Dalam setiap perjalanan hidup manusia, mereka terlahir dan melanjutkan hidup bersama dengan dirinya. Tidak dengan siapapun, diri sendiri menjadi penopang kelanjutan hembusan nafas dalam nyawa yang tak sebentar --namun berikut tak selamanya.
Setiap manusia memiliki iktikad hidupnya masing-masing, gaya hidup, juga kemauan yang tak sama antara satu dengan yang lainnya. Merlin misalnya, manusia yang memiliki niatan untuk hidup sendirian selamanya. Entah ada ataupun tanpa alasan, sejak SMA ia sudah meninggalkan Kota asalnya untuk kemudian melanjutkan hidup dengan nafas di tempat yang tak sama dengan orang tuanya, pun ketiga orang kakaknya. Walau belum bisa dikatakan mandiri karena masih bergantung pada uang bulanan, namun gadis itu selalu bertekad untuk melakukan segalanya sendirian bahkan tanpa keluarganya tahu ia sudah pindah kamar kos sebanyak puluhan kali.
Semester ini adalah tahun ketiganya berada di perguruan tinggi, sudah tak asing dengan semua yang ada di kampusnya. Hampir semua insan di perguruan tinggi itu mengenal sosok Merlin yang berisik, tidak tahu malu, dan tidak tahu aturan. Sayangnya, disaat yang bersamaan entah bagaimana keadaan tak tahu aturan dapat bersandingan dengan tak terlihat. Kalau di sekolah, mungkin saja Merlin sudah sering kena skorsing seperti saat SMA dulu. Sayangnya ini universitas, hanya aktivis sejati yang dapat mengganggu pihak kampus hingga berakhir diluluskan dengan cepat demi tak lebih jauh untuk ia memengaruhi dunia perkampusan.
--
Keceriaan seseorang mungkin saja bisa diukur dari cara ia bicara, namun kita tidak dapat memukul rata. Kembali pada asas utama terkait keadaan hati yang tidak bisa ditebak. Seperti seorang mahasiswa bertubuh jangkung di radius 50 meter dari arah Merlin berdiri itu, sepertinya ia sedang kehilangan sesuatu. Entah pikirannya, naskah hidupnya di hari esok, atau mungkin hanya kehilangan ingatan? Tidak ada yang tahu kecuali bagi mereka yang bertanya langsung, dan Merlin melakukannya.
"Tapi kalo ilang pasti ada di sini, kan?" Laki-laki itu langsung mengalihkan pandangannya, kaget. Menyeru "Sial!" dalam hati yang dapat diketahui melalui ekspresi, membuat Merlin yang baru saja menyapanya dengan non-kalimat sapaan jadi tertawa kecil, merasa lucu.
"Lo ngangetin aja sih, Mer!" Ujar laki-laki itu, kembali pada raut pasrah.
Merlin memutar otak, mencari ide barangkali ada yang bisa ia temukan terkait wajah kawannya itu yang menekuk bété sekali. Namun karena bertanya adalah jalan keluar pertama, maka itu yang harus ia lakukan.
"Jadi, apa yang ilang?" Merlin memasang wajah ingin tahu, tampilannya sungguh minta ditampar.
Laki-laki itu hanya menggeleng kecil, namun tak dipungkiri raut wajahnya masih sama, ditekuk bosan dan seperti tidak mau diganggu tapi ingin diperhatikan. Manusia memang selalu membingungkan, bukan? Hingga terus Merlin mencari cara agar satu kawannya itu berterus terang, sebab tak seperti biasanya, semenjak laki-laki itu tahu bahwa berkeluh kesah pada manusia adalah hal yang salah, ia jadi banyak diam.
"Tadi siang Pak Adam ngasih tugas, lagi-lagi minta dikumpulkan sore ini. Lo tau kan betapa berubahnya Pak Adam semenjak dia lanjut kuliah S3, gue harap kelas kalian nggak ngelakuin kesalahan kayak kita. Nurut-nurut aja, oke?" Melrin bercerita, namun tak tergubris, kawannya masih pada mode diam. "Oke gak, Rey?"
Hanya disahut gerakan ujung jari jempol yang menempel dengan ujung jari telunjuk membentuk huruf 'O', lantas ditemani 3 kawan jarinya yang membentang terbuka. Istilah pengganti untuk kata "Oke."
"Tapi gue setuju sih lo lebih suka makan di warungnya Bang Samid, soalnya di warung Teh Ade tuh lama banget. Ya emang sih cuma dia yang jualan ayam bakar bumbu rujak, tapi tetep aja, masa waktu itu gue nunggu sampe 2 jam baru deh dapet pesenan, itupun kalo nggak gue ingetin lagi kayaknya dia bakal lupa. So, saran gue sih lo jangan makan di sana." Merlin masih melanjutkan, tak mau membiarkan meja itu kosong tanpa obrolan. Sekaligus mengusik diam, namun kawannya itu hanya melirik acuh sedikit.