Orde Baru Membunuh Sukarno Pelan-Pelan Bagian II

469 21 0
                                    

Dari Presiden Jadi Pesakitan

Sidang Umum MPRS pada 22 Juni 1966 menolak pidato pembelaan Sukarno yang bertajuk Nawaksara. Ini merupakan sinyal kuat bahwa ia harus segera meninggalkan Istana Negara.

Kecemasan Bung Karno akhirnya terjadi. Sidang Istimewa MPRS tanggal 7 Maret 1967 meresmikan Soeharto sebagai pejabat presiden. Pada Mei 1967, seperti dikutip dari Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto (2007), Sukarno tidak boleh lagi memakai gelar presiden atau kepala negara (hlm. 108).
Selanjutnya Soeharto mengimbau kepada Sukarno untuk tidak lagi menempati Istana Negara sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Bung Karno kini sadar bahwa eranya memang sudah berakhir. Ia bersiap angkat kaki dari istana, dan berpesan kepada anak-anaknya:

"Kalau meninggalkan istana tidak boleh boleh membawa apa-apa, kecuali buku-buku pelajaran, perhiasan sendiri, dan pakaian sendiri. Barang-barang lainnya seperti radio, televisi, dan lain-lain tidak boleh dibawa," kata Bung Karno seperti dituliskan Maulwi Saelan dalam Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 (2008: 265).

Saelan juga mencatat detik-detik bersejarah ini berdasarkan kesaksian Sogol Djauhari Abdul Muchid. Sogol adalah utusan Kolonel Bambang Widjanarko, salah seorang ajudan Bung Karno.

"Bung Karno meninggalkan Istana Negara sebelum tanggal 16 Agustus 1967, keluar hanya memakai celana puaman warna krem dan kaos oblong cap Cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap Bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung agak besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih" (hlm. 267).

Kepada pengawalnya yang masih loyal, Sukarno meminta agar anak-anaknya dipulangkan ke rumah Fatmawati, istrinya yang kini menjadi mantan ibu negara. Sementara Bung Karno sendiri untuk sementara ditempatkan di salah satu paviliun di Istana Bogor.
Rupanya, Bung Karno tidak nyaman masih berada di lingkungan istana. Ia kemudian minta pindah. Permintaannya dikabulkan Soeharto. Bung Karno dipindahkan ke rumah peristirahatan yang berlokasi di Batutulis, Bogor.

"Kepindahannya itu rupanya didorong oleh keinginan untuk memperoleh lingkungan hidup yang lebih segar," sebut Soeharto dalam buku otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989: 244).

Namun, Sukarno juga tidak betah tinggal di rumah itu. Ia merasa tertekan karena hampir setiap hari diinterograsi. Sukarno kemudian menulis surat yang isinya meminta agar diizinkan kembali ke Jakarta. Surat tersebut dibawa salah seorang putri Bung Karno, Rachmawati, untuk disampaikan kepada Soeharto.

Permintaan itu dipenuhi. Kabarnya, seperti diungkap Syamsu Hadi dalam Bung Karno dalam Pergulatan Pemikiran (1991), salah satu orang yang menganjurkan kepada Soeharto agar mengizinkan Bung Karno dipindah ke Jakarta adalah Mohammad Hatta. Wakil Presiden pertama RI ini meminta agar Sukarno dipindahkan ke Wisma Yaso (hlm. 24).
Hatta tentunya punya pertimbangan matang terkait permintaan itu. Wisma Yaso adalah rumah yang dibangun Sukarno untuk salah satu istrinya, Ratna Sari Dewi. Dengan ditempatkan di Wisma Yaso, Hatta berharap Bung Karno bisa mendapatkan ketenangan seperti di rumah sendiri.

Pada 10 Desember 1967, Soeharto memerintahkan agar Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso. Namun, selama ditahan di rumah itu, Bung Karno dilarang berhubungan dengan dunia luar dan dijaga ketat. Bahkan, keluarga dan kerabatnya sangat sulit untuk bertemu.

 Bahkan, keluarga dan kerabatnya sangat sulit untuk bertemu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Orde Baru Membunuh Sukarno Pelan-PelanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang