jadi barang yang tiba-tiba murah. Benda kecil yang dahulu hanya dimiliki orang-orang tua dan orang yang sudah bekerja ternyata bisa pula dimiliki oleh anak-anak sekolah. Hampir seluruh kawan di kelas dan di sekolah memilikinya. Dengan uang hasil berjualan telur ayam ternak, ditambah uang yang kadang diterima karena setiap pagi membersihkan lapangan pondok pesantren Abah, cukuplah bagi Umar untuk kemudian membeli sebuah ponsel layar warna kuning yang bergetar hebat ketika ada panggilan telepon atau pesan masuk.
YOU ARE READING
Tiga Kelinci di Kamar Umar
Krótkie OpowiadaniaJangan remehkan orang-orang yang sedang mengupayakan cinta.