A Girl From Greenland

13 2 0
                                    


Aku bukanlah seorang gadis bangsawan. Jika aku dimasukkan dalam golongan kaum menengah, sepertinya ekonomi keluargaku tidak akan dapat ditempatkan dalam golongan itu. Keluargaku hanyalah sebuah keluarga biasa yang tinggal di perbukitan, jauh dari kota. Kami mempunyai sebuah kandang ayam dibelakang rumah kami. Jangan salah sangka, itu hanyalah sebuah kandang ayam kecil untuk tiga ekor ayam kami. Dua ayam betina dan yang satunya jantan. Walaupun aku hidup dalam keluarga yang serba kekurangan tapi aku tetap menjalani hidupku dengan penuh luapan kegembiraan. Menurutku, kegembiraanlah yang dapat kudapatkan secara gratis tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun. Kegembiraaan itu aku dapatkan dari semua orang yang ada di sisiku. Saat aku merasa sendiri dan bimbang, ayah dan ibu akan selalu siaga menyemangatiku. Ahh.. aku hanya berharap dapat menjalani hidup seperti ini selamanya.

"Azetha.. sepertiya clew mengeluarkan telurnya lagi! Cepat ambil, sayang!"

Ahh.. sepagi ini ibuku sudah mulai berteriak-teriak. Jangan terlalu kaget, Clew adalah salah satu ayam betina kami. Ayam betina yang lainnya kami namai "Tery" dan untuk yang jantan, ayahku menamainya "James". Begitulah keuarga kami, semua hal akan terasa menyenangkan bagi kami. Ayah dan ibuku sangat humoris. Ayam saja mereka beri nama dan selalu mereka rawat dengan penuh perhatian.

"Sebentar ibu.. Az selesaikan tumpukan baju ini dulu..", ucapku sambil sedikit berteriak agar ibuku yang berada di pekarangan belakang dapat mendengarnya. "Cepat lipat bajumu dan turunlah, bantu ibu di dapur juga!!"

Aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku "Azetha Hans". Panggil saja aku "Azetha" tapi aku lebih suka jika dipanggil "Az", karena orangtuaku biasa memanggilku Az.

Setelah menyelesaikan tumpukan baju ini, aku bergegas turun menuju pekarangan. Mataku langsung tertuju pada kandang kecil tempat ketiga ayamku bernaung. Kandang ini tidak terlalu besar, tapi kurasa cukup mewah untuk ditempati ketiga ayamku. Tanpa berbasa-basi aku langsung melangkahkan kakiku menuju tumpukan jerami dan mendapati telur Clew disana.

"Ibu.. kurasa telur di keranjang ini sudah banyak. Bukankah bibi em seharusnya sudah mengambilnya?"

" Mungkin bibi em sibuk, sayang.. kau tahu belakangan ini ibu melihat ada seorang anak remaja di rumahnya."

"ah.. mungkin kerabatnya mengunjunginya. Syukurlah.. terkadang aku kasihan dengannya bu, ia selalu tinggal sendirian di rumah sebesar itu." Aku menghitung berapa banyak telur yang ada di keranjang, karena telur-telur ini akan kami berikan kepada bibi em. Bibi em selalu membeli telur-telur ayam dari kami sehingga keluargaku lumayan akrab dengannya. Namun, keakraban kami hanyalah sebatas keakraban penjual dan pembeli. Entah apa yang dialami oleh bibi em, ia sepertinya sangat pendiam.

Aku segera mengemas telur-telur itu dengan rapi. Lantas, aku mengambil mantelku dan menuju garasi untuk mengambil sepedaku. " Ibu, Az pergi dulu...", ucapku sambil berlari keluar. "Hati-hati Az sayang.. awas nanti telurnya pecah!!!!". Aku hanya menjawabnya dengan mengacungkan jempolku padanya.

*****

Sepedaku kukayuh pelan melewati jalan setapak bukit. Disini, di tempat tinggalku, tidak terdapat banyak rumah. Kau bisa menyebutnya Greenland, karena memang sepanjang mata memandang akan dijumpai permadani hijau berupa rerumputan dan pepohonan. Jarak antar rumahpun sangat berjauhan. Saat kau menemukan sebuah rumah penduduk, kau akan menemukan rumah lagi setelah berjalan sekitar 2 kilometer. Walaupun tak banyak orang yang tinggal di daerahku, aku sangat senang karena daerahku akan selalu terlihat asri dan rindang. Tidak seperti ketika tinggal di kota, padat penduduk dan tak ada pepohonan sedikitpun yang menaungi jalan-jalan.

Semilir angin dan suara gesekan ranting pohon mengiringi perjalananku. Aku sangat menyayangi lingkungan tempat tinggalku. Kuharap akan selalu nyaman dan damai seperti ini selamanya.

[Lucid Dream] Real or Not ?Where stories live. Discover now