Bagian [1]

138 15 7
                                    

2017

Angin pagi berhembus melewati jendela kamarku...

Terhanyut dalam nostalgia, saat di buka kembali lemari kayu yang lapuk berada di sudut kamar, sebuah baju kerja waktu dulu masih tergantung rapi namun kini berdebu, membuat Ina mengambilnya dari sana entah apa yang di rindukan dari melihat baju kerjanya itu.

Lu Gak kuliah?," ucap salah seorang teman bertanya waktu itu. Seketika percakapan kembali terlintas mengingat dirinya dulu bukanlah manusia sungguh-sungguh ingin berkuliah.

“Mungkin menyenangkan di masa muda rasanya waktu sepanjang hari hanya dihabiskan bersenang-senang bersama teman sebaya.”

***

"Besok, harus cepat bangun," pinta ibu yang berlalu lalang di depan kamar menuju dapur membuyarkan lamunan Ina yang sebenarnya sudah tidak tidur lagi.

Sesekali Ina melirik isi kamar, akhirnya hal yang menjadi ketakutannya saat kecil ialah pisah rumah jauh dari kedua orang tua, adik-adik, dan teman-temannya di kota tempat tinggal yang menyenangkan dan juga akan jauh dari dia, Hasan.

Koper yang berisi pakaian dan beberapa keperluan Ina sudah di ada di sudut-sudut tempat tidurnya untuk di bawa sebentar lagi ke indekost baru. "Sudah siap?," ucap ayah sambil mengusap kepala anak sulungnya seraya menyemangati di ambang pintu kamar Ina.

"Hmm, i—iyaa yah bismillah." Ina menghampiri ayahnya perlahan dengan semangat berlagak menjadi gadis yang paling senang. Padahal ada sedih di hatinya.

Mengapa Ina masih merasa sedih?

***
(Nostalgia...)

"Pak, gimana mau bayar uang pendaftaran kuliah jalur sbmptn?," pintah sang gadis bertanya kepada pak Security di bank.

Dengan senyum sapa menyambut, "Silahkan adek mengisi kertas ini dan setelah itu ke teller pembayaran," Security itu memberi penjelasan dan arahan dengan gerak-gerik tubuhnya.

Saat itu, di fikiran tidak apa-apa mencoba dulu. Yakin lulus jangan berfikir gagal. Masih banyak jalur yang menanti jika memang bukan di sbmptn jalannya.

"Berkas okey, kelengkapan juga sudah siap dan semoga hasilnya akan baik deh." ucapnya menyusul melepas lensa kacamata dengan mata mulai mengantuk, dan segeranya terlelap tidur.

Sebulan kemudian, pengumuman hasil test tiba, hati berdebar tidak sabar melihatnya di koran besok pagi.

Pagi itu, ayah membawa koran terkini baru yang memang khusus saat itu untuk melihat daftar lulus peserta sbmptn. Mencari-cari nama dan nomor ujian, rupanya ternyata tidak lulus. Tangis pecah saat berada dikamar, kecewa teramat sekali dan kesal pada do'a dan usaha yang tidak bergandengan sesuai harapan.

"Astagfirullahaladzim," masih saja terus terucap tersedu-sedu mengelus dada. Semua terasa lelah saja dikerjakan, rasa malas kian menyelimuti berminggu-minggu.

💜👓💜
Author nulis 📝

Semoga sukak dengan cerpennya, seeyou

KampusKu dan KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang