༉ུ one, 14 tahun bertemu
"What's the difference,?"
I asked him.
"Between the love of your life and your soulmate?"
"One is a choice, one is not."
- Tarryn Fisher, Mud Vein
✧✧✧
plaster bergambar tupai menghiasi tulang pipinya yang terbentuk rapih. ada pula sebuah noda darah kecil di ujung bibir tipisnya yang terlihat baru, luka memar yang samar—jika kau lihat dari dekat akan terlihat—tepat di bawah mata kirinya, serta sebuah garis luka yang telah mengering, melukis ngilu, melewati rahangnya hingga dekat dengan telinga.
"h-hai."
ia menyapaku canggung. aku sendiri hanya tersenyum tipis, tak berniat membalas sapaan canggungnya. lalu keadaan kembali hening,
—yang mana mulai memicu aktifnya panic attack dalam diriku.
aku sendiri pun hanya dapat terpaku melihat penampilannya yang, err-
berbeda.
this isn't minho—at least not the one i used to know.
i know, people change. tapi, apakah seorang manusia dapat berubah dengan begitu drastisnya?
14 tahun silam, minho yang aku ingat tidaklah seperti ini. 14 tahun silam, minho yang aku tahu, sangatlah berbeda.
dengan rambut hitam—yang sekarang berubah menjadi pirang—serta garis-garis tegas wajahnya yang memberi kesan lembut. senyuman teduh nan menawan yang sangat aku puja, dan pelukan hangatnya setiap aku menangis.
dengan seragam rapih dimasukkan kedalam celana serta atribut sekolah lengkap—bonus biasanya jaket biru muda jeans yang akan selalu dia gunakan kemana-mana—si 'mantan' ketua osis itu akan menceramahiku jika aku telat pulang, menyakiti diriku lagi, atau pun hal sepele seperti lupa membawa jaket di kala hujan, atau lupa makan sarapan.
"jisung,?"
DEG!
adrenalin-ku kembali berpacu.
sudah 14 tahun aku tidak mendengar suara itu memanggil namaku.
"i--i--iy--a--?"
suaraku, sejujurnya, terdengar seperti kucing terjepit pintu saat ini. pita suaraku tiba-tiba serasa dicekik, hingga artikulator dalam diriku malfungsi.
minho tertawa.
lepas.
perasaan lega menyelimutiku dalam sekejap, menghilangkan fikiran-fikiran negatif yang semula memenuhiku. sumpah aku tidak berbohong, jika aku bilang bahwa tawanya, seperti obat anti-depresanku, seperti perbintangan diatas sana yang menghias kekosongannya langit.
aku hanya tersenyum canggung, lalu membuang muka. wajahku merona malu, menyadari kebodohanku—yang berbicara saja seperti anak taman kanak-kanak, atau mungkin seperti bayi yang baru latihan berbicara.