Ramalan Mashiho benar.
Sekali waktu saat Yoonbin tak ada di sekolah, Yeongyu diseret ke belakang sekolah, disiram air sisa mengepel kelas dan dituangi terigu. Makin Yeongyu tersedak terigu kering, makin senang para pelakunya.
"Tahu diri sedikit kalau mau mendekati orang. Selangkah lebih jauh lagi, kami bisa patahkan tulang rusukmu sampai terputar ke punggung." begitu ancamannya.
Yeongyu ditinggalkan di sana, berjongkok sendiri mengibas sisa tepung lengket di rambutnya yang baru saja diminyaki. Sialnya juga, hujan turun tanpa ampun siang itu.
Yeongyu mendesah. Tidak, ia tak menangis. Hanya terpana saja kepada manusia yang memuja Ha Yoonbin sampai tak membiarkan siapapun mendekatinya. Ingin ia mencerca bahwa cinta dan gila tipis bedanya, namun ia berkaca pada genangan di lumpur.
Dirinya sama saja.
Mencintai Yoonbin sampai gila.
Yeongyu lupa sudah dimana kewarasannya.
Hari itu, sampai hujan mereda, ia duduk di sana, beradu tatap dengan bayangannya sendiri, berpikir apakah ia memang sudah pantas ditimpuki hanya karena sempat menaruh hati.
Untuk pertama kalinya, tak ada anak manis dengan kacamata bulat yang mengantar tas Ha Yoonbin pulang.
.
.
.
.
.
Disiram air bau dan terigu beberapa kali bahkan sampai kepalanya dimasukkan ke toilet duduk tak menghentikan Yeongyu dan jadwal hariannya. Ia masih menunggu Yoonbin, masih melambai, masih makan di mejanya, masih menunggunya pulang, dan jika ia kabur, dia masih mengantar tasnya.
Yoonbin pun tak bertanya, namun Yeongyu tak kecewa. Sudah terbiasa ia hanya dianggap angin lalu.
.
.
.
.
.
Pekan lainnya di jam olahraga, sekelompok anak perempuan seperti sengaja menimpuknya dengan bola voli saat Yeongyu tengah melatih lompatannya untuk seleksi klub basket. Yeongyu terbanting ke lantai keras, kesadarannya hilang secepat ia menangkap siluet Yoonbin di ujung lapangan.
.
.
.
.