Manusia Sejuta Perkara

300 23 13
                                    

Karena telah kugenggam sang mentari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena telah kugenggam
sang mentari

Dan telah kugapai bintang di angkasa

Namun tetap,

'ku hanya manusia biasa
yang bisa terluka

Aku adalah manusia sejuta perkara.
______________________________________

"Sampah tetap saja akan menjadi sampah!"

Kalimat yang tak sengaja kutangkap dari mulut pria jangkung itu kedengarannya sungguh ... kejam.

Bahu kami saling bertubrukan di pintu masuk—atau pintu keluar—ruangan Dokter Adwin. Pria berwajah sangar dengan tubuh yang terbalut jaket kulit itu kembali mengumpat untuk kesekian kali, saat insiden kecil yang terjadi di antara kami mengakibat jurnal di tangannya terjatuh ke lantai.

Aku hendak meminta maaf, tetapi pria itu tampaknya sedang terburu-buru. Dengan bersungut-sungut, dia pergi begitu saja. Kakinya melangkah cepat, menyusuri ruang demi ruang di sepanjang koridor rumah sakit, kemudian tak lama kulihat sosoknya lenyap di tikungan.

Rupanya Dokter Adwin telah menungguku di balik mejanya. Dia mengerling, memintaku segera masuk ke dalam dan menutup pintu. Di tangannya, tergenggam sebuah map berwarna kuning cerah dengan lambang rumah sakit Grand Medistra. Dokter Adwin lantas membuka map tersebut, dan untuk sejenak jari-jari kurusnya sibuk bermain dengan lembaran kertas di dalamnya. Kurasa kejadian ini akan terus berlanjut secara kontinu. Pria itu memang kerap mempelajari perkembangan catatan medis pasiennya sebelum memulai sesi konseling.

Setelah beberapa menit membisu, Dokter Adwin akhirnya beralih menatapku, lalu menggilir manik hitamnya pada sebuah brankar yang diletakkan berhadapan dengan jendela ruangan.

Aku masih mencoba merilekskan diri saat kemudian dia menyuruhku untuk memejamkan mata. Dokter Adwin memutar sebuah musik yang cukup memabukkan dari sebuah alat perekam, membuatku terhipnotis untuk sesaat. Namun, berapa kali pun kucoba, tetap—aku hanya bisa menggeleng lemah ke arahnya.

"Saya terlalu takut untuk melakukannya, Dok."

Perasaan-perasaan itu kemudian memenjarakanku dalam diam. Bagaimana jika—ketika mataku membuka nanti, apa yang kudapati justru kedua tangan yang telah belumuran darah, atau diriku sendiri yang tergantung dengan tali tambang melilit leher?

"Jadi, apa yang bisa saya lakukan untukmu, Bi? Dalam sesi pertemuan sebelumnya, kamu tidak memberi saya kesempatan untuk mengenalmu lebih dalam."

Aku hanya menggumam kecil menanggapinya, mengingat betapa aku lebih banyak diam kemarin lalu.

"Apa yang menjadi keluhanmu?" Dokter Adwin bertanya lagi. Setiap langkah yang dia ambil membuatku merasa was-was. Dia menarik sebuah kursi kecil, kemudian membawanya tepat ke sebelah brankar tempatku terbaring. "Kamu bisa bercerita tentang kenangan, rasa sakit, rahasia, atau apapun pada saya. Kamu tidak perlu takut, tidak akan ada yang bisa mendengar kita di sini. Hanya ada saya dan kamu sekarang—di ruangan ini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

REWRITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang